Agenda 

Ibu yang Tertinggal di Balik Karangan

Kevin Alfiarizky, lelaki berkulit sawo matang kelahiran 1998 di Jakarta dan tumbuh besar di Surabaya. Seorang mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen telah terhimpun di berbagai antologi bersama, peraih nominasi 15 cerpen pilihan pada Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru di tahun 2017, cerpennya terbit secara daring di Langgampustaka.com. Berdomisili di Surabaya.

 

Nak, ingat-ingatlah jalan pulang ke rumah. sesekali berkunjung temui orangtua. Ibu sendirian di rumah.

            Kutemukan sebuah pesan elektronik singkat dari Dayat. Seseorang yang telah lama bertetangga di desa. Kawan sepermainan, sewaktu masih kecil kita sering bermain di sawah, bermain lumpur, menjaga ternak dan memanjat pohon buah milik kebun tetangga.

Pagi tak begitu baik hari ini, apalagi ketika kulihat kembali pesan masuk dari Dayat. Pesan yang diteruskannya dari ibu. Aku yang sengaja memberinya sebuah ponsel agar ikatan tak akan renggang, agar silaturahmi tetap berjalan lancar dan yang paling terpenting agar aku tetap selalu tahu bagaimana keadaan ibu.

Tamat SMA dua tahun yang lalu, aku menjadi pemuda yang kehilangan rasa keinginan, tak punya harapan dan tak berpikiran panjang. Di saat teman-teman yang lain sibuk merencanakan masa depan tentang bangku perkuliahan di kota yang terdengar mengesankan, penuh dengan orang-orang pintar, aku hanya tertarik pada ketidakingintahuan. Tak penting bagiku meneruskan pendidikan di kala zaman yang mulai hilang keadilan. Bukan maksudku berkata bahwa kuliah itu tidak berguna, tetapi aku melihat Ian, laki-laki bujang berumur tiga puluhan yang bertubuh kekar dengan rambut ikal sedikit kemerah-merahan. Dia telah lama menjadi sarjana ekonomi. Ian lulusan perguruan tinggi negeri di Yogyakarta akan tetapi sampai saat ini ia masih tetap menjadi pengangguran, seorang pengangguran yang benar-benar tak memiliki kegiatan untuk dikerjakan. Sebenarnya ada, satu-satunya harapan yang mampu diupayakan, menjadi petani. Petani di lahan sendiri, tetapi lahan tinggalah sebuah cerita, ia telah berpindah tangan pada orang yang banyak uang. Kuliah butuh pengorbanan. Berhektar-hektar lahan rela orangtuanya jual demi pendidikan, katanya. Lewat pengalaman beliau aku berpikir bahwa pendidikan tidak selamanya membawamu ke jalan yang kau inginkan, terkadang seseorang harus membuat jalan sendiri untuk mencapai tujuan.

            Pagi tak begitu baik hari ini, apalagi ketika kulihat kembali pesan masuk dari Dayat. Aku hampir-hampir saja tidak tidur semalaman lagi. Seingatku sudah tiga hari belakangan ini mataku tak terpejam di malam hari. Pekerjaan memaksaku untuk tetap terjaga, menguras tenaga demi rupiah semata. Prinsipku datang ke kota ini agar aku menjadi orang yang berguna. Agar ibu percaya bahwa selama dua belas tahun aku sungguh-sungguh bersekolah dan menerapkan semuanya hari ini dan esok yang akan datang.

Hidup seorang diri di kota metropolitan yang mungkin orang bilang kota yang penuh keajaiban. Semua yang datang dan tinggal adalah mereka yang datang dari jauh dan terasingkan. Aku salah satunya. Kehendakku datang kemari adalah keinginan diri sendiri, setelah ketertarikanku pada potret di koran harian milik Mbok Yu yang selalu tersedia di warung kopi sederhana miliknya itu, kulihat sebuah potret kota yang dipenuhi gedung-gedung bertingkat. Kota masa depan, kota metropolitan, kota kekayaan, dan tentu kota perantauan. Aku membayangkan kelak memiliki kehidupan yang nyaman dan serba tercukupi, tinggal di salah satu bangunan tinggi pada potret itu dan berkeluarga di sana.

Suami Sri telah lama tinggal di ibukota Jakarta. Sejak kehamilan Sri yang tak direstui orangtuanya sebab hasil berhubungan badan secara diam-diam dengan seorang perjaka desa seberang. Maklum saja, ulah remaja yang tak begitu baik menahan libido hingga dengan terpaksa Mbok Yu harus menikahkan anaknya di usia yang cukup muda. Hari pulang setahun sekali, tentu tak lupa tiap bulan uang kebutuhan istri tak pernah telat ia kirim. Ia bekerja menjadi seorang tukang ojek berbasis daring di sana. Lumayan, hitung-hitung menabung untuk mencicil uang sewa kontrakan.

Sebab koran itu aku ada di sini berbulan-bulan bahkan hingga genap dua tahun lamanya. Pekerjaanku lain dengan Hari, lain dari perantuan-perantauan yang biasa datang kemari. Entahlah, mungkin keberuntungan memberiku jalan, mungkin ibu selalu mengirimkanku doa-doa hingga kini mereka menjelma jembatan panjang menuju kesuksesan.

Lewat seorang supir truk malam yang kutumpangi dulu, kami berbincang banyak hal, saling bertukar pengalaman dan cerita-cerita kecil dari tempat asal masing-masing. Perkenalan itu membawaku pada sebuah pintu keajaiban. Dalam tubuh truk yang besar dan bau gas buangan pembakaran solar. Aku iseng menanyakan tulisan-tulisan truk yang selalu terpampang di pantat truk yang besar. Aku heran darimana asalnya kalimat-kalimat menggelitik itu. Kutunggu jandamu, Lebih baik jadi bajak laut-daripada bajak istri orang, Senyummu merobek dompetku dan berbagai kalimat lainnya. Seorang kernet di sebelahku berkata bahwa ada orang yang dengan khusus bekerja semacam itu. Seorang pengarang bebas ! sahut sang sopir yang pandangannya tak pernah lepas dari jalan.

***

Hari semakin tua, sebentar saja senja akan kembali menghias langit-langit jenuh berwarna biru dan aku masih tetap terpaku pada layar komputer lipat yang berada di hadapanku. Sesekali kulirik ponsel yang tak jauh di depanku, tuk melihat pemberitahuan terbaru. Pekerjaan membuat waktu kesenangan hilang. Waktu keluarga terhempas habis oleh huruf-huruf yang melekat pada keyboard. Bagaimana mungkin, setelah berbulan-bulan lamanya aku menjadi seorang pengarang bebas, mengarang segala karangan yang dibutuhkan seseorang. Mulai dari text line di sebuah iklan televisi, kalimat-kalimat menggelitik di sebuah papan iklan, baliho, bahkan tulisan-tulisan nakal pada truk-truk gendut yang bau gas buangan pembakaran solar itu.

Ketahuilah bahwa supir truk yang kutumpangi dulu adalah pintu kesuksesanku. Kini aku menjadi seorang pengarang bebas yang terkenal di ibukota, persis seperti apa yang dikatakan kernet bau keringat itu. Dari sekadar hobi membaca buku puisi, cerpen, novel bahkan esai-esai dan berita-berita koran yang telah kugeluti semenjak duduk di bangku menengah, pemahaman pembendaharaan kosakataku bisa dibilang cukup mumpuni untuk ‘sekadar’ membuat kreativitas tulisan berupa karangan-karangan yang diinginkan oleh beberapa orang seperti supir-supir truk, mahasiswa bahkan sampai perusahaan-perusahaan besar sekalipun.

Dua bulan yang lalu seseorang datang memintaku untuk membuat sebuah kalimat satir pada orang-orang yang berkuasa. Lewat papan reklame yang di pajangnya di tepi jalanan yang ramai. Dua minggu yang lalu sebuah perusahaan rokok memintaku untuk mengisi kolom kalimat iklan. Kutulis saja begini ‘Nanti juga lo paham.’, mungkin terkesan ‘biasa saja’ tapi merekalah yang menerima. Terkadang sebagai pengarang bebas aku juga tidak begitu mengerti apa maksud dari kalimat yang aku buat untuk mereka. Inilah kekuatan doa dari ibu, sepertinya semacam itu. ibu selalu berada di belakangku walau ia jauh.

Hampir dua tahun lamanya aku menggeluti pekerjaan ini tetapi tiga hari yang lalu seorang supir truk datang menghampiri kamar kosku, tepat pukul 06.30. Seperti biasa, seseorang mengetuk pintu dan memperkenalkan diri sebelum memasukinya. Hampir seperti dokter yang menunggu pasien masuk ke ruangannya. Pria gendut berwajah sayu itu datang dengan wajah yang sangat pilu. Aku tak melihat sama sekali rasa kebahagiaan di balik wajahnya. Biasanya seseorang selalu bahagia bila bertemu seseorang yang lain yang ingin ditemuinya. Orang-orang yang lalu lalang datang bergantianpun seperti itu. Namun pria yang satu ini seperti kehilangan sesuatu.

“ Tolong buatkan saya sebuah kalimat yang pilu. Seseorang yang saya sayangi baru saja meninggalkan saya selama-lamanya. Ibu. Semalam ibu baru saja meninggal dunia dan tetangga-tetangga lekas menguburnya malam itu juga tanpa menunggu kedatanganku. Aku ingin melihat sosok ibu, setelah sekian lama aku pergi meninggalkannya ke kota tetapi pekerjaan mengurungku, waktu dihempas habis oleh muatan-muatan bawang yang selalu melelehkan air mataku saat aku merindukannya. “

“ . . . “

Pagi tak begitu terdengar baik saat itu. setelah mataku terbuka dan seseorang mengetuk pintu di sana. Tiba-tiba saja seorang pria gendut berwajah sayu datang meminta pertolongan. Bercerita panjang lebar dan Ya! Baik Tuan saya akan mengerjakannya untuk Anda. Lekaslah kembali bekerja, pagi semakin panas saja. Kembalilah kemari lima hari kemudian, aku membutuhkan banyak ruang untuk kegundahan yang tuan rasakan. Terima kasih.

Pria gendut melesat dan hilang. Air mata memenuhi meja, seperti muara kecil yang sengaja dipindahkan di sana. Tiba-tiba saja, aku teringat ibu di desa. Dan tiba-tiba saja, beeb. . . beeb. . .beeb. . .beeb. . . ponsel di meja bergetar. Kudapati sebuah pesan dari Dayat. Laki-laki tangguh idaman gadis desa.

Nak, ingat-ingatlah jalan pulang ke rumah. sesekali berkunjung temui orang tua. Ibu sendirian di rumah.

Aku memahami pesannya, itu bukan pesan yang ditulis oleh Dayat sendiri. itu pesan ibu. Dayat yang meneruskannya padaku. Semenjak kepergianku ke kota. Ibu tinggal berdua saja bersama bapak di rumah, namun selang waktu beberapa minggu. Bapak meninggal dunia, karena penyakit asma yang telah dideritanya. Ibu tinggal sendirian saja, hidup bersama tetangga dan sedikit rupiah yang kudapati dari hasil mengarang bebas untuk siapa saja.

***

Pagi hujan deras kala itu, dan aku masih terpaku pada komputer lipat yang terbuka di hadapanku. Esok pria gendut berwajah sayu akan datang kemari meraih pesanan kalimat yang ia minta dan aku masih mencoba meratapi kesedihannya sepanjang waktu. Tiap kali kubayangkan perasaannya yang pilu, bayangan-bayangan itu selalu berwujud ibu. Ibuku, perempuan renta yang duduk di ambang pintu. Aku melihatnya di sana, seorang diri menghitung usia dan berdoa untukku. Aku bertekad segera menyelesaikan pekerjaan ini dan segera pulang ke desa. Bertemu ibu dan meninggalkan pekerjaan menjadi ‘pengarang bebas’. Aku akan tua bersama ibu, merawatnya seperti ia merawatku sewaktu masih kecil dan lucu.

Senandung hujan membuatku hanyut meratapi keadaan. Mataku tenggelam dan tubuhku lunglai di depan komputer lipat yang terbuka itu. . .

Pagi ini langit berwarna abu-abu, matahari bersembunyi di balik keniscayaan. Aku terbangun oleh bunyi pesan pemberitahuan di balik ponselku. Beeb . . . beeb . . . beeb . . .beeb . . . berulang kali seperti itu. Aku yang geram merasakannya segera membuka ponsel. Ternyata pesan dari Dayat.

Ron, Lekaslah pulang ke desa pagi ini juga, segera ! Sesuatu yang terjadi baru saja menimpa ibumu di rumah. tubuhnya membeku di atas ranjang usangnya, sepertinya sudah semalaman tubuhnya terkulai di sana. Lekaslah pulang ke desa pagi ini juga ! Ibu telah meninggal dunia.

Di luar Guntur menggelegar, wajahku pucat menatap ponsel, tanganku bergetar dan di balik pintu seseorang datang mengetuknya. Aku gelagapan, hilang kendali, menatap layar komputer dan melihat kalimat yang entah siapa yang menulisnya di sana.

            Nak, ingat-ingatlah jalan pulang ke rumah. sesekali berkunjung temui orangtua. Ibu sendirian di rumah.

 

(tangis haru memenuhi ruangan)

 

IIIBBBBUUUUUU !!!!

Seseorang di balik pintu lari sempoyongan meninggalkan pintu.

 

Surabaya, 18 Desember 2017

Related posts

Leave a Comment

18 − three =