Agenda 

Latar Belakang Kasus Murid Membunuh Gurunya

Yuditeha. Karya-karyanya antara lain: Novel Komodo Inside (Grasindo, 2014). Kumcer Balada Bidadari (Penerbit Buku Kompas, 2016). Buku Puisi Hujan Menembus Kaca (Kekata, 2017). Buku Puisi Air Mata Mata Hati (Kekata, 2017). Kumcer Kematian Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya (Basabasi, 2017). Kumcer Kotak Kecil untuk Shi (Stiletto, 2017). Kumcer Cara Jitu Menjadi Munafik (Stiletto, 2018). Juara ketiga lomba cerpen eksperimental Basabasi, Yogyakarta. Juara kedua lomba cerpen Komsos KAS, Semarang. Pemenang pilihan lomba cerpen Yayasan Bhinneka Nusantara. Aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta dan Pendiri Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar.

 

Namanya Gok. Dia murid yang pandai. Saking pandainya, waktu masih balita, sempat tiga kali ganti nama. Nama sebelum Gok, antara lain Gut, Wel dan Grit. Oya, kita harus sepakati dulu pengertian dari kata pandai itu. Pandainya balita seperti apa, ya? Intinya begini, dia sangat agresif. Selain pandai mempermainkan kata, dia juga pandai main paksa. Tetapi suatu hari dia tiba-tiba tampil seperti layaknya mahasiswa angkatan pertama. Idealis dan semangatnya menggebu, tapi lucunya dalam menyuarakan protes, isi demo seringkali tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Contohnya begini, Gok belum tahu bagaimana rasanya mencuci sepatunya sendiri tapi dengan bergaya sudah berani mengkritisi tentang tanggung jawab. Bahkan dia tidak tahu, apa alasan sesungguhnya sebelum piring dipakai perlu dicuci dulu dengan sabun rasa jeruk nipis. Pernah juga mulutnya sampai berbusa karena berbicara tentang korupsi, tapi dia sendiri sering menggelembungkan nominal besarnya bayaran kegiatan ekstra sekolah kepada orang tuanya agar mendapatkan sisa uang pembayaran itu lebih besar.

Selain itu, Gok suka berdiri ngangkang di depan pintu sembari orasi tentang usulan-usulan bagaimana bentuk hukuman yang akan dijatuhkan kepada seorang pimpinan jika pimpinan itu sedang melakukan sebuah kesalahan. Buru-buru dia akan sok sibuk dengan mencari kertas paling putih dan mencatat segala protesnya dengan tinta merah marun. Dia juga sangat percaya diri membentuk komplotan sorak-sorai yang akan digunakan sebagai anti klimaks tentang tokoh-tokoh itu. Dia bahkan dengan keminternya merasa ada yang salah dengan sistem pendidikan sekarang. Dia ingin pembentukan watak digodok dalam satu grup ke dalam kawah, sedangkan pemilihan anggota grup dipilih dengan kriteria mempunyai latar belakang yang sama. Pun cara pemberian contoh teladan harus seragam. Baginya itu adalah keadilan yang sempurna.

“Satu lagi, yang penting jadi guru jangan goblok!” tambahnya.

“Hai, hai, hai. Bukannya yang penting itu guru mampu mengantarkan seluruh generasi keluar dari ketidaktahuan dan ketidakdewasaan?” tanyaku yang bersifat menyanggah pendapatnya.

“Jangan sekali-kali mencoba menawarku. Sekali lagi kukatakan, jadi guru jangan bego!” katanya ngotot.

“Berapa guru yang akan mampu bertahan hidup jika satu per satu dari mereka dilenyapkan oleh muridnya sendiri?” tanyaku padanya.

“Pertanyaanmu itu seperti sanjungan buatku,” katanya sembari mulutnya ngakak dibarengi ludahnya muncrat-muncrat dan bau, seperti baunya comberan. Aku menerka dia malas gosok gigi. Jangankan gosok gigi, dalam keadaan kebelet buang hajat besar pun dia suka menahan-nahannya, sehingga jika kentutnya keluar akan teramat bau. Jika dia kentut, satu ruangan rasanya seperti baru saja mendapat bom daun sembokan. Bau itu membuat perut ingin muntah.

Ah, murid-murid seperti itu punya otak seperti tak pernah dipakai. Jika anak seperti itu awet hidup, kurasa kelak mereka akan menjadi bajingan sejati. Biar! Biarlah aku bilang mereka bajingan. Kenyataannya mereka memang sudah bajingan. Aku tak ingin memungkirinya, dalam hal ini aku memang ingin membela guru. Jujur, kali ini aku mewakili para guru yang dianggapnya pekok dan tak punya nyali melawan. Oh, andai mereka tahu, kurasa ini bukan masalah kurang nyali. Ini hanya semacam nasib, karena menurutku bagaimanapun bentuk pertengkaran antara guru dan murid, hukum tetap akan menyalahkan guru. Jadi untuk apa berlaku tegas terhadap muridnya. Begini Kawan, kata tegas di sini sebenarnya kata ganti dari menampar, menonjok, atau meludahi, jika perlu sembari misuh-misuhinya dengan aneka rupa kata biadab.

Murid bangsat memang seperti mendapat angin di zaman sekarang. Belum lagi jika ada tambahan peleton dari sanak keluarganya. Apapun masalahnya pihak guru akan diinjak-injak. Guru bahkan tidak akan punya kemaluan di hadapan orang tua murid jenis begitu. Menurutku mereka adalah kerabat yang melahirkan generasi-generasi bajingan yang kelak akan menguasai dunia gangster. Kau mengira aku kasar atau arogan? Oh mungkin kalian belum tahu sesungguhnya aku bukan apa-apanya dibanding sumpah serapah yang diciptakan oleh murid-murid bebal itu. Kalau tidak percaya, ini dia contonnya. Dia pernah berpesta serapah di suatu hari.

“Guru yang berlagak disiplin itu tak ubahnya seorang iblis. Mereka menerapkan cara-cara setan dalam memengaruhi muridnya untuk melakukan sesuatu,” semburnya sembari tangannya tak bisa diam mempermainkan belati lipat.

“Bagi kami, kejujuran guru itu terasa memuakkan,” semprot murid sealiran dengannya.

“Doa-doa yang diajarkan guru, bagiku itu hanya sekadar gaya untuk mengekalkan aib,” kata murid yang lain yang setipe dengannya.

Ah, mereka belum tahu, sebenarnya asal memenuhi kelima hal berikut, akan masuk ke dalam kategori guru milenia. Guru yang baik harus punya karakter seperti garam. Berikut rinciannya: kerja garam tidak bersuara, kerja garam tidak menonjol, menjadi garam berarti siap menjadi yang kecil, garam bisa melakukan pembusukan, dan yang terakhir menjadi garam yang berziarah. Selain itu, guru yang baik juga harus punya: kesalehan praktis, koorporate, sekutu, sakral dan profan.

“Itu cara-cara brengsek yang mereka jejalkan seperti kotoran.” Gok menyanggah dengan diiringi mata menyala-nyala.

“Maumu apa?” selidikku.

“Aku mau semua guru bisu sembari memakan sendiri tahi yang mereka jejalkan kepada kami!” semburnya.

Murid-murid seperti itu juga tidak pernah tahu, jauh-jauh hari, guru mereka sebenarnya telah berusaha dengan hati tulus dan ikhlas untuk menangani mereka. Bisa dikata, guru bekerja 24 jam tanpa jeda. Maksudnya tanpa jeda, kapan pun dihubungi profesi guru itu akan tetap melekat kepadanya. Bahkan mereka telah menyusun sebuah perbandingan situasi psikologis setiap muridnya, dengan harapan mereka dapat menemukan jalan keluar untuk murid-murid itu, terlebih bagi murid macam Gok.

Bahkan mereka juga tidak tahu, sesungguhnya guru tak penah melabeli murid-muridnya masuk ke dalam istilah gagal, karena guru menamainya dengan istilah yang berbeda. Guru hanya menganggap mereka belum berhasil. Guru juga berusaha tidak mempermalukan atas capaian apa pun, justru guru suka memancing dan memberi dorongan agar mereka bisa kembali mempunyai kegairahan mencoba. Selain itu guru juga tekun menanamkan bibit tentang keyakinan untuk tidak menyerah ke dalam relung hati muridnya. Jika hasil dari situ kembali tidak mencapainya lagi, guru akan meyakinkan bahwa mereka hanya membutuhkan waktu yang lebih lama. Tangannya selalu menanam biji etos di setiap jiwa mereka.

Puncak dari segala ketulusan itu ada pada tahap ini. Guru telah berusaha membagi tiga macam tingkatan tekanan, yang akan dipergunakan untuk membangun karakter. Yang pertama kelompok kurang produktif karena lemahnya tekanan, dimana ciri-ciri pada bagian ini, bosan, tidak puas, frustasi, apatis, tidur terganggu, mudah marah, motivasi menurun, lesu, dan tumpul. Kedua, kelompok stres yang optimal, ciri-cirinya, motivasi tinggi, perhatian tajam, energi tinggi, realistis, memori meningkat, persepsi tajam, maju, semangat, dan teliti. Yang terakhir kelompok terlalu tertekan, dengan ciri-ciri, lelah, bebas dan tak teratur, sakit, mudah marah, sering kecelakaan, suka absen, apatis, malas, mudah lupa, dan suka membunuh. Karena pertimbang satu dan dua hal, ciri-ciri yang terakhir di kelompok yang ketiga itu biasanya ditiadakan.***

 

Related posts

Leave a Comment

seven + 1 =