Agenda 

Orang-Orang Tercinta

Armin Bell, tinggal di Ruteng – Flores. Bergiat di Komunitas Saeh Go Lino dan menjadi inisiator kegiatan Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di Ruteng. Juga menulis naskah dan menyutradarai pementasan teater. Aktif di Petra Book Club Ruteng. Cerpen-cerpennya pernah tersiar di Pos Kupang, Lombok Post, Pos Bali, Jurnal Sastra Santarang dan beberapa media regiona. Cerpennya yang berjudul “Kopi” menjadi salah satu pemenang Lomba Menulis Cerpen Obor Award 2013. Menerbitkan antologi cerpen tunggal Telinga (2011).

 

Kami rindu Lucia pada detik-detik sepanjang ini. Lucia yang kemarin dengan kejam Thomas usir, lengkap dengan kata-kata paling pahit yang dapat keluar dari mulut seorang lelaki. “Pergi kau perempuan munafik! Pengkhianat! Jangan pernah kembali lagi! Saya tidak butuh kau lagi!” Ada tambahan penghuni kebun binatang pada sumpah serapahnya di halaman depan di bawah beringin tua tempat kami berempat biasa berkumpul.

Kini tinggal kami bertiga, pita hitam di lengan kanan, tanpa karangan bunga. Sendu pada mukanya adalah gambar yang setia hadir sejak kemarin. Kami berdua memandangnya. Saya menuduh, entah dari mata lelaki lain di samping ini. Saya meliriknya, dia melirik balik. Biasanya kami berempat. Tetapi sejak kemarin jumlah tak lagi sama, juga mungkin garis pikir.

Tidak benar jelas dalam ingatan bagaimana peristiwa kemarin itu. Saya hanya sempat mengenang gerimis yang lalu menjadi hujan yang deras. Entah dalam pikir lelaki bernama Benedict di samping ini. Tetapi kami -saya dan Benedict, telah sepakat bahwa Thomaslah penyebabnya. Ya, Thomas. Yang sejak kemarin hanya ada sendu pada mukanya. Dia duduk di depan kami. Mungkin sedang menunggu penghakiman. Tetapi kami memilih diam dan itu siksa. Karena yang paling kejam di dunia ini adalah pengabaian, yang paling kejam itulah yang kami -saya dan Benedict, pilih untuk kami timpakan kepadanya.

Tetapi Thomas tak juga meratap memohon suara. Hanya diam dan hanya ada sendu pada mukanya. Siapakah sebenarnya yang melakukan kekejaman hari ini? Kami bertiga tanpa suara. Kalau kami memutuskan siksa kejam itu untuk Thomas, siksa jugakah yang sedang dia timpakan pada kami? Semoga tidak. Tak ada yang bisa menebak. Akhir-akhir ini Thomas kerap meledak-ledak. Pil bangsat itu datang semakin banyak.

Kemarin saya bilang pada Lucia agar tidak usah pergi. “Kamu di sini saja. Sebentar juga Thomas mereda marahnya.” Benedict juga mengatakannya. Tetapi ramalan kami tentang kemarahan Thomas yang akan segera mereda tak terbukti. Thomas beteriak-teriak keras sekali dan lebih banyak penghuni kebun binatang pada teriakannya. Suara kami -saya dan Benedict, diabaikannya. Lucia, kutangkap matanya berkaca-kaca. Kudengar dia sempat bicara, “Thomas, kita sudah lima tahun bersama. Kenapa kau tega lakukan ini?” Kami setuju, tetapi Thomas bergeming. Menjadi lebih buruk. Dia mengambil batu dan mulai melempar.

Saat itulah orang-orang meringkusnya. Lucia tak terlihat lagi. Entah ke mana dia pergi, kini hanya kami bertiga, pita hitam pada lengan kanan tanpa karangan bunga. Lima tahun berempat bersama lalu seorang di antara kami dan yang seorang itu adalah satu-satunya perempuan diusir begitu kejamnya adalah duka.

Thomas yang mengumpulkan kami lima tahun silam. Saat itu baru saja Pemilu. Kami bertemu di sebuah jembatan di pinggir kota. Saya datang dari tempat yang jauh -tidak perlu rasanya saya ceritakan tentang tempat itu karena Benedict dan Lucia juga tidak pernah menceritakan dari mana mereka, dan bertemu mereka bertiga sedang bercanda. Saya yang terakhir tiba. Sejak itu kami rutin bertemu di jembatan. Malam hari pulang ke rumah masing-masing lalu pagi bertemu lagi di jembatan, seharian berkeliling kota kecil ini dari sudut ke sudut, tertawa bersama, begitu terus jika sedang liburan. Sampai suatu ketika, Thomas oleh paksaan orang-orang tercintanya yang lain, meminta kami tinggal serumah, di tempat ini.

“Saya tidak senang sebenarnya pindah ke sini, tetapi asal kalian mau tidak pulang ke rumah kalian masing-masing. Kita di sini saja. Berangkat kerja dari sini, kembali ke sini maka aman,” katanya dan kami setuju. Toh, di kota ini tak banyak yang mengenal kami. Mereka yang tak banyak itu juga tinggal di kompleks ini. Maka kami setuju saja.

Tempat ini baik juga. Bersih. Kami saling membantu. Lebih sering, tempat kami yang sering didatangi tetangga, membereskan, membantu bersih-bersih. Mungkin karena kami memang jarang melakukannya sendiri. Thomas tak bisa diharapkan. Lucia juga tidak untuk kegiatan bersih-bersih. Saya? Sesekali kalau sedang sentimentil. Benedict? Tugas utamanya di tempat ini adalah sebagai penengah bukan pembersih.

Suatu malam Thomas membongkar rahasia. Besar sekali rahasia itu sampai kami sepakat untuk tidak menceritakannya lagi kepada siapapun. Rahasia itu milik kami berempat. “Sampai mati!” seru kami dengan jari yang dilukai dan darah bercampur. Sumpah darah. Tidak perlu saya ceritakan sumpah itu sekarang karena tak ingin saya bernasib seperti Lucia. Entahlah setelah ini.

Hal ikhwal kemarahan Thomas pada Lucia adalah pelanggaran berat. Dua hari yang lalu Lucia membongkar rahasia itu kepada seorang perempuan. Tentu saja salah satu alasan yang Thomas lihat dari peristiwa pengkhianatan itu adalah karena Lucia perempuan dan perempuan gemar bergosip. Saya tidak setuju. Benedict apalagi; dia tak mengenal jenis kelamin. Sayangnya, sebelum kami -saya dan Benedict, menolak diskriminasi jenis kelamin itu Thomas langsung bilang: “Kalau kalian membela Lucia berarti kalian juga bersekongkol dengannya.” Tuduhan itu jelas salah karena kami adalah pemegang rahasia terbaik, tetapi melaksanakan adu argumen dengan orang yang sedang benar-benar marah adalah sebesar-besarnya kesia-siaan. Saya tak ingin sia-sia.

Sebenarnya, tentang Lucia membocorkan rahasia hanyalah salah satu alasan kemarahan Thomas yang berujung pengusiran. Alasan yang lain dan sepertinya inilah yang terbesar adalah tentang Joanne. Kepada Joannelah Lucia membocorkan rahasia itu. “Kenapa Joanne? Perempuan itu adalah sesungguhnya adalah wajah nyata dari kegagalan penciptaan: bersuami, suaminya mati. Dia pikir tahi lalatnya dan badannya yang besar telah membuatnya hebat. Puihhh… apa itu? Maju di Pemilu, tanahnya digadai, uangnya habis, eh malah kalah. Anak-anaknya meninggalkannya. Apa yang bisa diharapkan? Tega-teganya Lucia menceritakan rahasiaku padanya. Dasar perempuan. Sial!” Demikian serapah Thomas pada malam sebelum peristiwa pengusiran kejam itu.

Yang kami tahu, Thomas memang tak pernah bisa akrab dengan Joanne. Entah siapa yang menolak, apakah Thomas atau Joanne, keduanya tak pernah saling bicara sejak lima tahun lalu. Karena kami bersekutu dengan Thomas, demikianlah kami bermusuhan dengan Joanne. Apa yang mereka persoalkan -padahal sebelumnya mereka sat, yang membuat mereka bermusuhan, itulah yang Thomas ceritakan sebagai rahasia kepada kami.

Pilihan Lucia menceritakannya kepada Joanne sesungguhnya baik. “Siapa tahu mereka bisa berteman lagi,” alasan Lucia ketika kami -saya dan Benedict, menuduhnya berkhianat. Menurut Lucia, dengan tahu akarnya, masalah akan bisa diurai. Kami setuju juga maka tak berani ikut memarahinya ketika Thomas mengamuk di bawah pohon beringin di halaman.

Hari itu gerimis dan kami melingkari pohon tua itu. Tetapi sejuk yang hadir dari butir-butirnya dan kesiur angin pada daun beringin yang biasanya melelapkan tidak membuat Thomas tertidur sebagaimana biasa. Dia marah. Marah-marah. Marah besar. Sampai pada pengusiran kejam itu. Tepat ketika Thomas akan melempar batu, hujan turun deras sekali. Thomas diamankan.

Kini tinggal kami bertiga, pita hitam di lengan kanan, tanpa karangan bunga. Sendu pada mukanya adalah gambar yang setia hadir sejak kemarin. Lucia sudah pergi. Kami -saya dan Benedict, mengabaikan Thomas. Ataukah Thomas yang mengabaikan kami?

Lalu dia berdiri. Saya melirik Benedict. Benedict melirik balik. Kami berdua memang tak pernah jadi tokoh utama selama ini. Hanya Thomas dan Lucia. Tetapi kami wajib hadir dalam setiap pertemuan, tinggal di tempat yang sama dan tak boleh pergi.

“Kalian boleh pergi sekarang. Saya ingin menyelesaikan soal dengan Joanne,” kata Thomas.

Begitu saja? Begitu saja dia mengusir kami yang sejak lima tahun terakhir ini bersama-sama? Benar begitu saja? Benedict melirik balik saat saya meliriknya. Lalu mengangguk. Dan kami pergi diiringi teriakan Thomas, mengusir. Benedict berbisik: “Lucia sudah pergi. Sepertinya memang kita harus pergi. Thomas sedang ingin sendiri, entah untuk berapa lama.”

Saya meraung-raung. Di antara kami, saya yang paling sering menangis untuk setiap peristiwa kecil. Perpisahan adalah peristiwa besar. Maka saya meraung. Benedict merangkul. Saya dipapahnya di lorong-lorong panjang tempat kami menuju gerbang. Benedict selalu baik. Meski tak banyak bicara, dialah yang tampil sebagai penenang setiap kali Thomas berulah sebelum orang-orang yang selalu ada datang meringkusnya. Saya hanya bisa menangis lalu mengambil sapu dan mulai bersih-bersih.

Dalam perjalanan, kami -saya dan Benedict, berpapasan dengan dua orang berpakaian putih-putih. Seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang perempuan kukenali sebagai yang setiap hari mengunjungi tempat kami. Katanya kepada yang lelaki: “Ibu Joanne sudah mulai membaik. Mudah-mudahan sebentar lagi boleh pulang.”

Saya berhenti. “Jadi selama ini Joanne sakit?” tanyaku pada Benedict. Dia mengangguk. Dia memang selalu lebih tahu dari kami semua. Termasuk bahwa tahun ini akan ada Pemilu lagi.

Kami beriringan keluar. Sempat kudengar lelaki berpakaian putih-putih itu bicara sambil tertawa: “Dia sudah tahu dia bukan Thomas?”

Saya meraung-raung. Benedict menenangkan. Katanya: “Robert, kita berpisah di sini ya. Harap nanti Thomas baik-baik saja.” Kami sudah tiba di gerbang. Dia lepas pita hitam pada lengan kanannya.

 

Related posts

Leave a Comment

eleven − 1 =