puisi 

Puisi-puisi Daviatul Umam

Daviatul Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa ini merupakan mantan Ketua Umum Sanggar Andalas, sekaligus aktivis beberapa komunitas teater dan sastra lainnya. Sebagian karyanya dipublikasikan di sejumlah buku antologi bersama serta media cetak dan online. Sesekali juga dinobatkan sebagai pemenang atau nominasi di antara sekian lomba cipta puisi, lokal maupun nasional. Berdomisili di Poteran Talango Sumenep-Madura.

 

Menjelang Keasingan

 

takut sejujurnya mengunjungimu lagi

tapi tidakkah durhaka bila biarkan mereka

gencar dikejar-kejar air mata

maka sangat terpaksa

akan kembali kutapus keringat

dalam pagutmu yang erat

 

mengakrabi asap kemacetan

sepanjang lintasan pengorbanan

paha-paha yang rela diendus anjing

pada deru tanah restu rindu membising

 

tunggu beberapa minggu lagi

tunggu dengan tangan kiri sembunyi

aku kenyang sebelum kau kembali dulang

kecuali setakar janji yang tuhan persiapkan

guna menjawab sujud mereka

di ambang gerbang petang

 

kau harus lebih pandai membuatku terbuai

buat aku begitu betah di denyut dadamu

tanpa mengulur-ulur selendang sansai

yang tiada lepas dari pundak ibu

 

Sumenep 2017

 

 

Bertemu Kehilangan

 

setiap aku bersin

kutafsir isyarat matamu yang dingin

sadarlah kini bahwa tak lebih aku

ingus dalam pilekmu

dahak dalam batukmu

 

jangan lagi memanggil

aku tengah berpaling

mencari arah lain

akhirat yang lain

 

apatis bukan berarti musuh

namun memang selayaknya aku menjauh

agar tak mempersulit jalan napasmu

agar dengan mudah engkau menyeduh

udara dan cahaya pagi

 

cahaya yang semoga

merawat tanaman cintamu senantiasa

suburkan bunga-bunga kehidupanmu

di atas kerontang tulus kalbu

 

aku sudah tuli

tersumbat kotoran katamu

aku akan membatu

batu terkutukmu

jangan lagi memanggil

 

Sumenep 2017

 

 

Pencari Kekekalan

 

perkenankan aku

menyusun kata seelok parasmu

sinau matanya cuat tajam

ke dada pembaca menancap karam

layaknya saat engkau menatapku jelas

serasa meleleh hati yang semula keras

 

perkenankanlah sajakku

semangkus bius senyummu

memulaskan kepeningan pembaca

dari keliaran diksi dan muslihat metafora

sebagaimana engkau merekahkan gincu

sewaktu di punggung kuda

membuatku terperosok ke lubang rindu

iman retak seketika

 

Sumenep 2017

Related posts

Leave a Comment

eighteen + 12 =