CERPEN 

BAYI BADUY

Cerpen Muhamad Mukhlisin

__________________________________________________________________ 

 

Menjadi hiburan tersendiri bagi Nyai Dasimah untuk pergi menemui Alit dan bayinya. Ia tersenyum bangga mengingat dan membayangkan Alit di pangkuannya sewaktu kecil. Rasanya baru kemarin ia menggendong Alit, saat bayi itu ditemukan di semak-semak di serambi kantor kelurahan oleh seorang pemulung. Sang bayi seakan memanggil “mama” ketika Nyai Dasimah mulai mendekap dalam gendongannya.

Orang-orang sekitar mengira bahwa bayi itu dibiarkan tergeletak dari pasangan dua sejoli, atau boleh jadi pasangan suami-istri yang merasa tak sanggup menanggung masa depannya. Sebagian berpendapat, bahwa bayi itu sengaja ditinggal naik kereta oleh seorang ibu yang berasal dari daerah Rangkasbitung, Lebak. Seiring berjalannya waktu, Nyai Dasimah melupakan semua dugaan dan perkiraan itu, kecuali hanya menganggap bayi Alit adalah kiriman dari Yang Maha Kuasa agar berada dalam pengasuhannya, sehubungan dirinya memang tidak dikarunia anak.

—————————————-

Ilustrasi diambil dari google image

—————————————-

Bertahun-tahun kemudian, Alit tumbuh remaja dan menjadi seorang gadis belia yang cantik, ramah, dengan senyumnya yang dihiasi lesung pipit yang menawan. Suatu hari ketika usianya menginjak 20-an, seorang pemuda bangsawan, Tubagus Nandar jatuh hati kepadanya. Ia merasa terpikat oleh tubuhnya yang ramping dan gemulai, disertai sorot matanya yang tajam dan menawan.

Nyai Dasimah sempat mengingatkan keluarga Tubagus mengingat asal usul Alit yang kurang jelas. Tetapi, lelaki bangsawan itu tak peduli dari mana latarbelakang gadis pujaannya itu, bahkan sekalipun dia tak memiliki nama sekalipun. Sampai akhirnya, ia pun dengan cepat memutuskan untuk menikahi Alit.

Sejak kemarin lusa Nyai Dasimah mendengar kabar bahwa Alit anak asuhnya itu telah melahirkan. Tapi, baru hari ini ia menyempatkan diri untuk menengok si jabang bayi. Ketika ia memasuki rumah kediaman keluarga Tubagus Nandar, biasanya ia merasa riskan jika menyaksikan orok yang masih merah dan bau kencur. Tapi kali ini, ia merasa senang melihat si bayi dalam dekapan Alit, yang juga pernah berada dalam dekapannya dulu.

Tubagus Nandar memiliki seorang ibu yang juga dari keluarga bangsawan, bernama Ratu Chosimah. Ia juga merasa senang menyaksikan seorang bayi dalam dekapan menantunya, mengingat sudah bertahun-tahun rumahnya tak pernah disentuh oleh kehangatan dan keceriaan akan hadirnya seorang bayi mungil. Rumah keluarga bangsawan itu berdiri kokoh. Atapnya curam dan melengkung hitam seperti kerudung, dihiasi dengan rumbai-rumbai bagaikan galeri luas di sekitar alun-alun kota.

Pohon-pohon palem dan akasia yang besar dan kokoh tumbuh di sekelilingnya. Cabang-cabangnya berdaun lebat dan indah menghiasi halaman rumah yang sangat luas. Aturan di rumah itu juga cukup ketat, dengan norma sosial yang diberlakukan sejak Tubagus Nandar masih kecil, dan disekolahkan di sekolah unggulan di tengah kota, dengan sopir khusus yang selalu siap melayani antar-jemput.

Kini, si ibu muda Alit mulai bangkit dari pembaringannya. Ia dalam posisi duduk, mengenakan kain bersalin dengan motif batik lembut. Si jabang bayi tetap dalam gendongannya. Seorang perawat muda berbaju kuning duduk di samping jendela sambil mengipasi Alit dan bayinya. Nyai Dasimah membungkukkan tubuhnya di atas Alit dan menciumi si jabang bayi, juga memeluknya dengan lembut.

Setelah ia mengamati dengan seksama, tiba-tiba Nyai Dasimah berteriak sambil tertawa: “Haha… lucu banget bayi ini… dia bukan seperti kamu, Alit, juga bukan seperti Nandar suamimu. Lihat warna kulitnya yang cokelat… ya, lihat matanya yang agak kebiruan… hahaha, lucu sekali, bayi siapa ini?”

“Juga lihat alis matanya yang agak melengkung,” kata Alit sambil tertawa, “sepertinya rambutnya juga agak merah keriting, sangat berbeda dengan rambut ayahnya.”

Bayi itu seketika menangis dengan suaranya yang aneh dan agak serak, “Lihat cara dia menangis,” ujar Nyai Dasimah lagi, “itu berbeda sekali dengan bayi-bayi yang biasanya menangis?”

Nyai Dasimah tidak pernah mengalihkan pandangannya dari bayi mungil itu. Dia mengangkatnya dan berjalan dengan bayi ke jendela yang paling terang.

“Kira-kira, bagaimana pendapat ayahnya mengenai bayi itu,” akhirnya keluar juga pertanyaan itu ditujukan kepada ibu asuhnya. Wajah Alit diliputi oleh senyum dengan lesung pipitnya yang menunjukkan keceriaan.

“Ooh, Nandar pasti senang dan bangga melihat bayi mungil ini. Lihat saja nanti, apalagi setelah dia mendengar anaknya yang lahir adalah laki-laki, yang tentu di kemudian hari akan menyandang nama Tubagus juga.”

Alit menceritakan perubahan watak suaminya sejak ia melahirkan si jabang bayi. Katanya kepada Nyai Dasimah, biasanya ia gampang marah di kebun kopi ketika memandori para petukang kebun peninggalan Hindia Belanda tersebut. Sejak ia mengalami hamil tua dan melahirkan anak, sifatnya yang angkuh dan keras kepala sepertinya berubah. Inilah yang membuat Alit merasa senang dan bangga. Konon, wajah suaminya yang tampan dan angker itu, tidak lagi dirusak oleh cemberut sejak ia jatuh cinta dan menikahinya.

Tetapi kemudian, ketika si bayi berusia sekitar empat bulan, Alit semakin merasakan adanya kejanggalan dalam rumah-tanganya. Kejanggalan itu terasa halus dan sulit dipahami, tetapi selalu mengusik kedamaian batinnya. Seperti suasana misterius di kalangan bangsawan, terutama bagi keluarga Ratu maupun Tubagus di daerah Banten Utara. Lama kelamaan, perubahan itu semakin terasa aneh dan mengerikan perihal sikap dingin dan tak acuh pada suaminya, hingga membuatnya tak berani untuk minta kejelasan darinya.

Ketika dia bicara dengannya, selalu saja sang suami membuang muka. Makin lama, ia semakin jarang ada di rumah, seakan menghindari dirinya dan anaknya tanpa alasan yang jelas. Dia hanya mau bergaul sesama keluarga bangsawan, orang-orang kaya dan terpandang, bahkan semakin bersikap kasar terhadap para tukang kebun yang kebanyakan dari daerah Labuan dan Rangkasbitung.

Alit duduk-duduk di kamarnya, pada suatu siang yang panas, menyisiri rambutnya yang panjang menggantung halus di bahunya. Bayinya, setengah telanjang, tertidur di atas tempat tidur antik yang terbuat dari besi yang kokoh. Ia mengipasi anaknya perlahan-lehan dengan kipas bulu merak. Ia menengahi dirinya dengan memandangi si bayi, sambil berusaha keras untuk menembus kabut kesunyian, menghibur dirinya yang selalu kesepian.

Seketika itu, suaminya Tubagus Nandar membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, menuju meja dan membuka laci untuk mencari beberapa lembar berkas. Si istri menuju ke hadapannya, seraya bertanya lirih, “Kenapa Nandar? Ada apa selama ini? Kenapa kamu diam saja?”

Lelaki bangsawan itu tetap diam tak bergeming, sementara istrinya terengah-engah memanggil namanya, “Nandar, ayo bicara terus terang, ada apa?”

Dengan sikap dingin dan wajah tanpa ekspresi, dia melepaskan jari-jari wanita itu dari lengannya dan mendorong tangan itu menjauh darinya.

“Ayo ngomong, Nandar, ada apa? Kenapa kamu bersikap seperti itu?”

Tiba-tiba keluar dari mulutnya suara lembut namun bernada ancaman, “Kamu pengen tahu apa sebabnya?”

“Iya,” kata istrinya terisak-isak.

Sambil menodongkan telunjuknya pada bayi itu, Tubagus Nandar berkata kasar, “Sebabnya adalah, karena bayi itu berkulit cokelat dan rambut pirang, berarti dia keturunan Baduy! Itu artinya, kamu sendiri anak keturunan Baduy, paham enggak kamu?!”

Dengan cepat Alit menyadari apa arti tuduhan itu, dan dengan keberanian yang tak terbendung ia menyangkalnya, “Itu bohong, tidak benar, saya berkulit kuning! Lihatlah, rambut saya hitam dan mata saya tidak biru, lihatlah tangan saya bahkan lebih kuning langsat daripada tangan kamu, Nandar?”

“Iya, kuning langsat seperti taik!” katanya dengan kejam, lalu ngeloyor pergi meninggalkan Alit dan bayinya. Dalam keheningan, ia menatap dengan mata dingin kata-kata yang terucap oleh mulut suaminya tadi.

Dia berbalik dan berjalan perlahan menuju pintu, berharap lelaki bangsawan itu memanggilnya, tetapi ia tidak memanggilnya.

“Baik, saya mau pulang ke rumah Nyai Dasimah,” erangnya kemudian.

“Ya, pulanglah sana,” jawab suaminya ketus.

Alit pergi sambil menggendong anaknya. Ia menuruni tangga, berjalan menjauh, di bawah pohon-pohon palem di sepanjang halaman rumah. Saat itu adalah sore hari di bulan Agustus. Matahari baru saja tenggelam. Di ladang kopi yang tenang, para pekebun selesai memetiki kopi di sekitar hektaran lahan peninggalan Hindia Belanda. Lahan kebun itu kini telah diambil-alih oleh keluarga pribumi bangsawan, sejak Indonesia merebut kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Tetapi bagi Alit, kemerdekaan itu baru bersifat fisik belaka, belum menyangkut batin dan spiritual manusia Indonesia. (*)

 

Penulis adalah prosaik generasi milenial, penulis esai sastra di berbagai harian nasional, juga pemenang pertama lomba cerpen nasional yang diselenggarakan Harian Rakyat Sumbar pada 2017.

 

Related posts

Leave a Comment

4 × 2 =