CERPEN 

Jarum Suntik

Cerpen Ahmad Dzikron Haikal _________________________________________________________________

 

Salah satu penyebab aku tak mau berurusan dengan rumah sakit adalah jarum suntik. Aku berani bertaruh bahwa bayangan rasa nyeri yang ditimbulkan oleh ujung jarum yang menembus kulit dan pori-pori merupakan alasan seseorang takut dengannya. Begitupun denganku.

Sebagai lelaki, aku sering dianggap pengecut karena menghindar dari sesuatu yang sebagian lelaki sering menganggapnya perkara sepele, namun mampu membawa dampak buruk pada kondisi mentalku. Dan Trypanophobia adalah jawabanku untuk mereka. Dengan alasan seperti itu, paling tidak aku bisa mendamaikan perasaan karena anggapan mereka.
Bagiku, jarum suntik dapat membuat seseorang sepertiku merasa tidak nyaman ketika berhadapan dengan perawat. Dengan kata lain, sebenarnya aku menginginkan ada alternatif lain untuk menyembuhkan penyakit dari dalam tanpa menggunakan bantuan alat suntik.
Aku ngeri saja membayangkannya. Ditambah pengalamanku ketika seorang perawat datang dan mengambil sampel darahku. Berkali-kali menusukkan jarum suntik pada tanganku dan berulang kali dia sulit menemukan pembulu darah vena di lenganku. Entahlah, aku tidak tahu apakah pembuluh darahku yang tipis atau si perawat yang gugup dengan orang sepertiku.
Sudah beberapa musim panen berlalu, semenjak adanya wabah penyakit Angina yang melanda desa, seluruh warga diwajibkan mendaftarkan diri untuk pendataan dalam rangka pembagian vaksin dari pemerintah. Tentu saja himbauan tersebut bagai hujan kali pertama saat musim kebosanan melanda. Namun bagiku justru sebaliknya.
Sikapku yang demikian itu sebenarnya hanya karena aku ingin menyembunyikan ketakutanku terhadap jarum suntik dan sedikit ingin mendapatkan pengakuan dari teman-teman bahwa aku adalah orang yang idealis. Setidaknya dengan bersikap begitu bisa mengalihkan pandangan mereka betapa aku salah satu seorang penakut yang berdiri sombong di tengah-tengah kegelisahan menghadapi wabah yang belum pasti kapan segera terlewati.
Karena kuakui aku pernah dibuat khawatir tentang wabah ini, wabah penyakit yang tidak menampakkan gejala pasti kepada penderitanya. Rata-rata yang meninggal akibat Angina hanya mengeluhkan sesak napas. Itu pun si penderita sebelumnya terlihat sehat dan baik-baik saja. Aku tak bisa membayangkan jika wabah penyakit ini sampai masuk dalam kategori penyakit menular, bisa dipastikan berapa kali aku harus berhadapan dengan perawat dan jarum suntik.
Sudah lima orang tetanggaku yang meninggal dunia akibat wabah Angina dan jumlahnya mungkin saja terus bertambah. Bahkan Lek Bejo yang jarang keluar rumah pun hampir saja menjadi korban lantaran mendadaknya penyakit tersebut hinggap di tubuhnya. Beruntungnya Lek Bejo dapat terselamatkan hanya dengan meminum parutan bawang merah yang dicampur madu.
“Apa kamu nggak mikir bahwa ini kesempatan yang bagus, pemerintah memberikan vaksin secara gratis saat kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain bertahan di tengah-tengah keadaan yang menjengkelkan seperti sekarang ini?!” Kata Pakdheku beberapa waktu lalu ketika mengunjungi ibu, seolah-olah mampu meyakinkan aku.
Aku memilih diam. Hanya saja karena setiap berkunjung ke rumah, Pakdhe selalu memdesakku, tak ada pilihan lain kecuali mengatakan bahwa aku masih percaya obat herbal dari pada aku harus berkata jujur mengidap sindrom Trypanophobia kepadanya. Dan apa yang kukatakan ternyata mampu membuatnya berhenti mendesakku kembali.
Sejak awal aku tidak yakin seratus persen bahwa metode injeksi mampu menyuplai vitamin dan obat ke dalam tubuh manusia dengan sempurna. Lek Bejo adalah salah satu contoh nyatanya. Meski dia pernah mengalami gejala yang dirasakan oleh rata-rata orang yang terkena Angina, dia malah sembuh dengan menggunakan obat tradisional dari orang tuanya yang diwariskan secara turun temurun.
Aku tidak akan memaksa siapapun untuk setuju dengan pendapatku. Namun dengan argumenku, kupikir aku dapat menyiasati ketakutanku terhadap alat suntik di hadapan orang-orang serta dalam situasi apapun. Dan aku harus siap jika dihadapkan dengan sanksi berupa denda sekalipun.
Dengan begitu, aku tak perlu cemas memikirkan dan menjalani hidup yang sering diteror oleh hal-hal yang misterius dan penuh konspirasi, selama tidak merugikan orang lain, aku masih punya peluang untuk menjadi bermanfaat.
Ketakutanku terhadap jarum suntik berawal ketika aku remaja. Saat itu ada imunisasi polio di sekolah. Aku dan teman-teman sempat tidak mau disuntik. Tapi karena penjelasan guru dan petugas kesehatan waktu itu, perlahan-lahan muncul keberanian dalam diriku, hingga akhirnya kami mau disuntik dengan iming-iming gelar pemberani yang disematkan guru dan petugas kesehatan kepadaku.
Selama beberapa hari setelah diimunisasi, aku hanya masih merasakan nyeri yang tak kunjung reda. Sampai pada suatu ketika aku merasa tangan bekas disuntik sering pegal-pegal, dan terkadang kesemutan. Bahkan setiap bangun tidur tanganku selalu mati rasa. Kupikir mungkin karena posisi tidurku yang tak beraturan, sebab siapa tahu tanganku semalam ketindihan badanku atau tertekuk dengan waktu semalaman. Mungkin saja begitu.
Aku begitu khawatir sekali saat itu, sambil memegangi tangan kuhampiri ibu yang sedang memasak di dapur. Kukatakan padanya perihal tanganku yang mati rasa. Dengan sedikit kerepotan ibu mencoba membuatku tenang, ia mengatakan bahwa itu hal yang wajar karena bisa saja posisi tidurku yang membuatnya begitu. Aku hanya mengangguk dengan memandangi tanganku, sementara ibu masih melanjutkan aktivitas memasaknya tanpa menoleh kepadaku. Kemudian kuputuskan meninggalkannya sambil mencubit-cubit tanganku yang mati rasa.
Meski sudah kuanggap tidak akan terjadi apa-apa, namun setiap bangun tidur tanganku selalu mati rasa. Malam itu, tiba-tiba badanku menggigil karena demam, sambil sesekali kurasakan nyeri yang hebat di lengan bagian atas bekas suntikan imunisasi tempo lalu. Dengan setengah kesadaranku, aku masih ingat kedua orang tuaku mengompres keningku dengan air yang sudah dimintakan doa pada kiai sebelah rumah.
Kondisi badanku tak kunjung membaik, air yang sudah didoakan oleh pak kiai juga belum memberikan perkembangan apapun. Panik, kedua orang tuaku mencoba membawaku ke rumah sakit. Tidak lama bapak menelepon Pakdhe, tetapi belum ada respon. Kemudian bapak meminta tolong tetangga depan rumah untuk mengantarkan. Sebelum dibawa ke ruangan aku sempat mendengar percakapan orang tuaku, aku tak mengerti apa yang mereka katakan, namun aku masih mengingat poin-poinnya.
Keesokan harinya tepat seminggu setelah aku diimunisasi dengan alat suntik, aku terbaring di rumah sakit. Aku merasakan salah satu tanganku tidak bisa digerakkan. Kutekan jari-jarinya dengan jari tanganku yang satunya, rasanya masih mati rasa. Mati rasa adalah kata yang kupakai untuk menyebut kondisi tanganku saat itu, sebelum aku mengetahui bahwa yang kuderita adalah kelumpuhan.
Aku mengetahuinya setelah dokter yang menanganiku mencoba menguatkanku dengan raut muka yang datar. Namun ada sedikit senyuman tersungging ketika dia menjelaskan bahwa kelumpuhan yang kuderita secepatnya bisa pulih asal aku rutin melakukan apa yang dianjurkan darinya. Salah satunya menerapkan pola hidup sehat dan secara berkala melakukan fisioterapi untuk mengembalikan kekuatan otot dan fungsi bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan.
Tak butuh waktu berbulan-bulan, kelumpuhan yang kuderita berangsur-angsur mengalami perkembangan yang baik. Tanganku sudah mulai bisa digerakkan dan sedikit-sedikit dapat menggenggam sesuatu, hingga aku sudah dinyatakan sembuh.
Jika aku mengingat bagaimana khawatirnya saat itu, ketika aku dinyatakan mengalami kelumpuhan separuh di bagian tanganku, aku hanya mendapati sebuah kenangan buruk dengan jarum suntik yang menembus kulit dan pori-poriku.
Kudengar pendataan vaksinasi masih menyisakan beberapa hari lagi. Pos-pos di tiap Rt masih setia membuka pendaftaran. Barangkali waktu mencoba mempermainkan keputusanku bilamana aku berubah pikiran. Namun sebaliknya, aku justru menanggapinya dengan mempersilahkannya untuk berlalu.
“Kau lihat sendiri bagaimana kerasnya anakmu ini,” kata bapak kepada ibu
“Sebenarnya apa yang membuatmu bersikap begitu?” Ibuku bertanya.
“Aku takut kejadian waktu itu terulang kembali, Bu. Dan Bapak tahu, mungkin kesembuhanku adalah cara Tuhan mengingatkanku agar tidak dekat-dekat atau bersinggungan lagi dengan alat suntik.”
“Menurutku, kamu terlalu berlebihan merespon ketakutanmu, meskipun tidak menutup kemungkinan jika bapak berada di posisimu akan merasakan hal serupa. Tapi apa susahnya menghilangkan ketakutan dengan menghadapinya?” Bapak mencoba memberi semangat.
“Namun sepertinya Bapak lupa, ada alternatif lain yang masih kupercaya mampu memberikan kekebalan pada tubuh kita, Pak.” Ucapku mengakhiri pembicaraan.
Pelaksanaan vaksinasi sudah lima hari berlalu dari tenggat waktu yang diputuskan, tapi aku tetap tidak mau mendaftar dan menolak vaksinasi dengan metode injeksi. Aku bahkan sudah mempersiapkan diri jika suatu saat ada petugas yang datang ke rumah dan memaksaku untuk mau disuntik.
Di teras rumah, sambil membuka telepon genggam, aku mencari artikel-artikel yang membahas tentang pengobatan alternatif Angina. Baru tiga artikel yang kubaca dari jurnal-jurnal penelitian, isinya rata-rata hanya itu-itu saja, membahas tentang gejala baru Angina tanpa ada cara pencegahannya secara pasti, nyaris tidak ada pembahasan obat untuk menyembuhkannya yang di tawarkan. Kupikir-pikir, jika selama ini belum ada penelitian yang menyangkut tindakan medis untuk mengobati wabah Angina, kenapa harus ada vaksinasi, bukankah sama saja bertindak gegabah?
Secara mengejutkan dan hampir bersamaan dengan pertanyaan batinku yang belum menemukan jawaban, tiba-tiba ada beberapa orang dari kelurahan datang dengan membawa alat kesehatan. Ternyata mereka masih keliling desa untuk memastikan tidak ada warga yang tertinggal dalam pendataan pemberian vaksin.
Kuperhatikan langkah mereka sambil merenung beberapa saat, akhirnya kuputuskan tetap di teras rumah dan menunggu mereka. Seperti biasa, aku tetap mempertahankan ketakutanku.


Foto diambil dari halodoc.com

————————————-

Ahmad Dzikron Haikal, lahir di Desa Margolinduk, Bonang, Demak dan tinggal di Banyumanik, Semarang. Penggiat sastra malam jumat di klinik art. selain menulis puisi, juga suka menulis cerpen.

 

Related posts

Leave a Comment

9 + sixteen =