CERPEN 

Kenangan Bersama Haris

Irawaty Nusa, penulis cerpen dan kritik sastra yang disiarkan di berbagai harian nasional dan media daring, di antaranya Kabar Madura, Kabar Banten, Tangsel Pos, Satelit News, nusantaranews.co, klipingsastra.com,  kawaca.com, Jurnal Toddoppuli, Ahmad Tohari’s Web, dan lain-lain.

 

Setiap tiga bulan sekali, sebagaimana lazimnya seorang anak berpendidikan tinggi, saya mengunjungi kedua orang tua yang tinggal di sebuah apartemen di wilayah Jakarta Timur. Meskipun jarak antara Anyer dan Jakarta mencapai ratusan kilometer, sebagai anak perempuan satu-satunya yang memiliki rasa tanggung jawab, saya berusaha menyempatkan diri untuk selalu berjumpa dengan mereka, dalam keadaan sesibuk apapun.

Kedua orang tua saya tinggal di apartemen sempit yang disesaki oleh berbagai perabotan. Masa-masa pensiun telah mengubah keduanya menjadi semakin kisut dan keriput. Usia Ayah sekitar 80-an tahun, mungkin sekitar empat atau lima tahun di atas usia Ibu. Postur tubuh mereka terlihat kurus dan ramping, serta berjalan agak membungkuk. Keduanya semakin terlihat mirip, seakan tahun-tahun yang mereka lalui telah membuat mereka menjadi satu tubuh bahkan satu jiwa. Aromanya juga sama. Ada wangi-wangian mint dari minyak gosok remason atau minyak kayu putih yang cukup menyengat dari tubuh-tubuh mereka.

Ketika saya tiba di ruang apartemen, biasanya saya mendapati mereka sedang duduk-duduk di beranda memandangi jalanan, atau meringkuk di sofa menonton acara debat dan dialog tentang perkembangan politik Indonesia. Selain itu, mereka juga gemar mengikuti acara tentang lika-liku kehidupan artis dan selebriti, baik dari sisi positif maupun negatifnya.

Semakin lanjut usia, nampaknya mereka semakin peka dan mudah mengagumi banyak hal. Mereka mudah takjub pada hal-hal yang nampaknya sederhana dan biasa saja. Misalnya tentang kasus tabrakan, pencurian kendaraan bermotor, juga kasus korupsi oleh beberapa anggota DPR, atau bahkan kasus perceraian artis, hingga kasus-kasus persidangan karena sengketa lahan tanah atau percekcokan maupun kekerasan dalam rumah-tangga.

“Coba lihat itu! Ya ampun… masya Allah… astaghfirullahal-adzim…!” begitulah mereka berteriak-teriak satu sama lain.

Sekali waktu Ibu bercerita bahwa seorang tetangga yang sakit di daerah Jatinegara, kota asal nenek moyangnya, memuntahkan belatung-belatung yang masih hidup menggeremet. Peristiwa itu menunjukkan bahwa konon, ada salah satu anggota keluarga si sakit yang meracuninya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Apa buktinya?” tanya saya pada Ibu.

Keduanya saling bertatapan, kemudian jawab Ayah, “Satu hari setelah kejadian itu, keluarga korban menerima pesan singkat melalui HP-nya yang disertai dengan foto-foto belatung.”

Dua puluh tahun lalu, kedua orang tua saya mengolok-olok cerita naif semacam itu. Ibu saya, seorang doktor ilmu politik, akan berkata “omong kosong” dan ayah saya, profesor ilmu pendidikan agama, akan mendengus kesal. Karena menurutnya, membicarakan cerita-cerita macam itu hanya akan buang-buang waktu saja. Saya heran, bagaimana mereka bisa menanggalkan sosok lama mereka lalu menjadi orang Indonesia baru yang amat percaya bahwa air suci yang diambil dari sumur di daerah Banten, dapat menyembuhkan penyakit diabetes yang kronis sekalipun.

Gerak-gerik keduanya semakin pelan dan melambat. Wajah mereka tirus dan berbinar setiap melihat muka saya, sehingga pertanyaan mereka agak mengganggu, “Kapan Ibu bisa gendong cucu?”, “Coba sekali-kali kamu bawa pacarmu untuk dikenalkan?”

Saya hanya menggumam jengkel, “Jodoh itu sudah ada yang ngatur….”

Dalam kunjungan di bulan April lalu, kedua orang tua saya bercerita tentang meningkatnya angka kriminalitas oleh perampokan dan pembegalan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Ibu bercerita bagaimana dua orang pembegal ditangkap dan dikeroyok massa di daerah Jakarta Selatan, lalu mereka ditelanjangi dan dikalungkan ban-ban bekas sambil diteriaki “PKI” dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya.

Kalau bukan karena pertolongan aparat kepolisian yang dengan sigap melerai kerusuhan itu, mereka sudah siap mengobarkan api dengan minyak tanah dan korek api yang siap menyulutnya. Tembakan peringatan dan teriakan polisi agar jangan main hakim sendiri, telah membubarkan kerumunan massa, hingga kedua pembegal itupun diamankan dan dibawa ke kantor polisi setempat.

“Kamu tahu nggak?” kata Ibu kemudian “Salah satu dari pembegal itu adalah orang yang pernah kita kenal bersama…”

“Pernah kita kenal?” kata saya kaget, “siapa, Bu?”

“Orang itu adalah Haris. Dia pernah tinggal bersama kita belasan tahun lalu,” ia menggeser duduknya sedikit, dan lanjutnya, “Ibu tidak tahu, apakah kamu masih ingat dengan orang itu?”

Saya menatap Ibu sambil berkata lirih, “Haris?”

“Ayah tidak heran kalau dia jadi pembegal. Sebab, ketika tinggal bersama kita juga dia sudah membikin masalah…”

Pikiran saya terperangkap oleh cerita tentang pembegalan itu. Sekarang saya berusaha melupakan kenangan masa lalu yang tiba-tiba muncul kembali.

“Mungkin kamu sudah lupa pada Haris,” sambung Ibu lagi, “Ibu bisa mengerti karena dulu kita memiliki banyak pembantu yang hampir setiap habis lebaran berganti-ganti. Waktu itu kamu masih terlalu kecil untuk mengingat wajah Haris.”

Tetapi, Ibu nampaknya keliru. Tentu saja saya ingat betul saat-saat bersama Haris. Saya ingat betul tentang perjalanan hidup saya sewaktu Haris menjadi pembantu di rumah kami.

***

Seumumnya sosok remaja yang datang dari desa, Haris adalah satu di antara pembantu-pembantu lain yang datang silih berganti. Tak ada yang aneh ketika Haris tinggal bersama kami. Ia terlihat kalem dan lugu. Agak berbeda dengan Majid yang diusir oleh Ayah karena berkali-kali menghina ibu saya. Sebelum Majid, pembantu lainnya adalah Arif. Saya mengingat dia waktu memecahkan piring kesayangan Ibu saat mencucinya. Setelah itu ia bergegas mengepak barang-barangnya, lalu kabur sebelum Ibu pulang dari kantor.

Hampir semua pembantu bekerja asal-asalan karena mereka tidak menyukai Ibu. Perangai Ibu yang suka bicara keras dan selalu mengatakan bahwa kerja mereka lamban dan loyo, membuat mereka sering ngambek dan uring-uringan. Setiap kali Ibu membunyikan bel pintu rumah, derit pintu yang terbuka menghantarkan semacam teror ke seluruh rumah, seolah Ibu sedang berteriak-teriak ke arah mereka. “Kenapa kamu sulit sekali mengingat cara menggoreng telur yang berbeda, untuk Ayah hanya diberi garam, sedangkan untuk Ibu dicampur bawang merah?”

Ibu juga akan membentak mereka apabila menaruh vas bunga secara kurang tepat setelah mereka membersihkan debu di sekitar meja. Bahkan juga dalam soal menyeterika seragam sekolah saya secara baik dan benar. Saya adalah anak tunggal yang lahir saat usia keduanya sudah tidak muda lagi.

Saya masih ingat ketika naik kelas enam SD, saat usia menginjak dua belas tahun. Ibu punya kebiasaan bicara secara blak-blakan. Ayah juga kurang lebih sama. Keduanya nampak seperti orang yang mudah meremehkan orang lain. Mereka berjumpa di Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Jakarta. Mereka menikah seakan tanpa persetujuan keluarga, karena tingkat pendidikan Ibu yang terlalu tinggi. Dari pihak keluarga Ibu mengharapkan seorang laki-laki yang kaya-raya. Tetapi keduanya justru bersaing dalam soal, siapa yang paling banyak menerbitkan buku, dan siapa yang paling mahir dalam argumentasi soal perpolitikan Indonesia.

Sepanjang masa kanak-kanak, saya selalu khawatir kalau-kalau saya tidak bisa merespon dengan cepat apa-apa yang mereka perbincangkan. Saya juga khawatir karena saya kurang menyukai buku-buku ilmiah ketimbang komik dan novel. Membaca buku ilmiah tidak banyak memengaruhi saya sebagaimana mereka mampu menikmati bacaan yang sedang ditekuni. Saya membaca buku sekadar untuk menyenangkan hati keduanya saja. juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tak terduga di meja makan.

Saya bisa merasakan kekecewaan saat kedua orang tua saya bertukar pandang mendengarkan apa yang saya katakan soal buku, kemudian mereka paham bahwa apa yang saya utarakan adalah hal-hal yang biasa saja. Pergi berolahraga di klub universitas tempat keduanya bekerja adalah siksaan bagi saya. Olahraga tenis meja adalah hal yang membosankan. Aturan permainannya terlihat seperti sesuatu yang tak ada ujung pangkalnya.

Saya sangat sering menonton “Kungfu Master” dan ingin sekali punya kemahiran karate seperti Jet Li. Saya menendang dan menyerang musuh khayalan yang telah membunuh keluarga khayalan saya. Saya meletakkan kasur di atas lantai, berdiri di atas dua tumpukan buku-buku tebal sambil melompat dan berteriak, “Ciaaat!”

Suatu hari, ketika sedang berlatih karate, terlihat Haris sedang berdiri di depan pintu, menonton aksi saya. Ia tersenyum menyaksikan saya menirukan gerakan Jet Li dari adegan favorit saya di film. Saya menatapnya girang.

Tiba-tiba ia berteriak, “Lihat nih!” Ia memasang kuda-kuda lalu menendang setinggi-tingginya. Sampai saat itu saya belum pernah sekalipun merasa mengenali diri saya sendiri dalam sosok orang lain. Kami berlatih di halaman belakang. Meloncat dan mendarat di atas rerumputan. Haris mengajari cara memasang kuda-kuda ala Jet Li. Ia mengajari saya teknik pernapasan. Di halaman belakang, latihan saya terasa benar-benar nyata. Ada rerumputan, langit biru dan ruang tak terbatas yang bisa saya taklukkan. Saya bisa menjadi pemegang sabuk hitam suatu hari nanti. Di balik pintu keluar dapur, ada teras. Saya ingin meloncat dari teras itu, mencoba jurus tendangan di udara.

“Jangan!” kata Haris mengingatkan, “itu terlalu tinggi.”

Di akhir pekan, kalau kedua orang tua saya pergi ke klub universitas, saya dan Haris menonton film Kungfu Master.

“Nah, lihat tuh!” kata Haris. Saya mendapatkan perspektif baru soal film ketika menontonnya dari sudut pandang Haris. Jurus yang mulanya saya kira biasa saja, terlihat keren saat Haris berkata “lihat tuh!” Haris benar-benar tahu bagian paling penting dari film itu. Ia memutar ulang bagian ketika Jet Li memperagakan samurai, lalu saya menontonnya tanpa berkedip, menyaksikan senjata itu bergerak lincah.

Tak lama berselang, sepulangnya dari sekolah, Haris menunjukkan samurai pendek buatannya. Ia membuat samurai itu selama seminggu, di waktu-waktu luangnya setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia menunjukkan cara menggunakannya. “Tidak cukup berlatih selama satu dua minggu untuk bisa menggunakan samurai dengan baik,” ujar Haris.

Orang tua saya tidak menyadari kedekatan saya dengan Haris. Suatu saat, ketika Haris telah selesai mengangkat galon air, ia menantang saya berkelahi. Duel dimulai. Haris berkelahi dengan tangan kosong, sedangkan saya menggunakan samurai. Haris mendorong saya dengan keras, namun samurai itu mengenai lengannya, membuatnya terlihat agak terkejut karena ia sebelumnya tidak yakin akan kemampuan saya.

Saya mengayunkan samurai berulang-ulang. Haris menghindar dan menendang. Waktu berlalu begitu saja. Di akhir duel, kami terengah-engah dan tertawa. Saya ingat dengan jelas, bahkan sampai saat ini, ketat celana pendek Haris sore itu, serta otot-otot kekar di sekitar kaki dan tangannya.

***

Suatu sore, setelah Haris menyiram tanaman pada pot-pot bunga, Ibu mengamati gerak-geriknya dengan seksama, kemudian memanggilnya, “Haris, ke sini sebentar.” Seketika itu ia mengamati mata Haris yang memerah lalu katanya lagi, “Matamu kenapa? Kamu sakit mata, ya?”

Mata Haris memang terlihat merah. Ada belekan di sekitar ujung pelupuk matanya. Ia mengatakan bahwa ada serangga yang masuk ke matanya hingga terasa gatal-gatal.

“Kelihatannya kamu sakit mata, Haris!” kata Ayah.

Ibu mengecek mata Haris. “Ah, benar kamu sakit mata. Ya sudah, kamu pergi ke kamarmu dan istirahat di sana.”

Haris agak ragu. Ia seolah masih ingin mengelap meja dari debu-debu yang melapisinya.

“Biar nanti Ibu yang membereskan. Kamu istirahat saja di kamar,” kata Ibu lagi.

Haris, terlihat bingung, kemudian melangkah menuju kamar.

“Sepertinya ia terkena infeksi conjunctiva,” kata Ibu lagi.

Mendengar kata ‘conjunctiva’ membuat saya merasa ngeri dan takut. Kemudian saya tanyakan istilah itu, yang ternyata artinya biasa saja, “selaput mata”. Berarti, ada selaput pada kedua bola mata Haris yang harus dibersihkan.

Sepulang dari kantor, Ibu membawakan obat tetes mata untuk Haris. “Teteskan tiga kali sehari. Kamu istirahat di kamar, tak usah kerja dulu sebelum kamu benar-benar sembuh.”

Ia membisiki saya agar jangan mendekat pada Haris, karena infeksi selaput mata dapat menular dengan cepat.

Tak lama berselang, hari-hari terasa hampa tanpa kehadiran Haris. Karena dialah yang biasa membukakan pintu, menutup tirai jendela, menyiram tanaman, membersihkan perabot hingga menghidupkan dan mematikan lampu. Segera setelah kedua orang tua saya sibuk dengan urusan mereka, diam-diam saya menemui Haris. Ia sedang berbaring. Saya tak pernah memasuki kamar tidurnya sebelumnya.

“Ada apa?” katanya kaget.

“Tidak ada apa-apa. Saya cuma mau menengok kamu.”

“Jangan mendekat. Nanti ibumu marah.”

Saya tetap mendekatinya. “Saya juga pernah sakit mata waktu SD kelas dua. Nggak usah takut, nanti juga sembuh. Sudah pakai obat mata belum?”

Haris tidak menjawab. Kemasan obat tetes mata kelihatannya seperti belum pernah dipakai. “Lho? Kamu belum pernah pakai obat ini sama sekali ?”

“Belum.”

“Kenapa ?”

Haris menghindari tatapan saya. “Saya tidak bisa meneteskan obat itu dengan tangan sendiri.”

Mulanya saya heran, lantas saya merasa geli kemudian timbul rasa kasihan. Saya memandangi kamar tidurnya, dan agak kaget menyadari perabotannya yang sedikit. Hanya ada tempat tidur, meja dan kotak semacam brankas yang mungkin berisi semua “harta” miliknya.

“Kalau begitu, biar saya bantu meneteskan obat ini untukmu.”

“Jangan mendekat,” katanya lagi.

Saya sudah berada di dekatnya, dan saya pun menyuruhnya duduk, kemudian meneteskan obat mata itu pada kedua kelopak matanya.

Ia mengedip beberapa kali kemudian membuka matanya. Ada binar yang menakjubkan terpancar dari wajahnya. Saya belum pernah merasa kagum seperti ini sebelumnya. Saya memandang wajahnya yang polos dan lugu, bagaikan tunas-tunas jagung yang baru tumbuh tegak mencari sinar matahari.

Di hari ketiga, kamar Haris tidak lagi terasa asing. Ketika saya membantu meneteskan obat mata, saya memperhatikan Haris dengan seksama. Kumis tipis di atas bibirnya, garis-garis tipis di lehernya. Saya duduk di sisi tempat tidurnya dan mengobrol soal jurus Jet Li. Kami telah membahas film Kungfu Master berulang-ulang kali, dan kami mengulang-ulang lagi apa yang pernah kami katakan. Saat itu, di kamar tidurnya yang sepi, semua yang kami bicarakan terasa seperti sebuah rahasia. Kami bicara dalam nada rendah. Hangat tubuhnya bisa saya rasakan. Haris bangun dan menirukan jurus ular. Kami berdua tertawa. Bersenda gurau. Ia meraih tangan saya, lalu melepasnya lagi.

“Akhirnya sembuh juga,” katanya kemudian.

Matanya kembali terlihat normal. Tapi entah kenapa, justru saya berharap agar ia tidak cepat-cepat sembuh.

***

Malam hari, ketika saya membaca buku berjudul Perasaan Orang Banten, entah kenapa, terasa ada yang gatal-gatal pada kedua bola mata saya. Saya pun mengucek-uceknya, lagi dan lagi. Keesokan paginya, cairan lengket putih memenuhi sekitar bulu-bulu mata, dan kelopak mata saya tak bisa dibuka. Rasanya ada ratusan butir pasir di balik kelopak mata saya.

Setelah saya katakan pada Ibu, seketika ia berteriak, “Haris, bagaimana kamu bisa menularkan penyakit ini?” Haris membisu, tak menanggapi omelan Ibu.

“Bagaimana dia bisa menularkan penyakit itu, kalau seharian dia tetap di dalam kamar?” kata Ayah.

Kontan saya menjawab, “Bukan Haris yang menularkan sakit mata ini, tapi salah satu teman di kelas saya.”

“Siapa?” tanya Ibu.

“Alena,” saya menjawab nama yang seketika muncul di kepala saya.

“Apa kamu merasa sakit kepala?”

“Ya,” jawab saya.

Ibu segera menelepon Dokter Tri Agus. Setelah itu, keduanya berdiri di depan pintu kamar, mengawasi saya yang sedang minum susu yang dibuatkan Ayah. Saya minum dengan lekas, berharap mereka tidak mengambil kursi malas dan duduk seharian di kamar seperti ketika saya terserang malaria, dan mereka duduk semalam suntuk. Lalu, ketika saya terbangun dengan lidah yang terasa pahit, mereka masih juga duduk-duduk menunggu sambil membaca buku. Karena itu, saya ingin berusaha agar cepat sembuh, supaya tidak terlampau menyiksa hari-hari mereka.

Dokter Tri Agus datang dan memeriksa kondisi mata saya. Aroma cologne menguar dari tubuhnya, nyaris seperti bau alkohol yang bisa menyebabkan seseorang merasa mual dan pusing. Setelah dokter itu pergi, Ibu menyuruh saya minum obat dan sirup pemberian dokter 3x sehari. Setelah itu, Ayah meneteskan obat mata pada kedua mata saya. Mereka tidak tahu kalau saya bisa meneteskan obat mata itu tanpa bantuan orang lain. Setiap kali kemasan obat tetes mata itu tepat berada di hadapan mata saya, saya selalu terkenang wajah Haris malam itu di kamarnya, dan saya merasa sangat bahagia.

Orang tua saya menutup tirai jendela, membiarkan kamar tidur saya gelap. Saya sudah lelah karena terus-terusan berbaring. Saya berharap Haris akan menengok ke kamar. Ia bisa pura-pura menyapu lantai atau membawakan air putih hangat untuk minum obat, tapi kenapa dia tidak datang juga? Dia bahkan tidak menunjukan rasa simpati pada kondisi saya. Saya ingin sekali mendengar suaranya, tapi jarak kamarnya cukup jauh dan Haris selalu berbicara pelan ketika berurusan dengan Ibu. Sekali waktu, setelah dari toilet, saya menuruni tangga, mencoba untuk ke dapur, tapi Ayah saya tiba-tiba muncul di ujung tangga.

“Indah, mau apa ke sini?”

“Saya mau minum, Yah.”

“Ayo, kembali ke tempat tidur, biar Ayah yang mengambilkan minum.”

Akhirnya, kedua orang tua saya bepergian bersama ketika saya sedang tertidur. Saat saya terbangun, sepertinya tidak ada orang di rumah. Saya berlari cepat menuruni tangga menuju dapur. Tak ada orang juga di dapur. Saya kira, Haris ada di kamarnya.

Saya menuju beranda. Terdengar suara Haris sebelum saya melihatnya berdiri di dekat tangki air, sedang mengobrol bersama Nita, seorang pembantu di rumah Pak Baihaki, seorang anggota DPRD tingkat provinsi. Postur tubuh Nita tinggi dan ramping. Wajahnya bulat dan putih. Sepintas terlihat seperti mau berpamitan pergi, tetapi Haris berusaha menahannya. Bersamanya Haris terlihat berbeda. Berdirinya nampak santun dan berani. Pada saat mengobrol, Haris sanggup bicara di hadapannya seperti laki-laki jantan yang bisa menguasai situasi. Seolah ada hal yang menyenangkan di balik sikap Nita. Saat itu, akal sehat saya seperti goncang dan limbung seketika.

“Haris!” Saya membentaknya keras.

“Oh, kenapa keluar kamar, nanti Ibu marah, Nona?”

Haris bicara seakan saya adalah anak kecil. Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa antara saya dengan dia beberapa waktu lalu di kamar yang redup.

“Saya haus, mana air putih?” Kalimat ini adalah kalimat yang seketika muncul di kepala saya.

Nita mengerutkan keningnya seolah sedang menahan tawa yang akan pecah. Haris mengatakan sesuatu, dan saya tidak dapat mendengar suaranya meskipun saya mencium aroma pengkhianatan di sana. Kedua orang tua saya tiba di rumah saat itu juga, sehingga Nita bergegas pergi dan Haris menghampiri saya. Kalau saja kedua orang tua saya belum tiba, Haris pasti masih mengobrol dengan Nita. Kehadiran saya seolah tidak ada pengaruhnya sedikit pun.

“Nanti saya bawakan air putih,” kata Haris sambil melangkah menuju dapur.

“Kenapa kamu tidak menengok saya di kamar?”cetus saya.

“Ibu bilang saya tidak boleh ada di sekitar Indah.”

Mengapa dia menganggap omongan Ibu adalah perkara serius. Bukankah saya juga pernah dilarang untuk masuk ke kamarnya pada saat dia sakit mata, tetapi saya tetap masuk dan membantunya meneteskan obat mata? Kenapa hal serupa tidak dia lakukan untuk diri saya?

“Gara-gara kamu saya ketularan, tahu?”

“Maaf, Nona.”

Saya mendengar suara Ayah dan Ibu. Saya kesal karena mereka pulang, membuat waktu pertemuan saya dan Haris menjadi singkat saja. Melihat mereka berdua, mata saya seperti terbakar lagi. Haris segera naik tangga, dan saya tergesa-gesa menjauh darinya, hingga saya terjatuh. Dan saya pun mulai menangis.

“Ya ampun, Indah! Kenapa, Nak?” teriak Ayah dan Ibu.

Saya tetap berlutut di tanah, kerikil menusuk lutut saya, “Haris tadi mendorong saya.”

“Apa?!” mereka terperangah dalam waktu bersamaan.

***

Tengah malam saya terbangun di kamar apartemen orang tua saya. Saya beranjak menuju beranda sambil duduk-duduk memandang jalan raya di kejauhan sana. Tak ada pasangan hidup yang menemani saya di usia yang sudah menginjak 35 tahun. Saya harus menerima nasib hidup yang sampai detik ini belum juga menemukan jodohnya. Saya merasa bersedih mengenang masa lalu bersama Haris, yang kini sedang mendekam dalam penjara karena kasus pembegalan.

Kalau mau jujur, sebenarnya masih ada jeda waktu sebelum Ibu menampar muka Haris. Ya, masih ada kesempatan bagi saya untuk bicara terus terang, sebelum Ayah memutuskan untuk mengusirnya dari rumah.

Masih ada jeda waktu jika saya mau membuka mulut, lalu menjelaskan bahwa saya terjatuh sendiri dan tak ada seorang pun yang mendorong saya waktu itu. Ya, masih ada jeda waktu untuk mengatakan apa adanya, bahwa saya telah memfitnah Haris dan membohongi kedua orang tua saya…. (*)

Related posts

Leave a Comment

seventeen − eight =