ESAI 

Sastra dalam Etos Literary Branding

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pelayan sastra

———————————————————————————————

Kali ini saya meminjam istilah branding dari bidang studi komunikasi politik. Istilah ini berasal dari kata brand, yang berarti merek. Branding, menurut Philip Kotler (2009), berarti pemerekan, pemberian tanda, simbol, atau rancangan, atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang, jasa, atau penjual, untuk membedakan dari barang atau jasa pesaing. Branding juga berarti citra, kredibilitas, karakter, kesan, persepsi, dan anggapan yang terbentuk di benak konsumen tentang suatu objek yang dipasarkan.

Dengan meminjam istilah itu, saya ingin mengatakan bahwa sastrawan (penyair maupun novelis), disadari atau tidak, sebenarnya melakukan branding untuk memperkenalkan karyanya agar dianggap berbeda, unik, lebih unggul, berkarakter, dibanding karya lain, untuk mendapatkan tempat spesial di hati apresian, di mata media massa, atau di pasar buku sastra. Sehingga, sastrawan atau karyanya mendapat penghargaan yang lebih istimewa dibanding sastrawan dan karya yang lain.

Istilah branding mungkin tidak biasa digunakan di bidang sastra. Tapi, saya ingin mencoba menggunakan istilah dari ilmu komunikasi politik itu ke khasanah sastra. Kalau ada istilah political branding atau branding politik, saya ingin memperkenalkan istilah literary branding atau branding kesastraan. Dengan istilah ini saya ingin melihat siapakah sastrawan yang berhasil melakukan branding, siapa yang gagal, siapa yang tak sadar branding, dan siapa yang melakukannya dengan setengah-setengah.

Pertama-tama kita perlu sepakat bahwa menulis karya sastra adalah berkomunikasi lewat karya sastra. Dalam tiap karya sastra ada “sesuatu” (something) yang hendak dikomunikasikan, yang hendak disampaikan. Sastrawan adalah komunikator, dan pembaca adalah komunikan. Pembaca akan menangkap “sesuatu” (pesan) dari karya sastra yang dibacanya. Sesuatu itu bisa berupa nilai-nilai kehidupan, bisa pula berupa keindahan atau konsep estetika tertentu, atau bisa keduanya: pembaca menangkap nilai-nilai kehidupan sekaligus nilai-nilai keindahan.

Pada tahap ini sebenarnya literary branding pada tingkat teks telah dimulai. Orang akan menangkap “sesuatu”, misalnya, dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM, dan dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Pada tingkat teks, literary branding pada novelis juga hampir sama. Begitu juga pada cerpenis. Hanya saja aspek nilai-nilai keindahannya agak berbeda. Pada puisi orang menengarai nilai-nilai keindahan itu pada poetikanya. Sedangkan pada novel atau cerpen terletak pada kekuatan ceritanya. Orang, misalnya, akan mengenali kekuatan cerita novel Ahmad Tohari, YB Mangun Wijaya, Putu Wijaya, Ayu Utami, sampai Tere Liye, Habiburrahman el Shirazy, Ahmad Fuadi, dan Asma Nadia. Orang akan menemukan novel mana yang memiliki kekuatan branding, dan sebagai novel jenis apa dengan sasaran pembaca yang mana.

Ketika karya sastra (puisi) dipanggungkan, dibacakan dengan baik di atas panggung, maka ia mempunyai daya komunikasi yang lebih dan keunikan yang lebih. Apresian tak hanya menangkap “sesuatu” itu lewat teks, tapi secara visual melalui aksi panggung. Maka, sang penyair tidak hanya mendapatkan branding melalui teks tapi juga melalui aksi panggung. Ketika Sutardji membaca puisi di Taman Ismail Marzuki dengan menggoyang kampak yang digantung, ketika itulah terjadi branding yang sangat kuat melalui aksi panggung. Kredo “membebaskan kata dari beban makna” memperkuat brandingnya pada tingkat teks. Teks puisi-puisinya unik dan unggul. Aksi panggungnya luar biasa. Brandingnya makin kuat dengan guyonannya, “Akulah presiden penyair Indonesia.” Dan, sampai sekarang Sutardji dikenal sebagai presiden penyair Indonesia yang belum tergantikan.

Rendra juga memiliki branding yang kuat di tingkat teks dan aksi panggung. Teks puisi-puisinya unggul dan aksi panggungnya luar biasa. Pola baca puisinya banyak menjadi kiblat pemanggungan dan lomba baca puisi. Sayangnya, tidak banyak penyair Indonesia yang mampu melakukan aksi panggung yang baik, sehingga brandingnya kurang berhasil. Mungkin hanya Sutardji, Rendra, D. Zawawi Imron, dan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), yang berhasil melakukan branding di tingkat teks dan aksi panggung. Sedangkan Abdul Hadi dan Sapardi hanya unggul di tingkat teks. Meski puisi Sapardi dengan sangat bagus dimusikalisasikan oleh Ari Reda dan Saung Sastra Lembang.

Penyair-penyair yang lebih muda hanya sedikit yang memiliki keunggulan di panggung baca puisi, sehingga mereka tidak mendapatkan branding melalui aksi panggung. Yang sedikit itu, misalnya Jose Rizal Manua, Amien Kamil, Sosiawan Leak, Imam Maarif, dan Asrizal Nur; meski tidak seberhasil Sutardji dan Rendra. Seabrek penyair lainnya pada umumnya tidak memiliki keunggulan aksi panggung sehingga tidak mendapatkan branding yang kuat secara visual.
***

Jika kita amati, kebanyakan novelis umumnya tidak menyadari pentingnya branding. Mungkin mereka tidak sadar branding, atau tidak tahu pentingnya branding. Padahal, banding penting untuk menciptakan pasar sastra, dan pasar penting bagi karir novelis. Ini terlihat dari perjalanan karir mereka. Bahkan sering ada novelis sudah punya brand tertentu berubah di tengah jalan, mungkin karena kurang puas atau kurang yakin pada branding yang telah dimilikinya.

Akan tetapi, ada juga novelis yang bertahan dengan branding awalnya, misalnya Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Hirata dengan tetralogi Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi, dan Maryamah Karpov mencatatkan diri sebagai novelis sukses di jalur novel yang ringan dan mencerahkan. Sedang Fuadi, sukses dengan novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna yang juga konsisten di jalur yang ringan dan mencerahkan. Sedangkan Asma Nadia konsisten dengan kecenderungan yang berpihak pada pasar pembaca wanita muda Muslim. Novel-novelnya dapat digolongkan sebagai chiclit Islami, dan Asma sukses membidik pasar ini.

Habiburrahman el Shirazy memperlihatkan fenomena yang agak berbeda. Begitu sukses dengan Ayat-ayat Cinta sebenarnya ia telah memiliki brand yang sangat kuat sebagai novelis pop Islami, yang renyah dan enak dibaca, serta mencerahkan. Novel ini mencatat mega bestseller, dan menjadi novel dengan pembaca terbanyak di Indonesia. Mungkin karena kurang puas, kemudian ia mencoba menulis novel yang lebih serius, seperti Api Tauhid. Tapi malah kehilangan kerenyahannya. Novel ini terasa berat, karena beban materi yang terkesan sebagai fakta, sehingga seperti membaca disertasi. Ayat-ayat Cinta 2 juga hampir sama beratnya dan kurang enak dibaca dibanding seri pertama.

Novelis senior, Ahmad Tohari, tampak konsisten dan sukses dengan brand novel sosial politik, dengan warna sosial budaya yang sangat kental, seperti Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah. Cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Senyum Karyamin juga kuat pada warna yang sama. Tiap ingat Ahmad Tohari, selalu ingat Ronggeng Dukuh Paruk. Beruntung dia tidak banyak menulis karya sastra yang lain, selain novel dan cerpen, terutama novel berlatar sosial politik, sehingga kekuatan brandingnya terkonsentrasi dengan kuat pada genre novel ini.

Dari khasanah novel Indonesia, Pramoedya Ananta Toer layak diberi tempat yang istimewa. Brandingnya sebagai novelis pembangkang (dissident) yang kental warna sosial politik sangat berhasil, terutama dengan tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, dan Anak Semua Bangsa. Pramoedya adalah ikon novelis Indonesia. Novel-novelnya menjadi kanon sastra Indonesia. Pram dianggap sebagai novelis pembangkang oleh pemerintah orde baru, tapi tetap konsisten dengan branding sebagai novelis yang memilih jalan kreatif perlawanan terhadap ketidakadilan, terhadap kekuasaan yang menindas, seperti tampak pada novel berikutnya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Novel yang terbit berikutnya pada 1995, Arus Balik, meski berlatar sejarah Demak masa Pati Unus, nadanya tetap sama: pembangkangan.

Dengan beberapa contoh perjalanan karir beberapa penyair dan novelis di atas, kita melihat bahwa branding penting disadari untuk menghimpun apresian, untuk mengumpulkan penggemar, menarik perhatian media massa, yang pada akhirnya menciptakan pasar sastra. Dan, ini harus dibangun dengan konsisten, dengan istiqomah, oleh sastrawan. Tidak bisa sambil lalu, atau gampang tergoda untuk menulis yang bukan menjadi brandingnya. Dari khasanah teater ada contoh yang tepat: Teater Koma. Dengan konsisten teater ini menjalani brandingnya sebagai teater komedi dan sukses menjaring penonton yang setia.

* Foto diambil dari steemit.com.

Related posts

Leave a Comment

15 − nine =