Agenda 

Reruntuhan Ketujuh

Afryantho Keyn, lahir bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober di Larantuka. Senang membaca dan menulis karya sastra, terutama cerpen. Menyelesaikan pendidikan tingkat menengahnya di Hokeng, Flores. Kini bergiat dan bermukim di Nusadani, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

 

Marko mendayung sampan memecah laut yang perlahan pasang, menyusuri reruntuhan tebing batu, membawa serta beribu canggung yang hebat berkecamuk dalam dada. Muka laut yang dibelah pendayung berdesir berirama, terpental ke dinding tebing, kemudian perlahan menghilang ke balik punggungnya, diserap kesunyian jelang pukul delapan malam.

Reruntuhan tebing yang ditujunya masih jauh. Menurut dugaannya, mungkin harus menghabiskan setengah jam lagi. Reruntuhan ketiga baru saja ditinggalkan. Telah disimpan dalam kepalanya petunjuk bapak untuk menemukan alamat itu.

“Berhentilah di reruntuhan ketujuh.” Suara berat mengangkat bicara dari pembaringan rumah sakit di kota kabupaten. Sakit paru-paru pun turut menyita kerja pita suara bapak. Marko berusaha memasang telinga dengan lebih teliti.

“Di dinding tebing, kau akan temukan gua, tersembunyi di antara akar beringin. Nah, tepat di kakinyalah, letak reruntuhan yang bapak maksud.”

Batuk yang tak kuat lagi ditahan, kemudian pecah dan memaksa mereka menyudahi percakapan. Marko tahu, dada bapak tentu akan terguncang hebat hingga lendir dari saluran pernapasannya berhasil dikeluarkan. Ibu pasti terus-menerus mengusap lembut punggung bapak hingga suasana kembali tenang. Semuanya biasa Marko lakukan selama menjaga bapak pada hari-hari sebelumnya.

Siang tadi Marko pulang dan tugas menjaga bapak diserahkan pada ibu. Menggantikan ibu, ia harus mengurusi pekerjaan rumah, terutama memberi makan dua belas kambing peliharaan bapak.

Marko tengah menebas batang-batang lamtoro yang daun-daunnya nyaris seluruhnya luruh ketika telepon bapak itu sampai. Meski penampakannya sedemikian mengecewakan karena diserang kemarau yang angkuh, lamtoro masih menyisakan kulit kayu yang dapat dikerat mulut ternak menjadi makan malam yang mewah.

Tiga hari lalu ketika ia meninggalkan kampung, lamtoro masih lumayan rimbun hingga menjelang pantai. Kini daun-daun berguguran, batang-batang yang tumbang sisa tebasan menunggu diubah matahari menjadi kayu-kayu bakar. Gerak perubahan kadang tak membutuhkan waktu yang panjang untuk berpindah, renung Marko, termasuk perubahan aneh pada tingkah laku bapak. Inti dari pembicaraan di telepon itu hanyalah memintanya untuk menangkap ikan kakap merah di reruntuhan ketujuh.

“Dokter sudah bilang, kandungan gizinya dapat mempercepat bapak keluar dari rumah sakit.” Segala hal mengenai kesembuhan bapak, memang tak dapat ditolak Marko meski kali ini permintaan yang diterimanya terasa sangat tak biasa.

Marko terus mendayung. Lelah mulai terasa menjalar ke lengannya. Ia harus tetap menajamkan mata jika tak ingin sampannya menabrak sederet runtuhan tebing.

Jika dihitung, terdapat lima belas tumpukan batu hasil dari tebing yang runtuh. Jarak antar-tumpukan tak begitu jauh, berkisar lima sampai enam meter. Dinding tebing pun telah retak di mana-mana, dan di celah retakan itu dihuni alang-alang serta beringin yang telah tua. Tebing memanjang ke arah barat, semakin jauh semakin menjorok ke selatan, sehingga mulai reruntuhan ketujuh, para pemancing tak akan terlihat lagi dari pantai.

Malam ini, laut dan sepanjang tebing hanya diterangi bulan yang tak utuh, melepas redup yang semakin banyak bersijatuh. Terpa angin perlahan muncul dan bergerak melawan arah sampan, membawa kesiur daun-daun beringin, memeluk tubuh Marko, dan cepat membangunkan kuduknya. Keheningan kadang tak selalu membawa ketenangan, dan isi kepala Marko begitu cepat mengacaukan keadaan, membentuk imajinasi liar yang justru menakut-nakuti dirinya sendiri. Dalam beberapa menit berselang, ia seakan mendengar sayup tangis pilu yang pecah di sepanjang tebing, langkah-langkah yang berlarian, dan retak batu-batu yang runtuh berjatuhan. Sejenak ia menghentikan laju sampan, memeriksa sekeliling, tetapi tak menemukan apa-apa selain laut yang bertambah sunyi dan dirinya sendiri.

***

Mulanya, Marko tak tahu-menahu perihal cerita pilu di tebing batu. Ia lahir beberapa tahun kemudian ketika tebing seakan telah lepas dari kesedihan yang besar.

Kebiasaan lama kembali menemukan tempat di sana. Saat laut pasang, sampan-sampan akan larung di kaki tebing membawa para pemancing yang tak pernah puas pada tangkapan. Saat laut surut, setiap inci batu karang akan diselidiki mata tombak, perangkap, dan cahaya lampu senter para penyuluh. Selebihnya, tebing itu menjadi penampakan menakjubkan yang turut memperindah pantai kampung, menjelma dinding pelindung yang siap menjegal gempuran laut sepanjang musim angin kencang.

Bapak melarang keras Marko bermain ke pantai, apalagi saat laut tengah surut. Marko masih terlalu kecil saat itu untuk berpikir keras menggali alasan apa di balik larangan bapak. Tetap saja, melewati setapak membelah belukar yang menembus ke hutan bakau, Marko dan bocah komplotannya diam-diam mencapai pantai.

Sewaktu sekolah dasar, Marko selalu berpikir, bagian-bagian tebing yang runtuh itu semata disebabkan masalah seperti yang tercatat dalam buku pelajaran ilmu alam. Ia semula yakin, segala jenis pelapukan telah berhasil mempercepat tebing kokoh itu ambruk. Akan tetapi kenyataan tak sesederhana itu.

Marko mulai dijejal banyak cerita ketika sering berkunjung ke rumah kakek Tora. Laki-laki tua itu dianggap mempunyai mata ketiga, di samping kemahiran membentuk gasing. Setiap kali musim permainan itu mencapai titik didih, pelataran rumahnya diserbu anak-anak. Hasil kerjanya selalu saja memenangi adu gasing.

Setiap kali membuat gasing, kakek Tora kerap menyisipkan cerita dari hasil penglihatannya. Yang paling diingat Marko ialah cerita yang menghuni reruntuhan ketujuh. Kakek Tora berkali-kali melihat sebuah pintu besar seakan menutup dinding tebing itu.

“Itu pintu gerbang menuju kampung orang mati.” Ia mengangkat wajah, sesaat menatap ke arah Marko yang tengah memberikan perhatian penuh. “Kakakmu masih di sana, seperti masih menunggu seseorang.”

Kakek Tora kemudian menambahkan hasil penglihatannya dengan cerita pahit yang tak sanggup dicerna Marko. Beberapa kali memancing, kakek Tora selalu mencium aroma tak sedap—seperti bau kotoran manusia—sebelum mendapati arwah Dimus melompat-lompat melewati babatuan di reruntuhan ketujuh. “Dimus merana dalam kesendirian, seakan belum waktunya untuk berpulang,” pungkas kakek Tora.

Marko menyimpan cerita itu rapat-rapat dan semakin memahami mengapa bapak selalu melarangnya pergi ke pantai dan sekaligus mendiamkan begitu lama cerita tentang Dimus. Akan tetapi, pada suatu malam, bapak tak kuat terus-menerus memendam setelah Marko berulang kali bertanya dengan linang air mata.

***

Pada senja nahas itu, laut semakin surut jauh sampai mengeringkan kaki tebing batu. Kesempatan itu tak disia-siakan siapapun, termasuk Dimus. Ia turut menenteng perlengkapan menyuluh—tombak kecil dan senter baterai—milik bapak. Ia telah mendapat izin menggunakannya selepas membantu bapak di kandang.

“Semalam aku mimpi tangkap ikan merah di tebing pakai tombak bapak.” Dimus berusaha membuka bicara setelah cukup lama diam memendam. Bapak tetap sibuk melingkarkan tali ke leher kambing jantan, membentuk ikatan yang paling nyaman—seakan tak tertarik mendengarkan sepatah kata.

Kambing benggala itu sekali lagi melompati pagar kandang dan menghilang ke dalam padang alang-alang. Bapak dan Dimus harus menghabiskan hampir sejam untuk menangkapnya kembali. Lengan belakang Dimus sedikit terkilir karena terseret gerak lari benggala itu ketika ia berhasil menangkap kakinya. Dimus berjuang keras, sebab jika berhasil, ia dengan sendirinya diizinkan untuk menyuluh.

Bapak tetap sibuk membentuk simpul-simpul di ujung tali, tak memedulikan cerita mimpinya. Membereskan ikatan di leher, bapak kemudian mengikat ujung tali lainnya ke tiang utama kandang. Dengan begitu, benggala nakal itu tak dapat lagi menerobos keluar. Lehernya telah terikat. Dimus terus mematung di pintu kandang, masih menunggu kepastian. Bapak keluar, memasang senyum di wajahnya, dan mengajak Dimus pulang.

“Bawa saja tombak bapak, lalu bawa pulang ikan merah. Tunggu bapak di pantai. Selesai iris tuak, bapak pasti menyusul.” Keduanya melewati setapak berkelok meninggalkan kandang. Bapak tak pernah menduga hal buruk yang bakal terjadi sedang kegembiraan besar Dimus tak akan pernah ampuh membatalkan amarah malapetaka.

Langit setengah gelap tergantung di atas pantai ketika malapetaka itu datang. Sebuah kekuatan besar tiba-tiba merambat-rambat di dalam lapisan tanah, menyebabkan bumi terguncang hebat. Para penyuluh kebingungan, berlari memikul ketakutan mencari arah, berusaha menjauhi tebing batu. Rasa pening menyerang setiap orang dalam beberapa menit. Setelah semua kembali tenang, langit telah gelap, dan hanya lampu-lampu senter yang dipakai untuk mengenali wajah orang sekitar. Menyadari ada yang hilang, dengan tangis yang tak tertahankan, orang beramai-ramai menyerbu tumpukan runtuhan tebing, mencari-cari siapa saja yang terjebak di sana. Bapak pun turut serta, menahan tangis yang mengguncang hebat dadanya, sebab ia tak menemukan Dimus di antara mereka.

***

Memastikan alamat, Marko menghidupkan senter. Tiga puluh menit yang melelahkan telah dilewati. Di hadapan samar-samar tumpukan batu, ia menghentikan sampan, mengarahkan pancar cahaya ke dinding tebing. Sekejap ia langsung menemukan pohon beringin besar yang akar-akarnya menjalar mencengkeram dinding. Satu hal yang akan membuat pencariannya berakhir kali ini ialah gua batu. Ia terus mencari-cari.

Sesuatu tiba-tiba terdengar menyeruak di atas tebing. Bunyi kepak sayap disusul gerakan hitam yang melesat-lesat. Marko cepat mengejar dengan pancar cahaya dan menemukan beberapa kelelawar beterbangan masuk ke dalam tebing. Rasa canggungnya seketika berkurang, sebab sebenarnya makhluk malam itu telah menunjukkan letak gua—penuh dililiti akar beringin. Marko seketika yakin, itulah reruntuhan ketujuh yang dimaksud bapak.

Pekerjaan masih panjang—meski sekadar mencari alamat telah menguras separuh tenaganya. Marko menggerakkan sampan sedikit menjauh, memancar cahaya ke dalam laut, menduga-duga karang tempat ikan merah berada. Menemukan tempat yang tepat, ia mulai menjatuhkan pukat. Pukat Ben cukup besar, membuat Marko yakin bakal membawa pulang ikan merah secukupnya.

Selesai menurunkan pukat, Marko menambatkan sampan ke reruntuhan tebing. Salah satu bongkah batu yang memiliki sisi permukaan yang pipih, digunakannya sebagai tempat menunggu pukat. Ia lantas mengumpulkan semak-semak kering, beberapa ranting beringin yang luruh, dan menghidupkan api. Bunyi kobaran api menjelaskan suasana kaki tebing yang semakin sunyi.

Mencari kesibukan untuk membunuh rasa canggung, Marko mengeluarkan telepon pintar dari saku jaket kulitnya. Waktu menjelang pukul sembilan terpampang di layar. Ia berniat mengirim pesan pendek kepada ibu, mengabarkan bahwa permintaan tak masuk akal bapak akan segera terbayar. Tetapi tebing itu sama sekali tak dijangkau sinyal. Ia tak bisa berbuat apa-apa, dan berencana akan mengirim pesan itu setibanya nanti di pantai. Ia kembali merindukan bapak.

Permintaan bapak sangat tak masuk akal kali ini. Marko tak habis pikir sejak menerima telepon bapak sore tadi. Ia tak tahu, apakah ada hubungan ikan kakap merah di reruntuhan ini dengan sakit paru-paru yang diderita bapak. Ia tak tahu, apakah bapak benar-benar mengutip pesan dokter atau sekadar mengarang-ngarang cerita. Yang ia tahu pasti, reruntuhan ketujuh menjadi tempat kakaknya, Dimus, meregang nyawa. Dan sejak kematian Dimus, reruntuhan ini cenderung dikaitkan dengan malapetaka—apalagi jika gong-gendang itu mengejarmu dari belakang.

Entah mengapa, kakap merah hanya ditemukan di sekitar reruntuhan ketujuh. Marko belum mendengarkan alasan yang memuaskan hingga usianya menginjak dua puluh tujuh kini. Orang-orang yang bersekolah mungkin bisa memberikan alasan yang lebih masuk akal. Tetapi, sebagian besar pelaut—termasuk Ben—lebih memilih melupakan jenis ikan yang menggiurkan itu. Selain runtuhan itu dihuni tragedi sejak bertahun-tahun silam, sebuah kejadian aneh yang dialami Bagas beberapa waktu lalu, turut memperkuat alasan para pelaut.

Pada malam itu, Bagas terpaksa menggulung tali pancingnya lebih cepat dan tergesa pulang karena dikejar-kejar riuh dari balik tebing. Sebuah pesta seakan digelar, begitu ramai dirubung gong-gendang yang bertalu-talu.

Setiba di rumah, Bagas baru memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Di balik pintu kamar yang belum sepenuhnya ditutup, ia mendapati kenyataan menyayat hati. Bapak Muki, mertuanya, ditemukan telah tak bernyawa di tempat tidurnya.

Marko, sama seperti orang lainnya, yakin pada penglihatan kakek Tora. Reruntuhan ketujuh merupakan pintu gerbang menuju kampung orang mati. Dan riuh rendah menakutkan itu ialah sebuah pesta besar, ritual penerimaan arwah yang dijemput ajal.

Tetapi kali ini, Marko tak mengerti mengapa ia tetap memilih untuk melaut meski ia tahu talu gong-gendang bisa kapan saja mengejarnya dari belakang.

***

Api mulai redup, kekurangan semak dan kayu-kayu kering. Gelap perlahan-lahan jatuh mengepung tempat duduknya. Marko tak peduli, ia tak ingin banyak bergerak sebab kali ini ia tiba-tiba kembali merasa canggung. Ia memilih berbaring menghadap laut, ke arah letak pukat dan memunggunggi tebing. Beberapa detik berselang, api benar-benar padam, dan ia tak bisa menyangkal jika rasa takut mulai merambati seluruh tubuhnya, mengalir dari sesak dadanya.

Marko perlahan memejam dan berusaha terlelap. Dengan cara itu mungkin ia bisa melupakan sejenak kengerian yang sedang mengelilinginya. Tetapi tetap saja, telinganya tajam tak membiarkan apa pun berlalu begitu saja.

Mulanya, kepak sayap terdengar bergerak dari atas tebing melintas di atas kepalanya. Hanya kelelawar yang mencari makan, pikir Marko. Tetapi tak lama berselang, bunyi kepak lain susul-menyusul, terbang melintas semakin dekat di atas kepalanya, seakan koloni binatang malam itu diusir secara paksa dari sarang mereka. Marko merasa keadaan mulai tak beres. Tetapi ia belum berani membuka matanya.

Riuh kepak sayap belum usai, terdengar bunyi retakan dari dinding tebing sebelum sebuah dentuman besar pecah di belakang Marko. Air laut berhamburan ke udara dan menimpah tubuh Marko. Ada batu yang runtuh, pikir Marko panik. Ia semakin ketakutan dan ingin memastikan keadaan. Tetapi anehnya, ia tak mampu membuka mata sedikit pun. Ia tak berdaya menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Ada sesuatu yang seakan mengikat erat sekujur tubuhnya.

Seperti kelelawar, batu-batu lain pun susul-menyusul runtuh hingga menggetarkan tempat Marko berbaring. Tetapi dalam sekejap, keadaan kembali bergeming, begitu hening. Marko mendengarkan degup dadanya bergetar hebat.

Tak lama berselang, sesuatu yang lebih menakutkan perlahan mengalir merobek-robek keheningan. Marko seakan dipaksa menyerahkan diri seutuhnya pada hal yang selalu ia takutkan. Talu gong-gendang yang selama ini hanya sebatas cerita, perlahan-lahan terdengar menyerbu dari balik punggungnya, seakan mengalir dari celah-celah tebing, gua, pohon beringin, dan masuk membludak ke dalam telinganya. Kegaduhan itu kini benar-benar ia dengarkan dari dekat dengan telinganya sendiri, seakan gerbang kematian akan dibuka untuk menelan dirinya bulat-bulat. Kuduknya menegak hebat.

Kemudian, di antara riuh rendah itu, datang aroma tak sedap disusul langkah kaki yang terdengar bergerak mendekat dari belakang Marko. Kaki-kaki yang lincah, melompat dari satu batu ke batu yang lainnya—sesekali menjatuhkan kerikil ke dalam air—dan berhenti persis di punggung Marko. Tak hanya itu, ada satu lagi langkah lain yang menyusul dari belakang.

Marko merasa dua pasang kaki itu benar-benar menyentuh punggungnya. Tetapi tetap saja ia tak bisa menggerakkan kelopak maupun seluruh tubuhnya. Ketakutannya kian menebal. Beberapa menit berselang, langkah asing itu kembali bergerak menjauh, melompat dari batu ke batu yang lain sebagaimana mereka datang, membawa pulang aroma tak sedap itu, perlahan lenyap bersama kegaduhan pesta yang kembali diserap masuk ke dalam celah-celah tebing, gua dan pohon beringin.

Marko langsung bergerak bangun setelah bersusah payah berusaha. Ikatan aneh itu telah melepas kekangan. Dadanya bergetar hebat melawan segala jenis ketakutan yang mengepungnya. Menyalakan senter dan memasang mata ke sekeliling, ia tetap menemukan keadaan seperti sebelumnya, seakan tak terjadi apa-apa. Semuanya sungguh sulit ia pahami. Kini, yang tersisa hanyalah riak laut di hadapannya. Pukat telah berhasil mengurung mangsa.

Marko cepat menjauh meninggalkan reruntuhan tebing. Tergesa menarik pukat dan memuntahkan puluhan ikan merah ke dalam sampan. Hasil tangkapannya malah tak sedikit pun membuat dadanya tenang. Ada hal lebih besar yang sedang mengganggu isi kepalanya.

Mencapai pantai, Marko mengeluarkan telepon dan segera menekan nomor ibu. Berkali-kali tetapi tetap saja tak dapat dihubungi. Ia menghempaskan tubuhnya ke pasir yang basah dengan perasaan putus asa. Dari dalam sampan, ikan merah sesekali menggelepar kehabisan nyawa.

Tak lama kemudian, telepon berdering. Berulang-ulang. Mata Marko kembali benderang. Tujuh pesan singkat dari ibu sampai. Jumlah yang tak biasa. Tentu itu pesan-pesan yang dikirim ibu sejak tadi tetapi baru berhasil sampai setelah telepon pintarnya mendapatkan sinyal, yakin Marko. Dengan getar dada yang belum reda, Marko perlahan membuka kotak pesan dan sungguh berharap tak mendapati kabar buruk yang merebut hidup bapak.

(Nusadani, 2017-2018)

 

Related posts

Leave a Comment

nineteen − 17 =