CERPEN 

Farhat dan Kucing Kesayangannya

Muhamad Pauji, cerpenis dan kritikus sastra kontemporer Indonesia, aktivis organisasi pemuda OI (Orang Indonesia). Artikel dan cerpennya bisa dijumpai di berbagai media massa lokal, nasional, dan media online.

 

Sejak kecil Farhat dikenal santun dan memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi. Sifatnya yang polos dan lugu seringkali menjadi bahan guyonan teman-teman di sekolahnya. Ia sangat menyukai hewan, dan kedua orangtuanya memanjakannya dengan mengizinkan memelihara beberapa binatang. Bersama mereka ia banyak menghabiskan waktunya. Tak ada kebahagiaan hidup yang lebih nikmat ketimbang saat-saat ia memberi makan dan bersenang-senang bersama binatang peliharaannya.

Baginya, siapapun yang pernah merasakan cinta-kasih dari seekor kucing yang cerdas dan setia, maka penjelasan mengenai apa yang dirasakan akan mudah dipahami. Ada sesuatu yang terasa dari cinta-kasih yang begitu tulus dan penuh pengorbanan. Tapi ia hanya bisa dirasakan secara langsung oleh mereka yang telah seringkali mengalami pahit dan manisnya jalinan persahabatan dengan hewan-hewan itu.

Begitu pula halnya dengan Farhat. Ia menikah di usia muda, 23 tahun. Ia merasa senang berjodoh dengan wanita Sunda dari pedalaman Baduy yang lugu, dan sedikit lebih muda darinya. Ia juga sama-sama menyukai binatang peliharaan. Istrinya itu tak suka mengeluh atau menolak keinginannya memelihara hewan peliharaan. Selain kucing, Farhat juga memelihara burung, kelinci, monyet dan ikan hias di akuarium besar.

Kucing yang dipelihara Farhat berbulu tebal dan berwarna kuning kehijauan. Ia termasuk kucing yang pintar dan cerdas. Ia tak begitu menghiraukan istrinya ketika bercerita tentang seringnya pengemudi kendaraan yang mengalami kecelakaan setelah menabrak seekor kucing. Istrinya juga meyakini bahwa banyak di antara kucing-kucing hitam berkeliaran yang merupakan penjelmaan dari seorang penyihir.

Kucingnya dinamai “Niki”, hewan peliharaan yang paling ia sukai ketimbang peliharaan lainnya. Ia bisa bermain dan berlarian di sekitar kebun di belakang rumah. Di waktu pagi dan sore hari, Farhat memberinya makan. Ia selalu mengikuti majikannya ke manapun pergi di sekeliling rumah. Bahkan ketika keluar rumah, Farhat juga merasa kesulitan untuk mencegahnya agar tidak selalu mengikutinya.

***

Persahabatan itu berlangsung cukup lama. Bertahun-tahun. Bahkan ketika Farhat harus melewati masa-masa di saat karakternya berubah menjadi emosional, bahkan sangat temperamental. Hari demi hari, suasana hatinya berubah menjadi kelabu dan tak menentu. Ia tak peduli pada perasaan orang. Kata-katanya kasar, dan ia mudah terpancing amarah kepada istrinya, untuk hal-hal yang sepele sekalipun.

Perubahan mental dan karakteristik itu, tanpa ia sadari, kelak akan menggelincirkan dirinya sendiri. Perubahan itu tentu dirasakan pula oleh semua hewan-hewan peliharaannya. Ia bukan hanya mengabaikan tetapi juga memperlakukan mereka secara kasar.

Khusus bagi Niki, kucing kesayangannya, ia mencoba menahan diri untuk tidak menyakitinya. Namun, bagi burung, kelinci dan monyet, Farhat memperlakukan mereka dengan buruk, terutama bila tanpa sengaja melintas atau berada di dekatnya. Penyakit temperamental itu kian hari makin bertambah parah. Penyakit itu bagaikan orang keranjingan nikotin atau alkohol yang membikin orang mabuk hingga ketagihan. Niki yang usinya sudah menua dan menjengkelkan, akhirnya merasakan pula dampak dari sifat temperamental majikannya itu. Istrinya yang dari Baduy, juga tidak mampu memahami perubahan radikal yang dialami Farhat, hingga ia pun semakin menjaga jarak dari suaminya itu.

Suatu malam, ketika Farhat menghabiskan sebungkus rokok kretek di serambi rumahnya, ia merasa bahwa kucing kesayangannya itu mengabaikan dirinya. Ia dengan jengkel mengejar-ngejar dan menangkapnya. Perlakuan kasarnya itu membuat Niki ketakutan, sehingga ia pun melukai tangannya dengan kuku-kukunya yang tajam.

Amarah sang majikan kian memuncak. Jiwanya seakan melayang entah ke mana, kemudian tubuhnya diisi oleh makhluk buas, kasar dan menakutkan. Mukanya memerah seakan terbakar. Tangannnya tiba-tiba meraih pisau yang biasa digunakan untuk mengupas mangga atau apel, lalu menusukkan pisau tajam itu ke mata kanan Niki.

Semua hewan peliharaannya berbunyi seperti menjerit-jerit. Istrinya tetap mengurung diri dalam kamar, tak berani keluar untuk menanyakan apa yang membuat binatang-binatang itu berteriak membikin kegaduhan.

Pagi hari, kesadarannya mulai pulih. Ia terbangun dari tidur setelah melalui malam yang panjang dan melelahkan. Kini perasaanya bercampur-aduk. Ada rasa takut dalam dirinya. Ada juga rasa bersalah dan menyesali perbuatannya.  Namun di sisi lain, Farhat merasa bimbang, serta merasa bahwa jiwanya lemah dan limbung. Ia mencoba menenangkan hatinya dengan merokok dan merokok, sambil menghabiskan beberapa gelas kopi pahit yang ia seduh sendiri.

***

Lambat laun, kesehatan Niki mulai pulih. Mata kanannya buta, dan mukanya menunjukkan pemandangan yang mengerikan. Namun, ia tidak lagi nampak merasa sakit. Kucing itu telah mampu menjalani kebiasaannya seperti semula, berjalan ke sana-kemari dan keliling rumah mencari makanan. Ia segera melarikan diri ketika majikannya mendekat. Nampak pula rasa kehilangan dan sedih di wajah Farhat, karena kucing kesayangan yang dulu begitu akrab bergaul dengannya, kini telah berbalik membencinya.

Kondisi ini perlahan mendatangkan rasa jengkel dalam dirinya. Kemudian, seakan hendak melengkapi keterpurukan dirinya, muncullah sifat jahat yang semakin mengisi jiwa Farhat. Tak ada akal sehat yang menyertai sifat ini. Ia tak lebih yakin bahwa jiwa murninya masih hidup, ketimbang sifat jahat yang mengundang sentimen emosional dan primordial, hingga menganggap bahwa sang musuh tidaklah memiliki masa lalu. Ia seakan terlahir saat ini, detik ini juga, yang langsung menjelma laiknya  iblis yang harus ditumpaskan hingga ke akar-akarnya.

Mengapa orang-orang yang berulang-kali melakukan kebodohan dan kejahatan, sambil menyadari bahwa perbuatan yang telah dilakukannya sungguh bodoh dan jahat, tetapi kemudian ia masih tega juga melakukannya?

Pada suatu pagi, Farhat melepas tali gorden di sekitar jendela kamarnya. Setelah ia menghisap beberapa batang rokok di serambi, tiba-tiba ia kalap dan berlari ke sana kemari, kemudian ia berhasil menangkap Niki dan menjerat lehernya dengan tali gorden itu.

“Dasar PKI! Kucing PKI kau!”

Seperti orang tak sadarkan diri, kata-kata itu keluar dari mulut dan kerongkongannya. Setelah itu, ia melangkah sempoyongan dan terjatuh di lantai. Kemudian muncul rasa sedih dan menyesal dalam dirinya, hingga kemudian berurai airmatanya.

Malam harinya, ia menyadari kesalahan besar yang telah ia lakukan. Sekitar jam 02.00 dini hari, tiba-tiba ia terkesiap bangun, lalu muncul percikan api dari gundukan kuburan Niki di belakang rumah. Api-api itu menjalar begitu cepat hingga melahap tirai-tirai di sekeliling ranjangnya. Hingga kemudian, dalam waktu tak kurang dari satu jam, seluruh isi rumah terbakar oleh nyala api yang berkobar. Farhat dan istrinya, juga seorang pembantunya, dengan susah-payah menyelamatkan diri dari kobaran api yang menjilat-jilat. Semuanya gosong dan hancur berantakan. Seluruh kekayaan duniawi habis dilalap api, dan ia mendapati dirinya terkalahkan oleh rasa frustasi dan putus asa.

Ya, Farhat kini berada dalam puncak kelemahan jiwanya. Ia tak mampu mengurai rangkaian sebab-akibat di antara musibah dan kekejaman ini. Keesokan harinya ia segera kembali mengunjungi puing-puing reruntuhan, serta menyelamatkan barang-barang berharga yang masih bisa diselamatkan. Beberapa orang berkumpul sambil memeriksa dan mengamati setiap bagian dengan sungguh-sungguh. Ada beberapa orang yang menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, “aneh”, “luar biasa”, “Masya Allah, kok bisa ya?”

Mereka mengikuti Farhat ketika menyusuri reruntuhan di sekitar kamarnya tidur. Api yang menghanguskan ranjang dan kasurnya tiba-tiba menjelma menjadi abu hitam berbentuk seekor kucing raksasa sebesar dinosaurus. Detail dari abu yang bergambar itu, nampaknya begitu akurat dan mengagumkan. Ada seutas tali gorden yang melilit di lehernya, dan tak ada yang mampu memahami gambar tali pada leher itu, kecuali Farhat sendiri.

***

Walaupun ia berusaha berpikir dengan akal sehat mengenai kejadian itu, namun fakta yang begitu detail tak sanggup ia tepiskan dari benaknya. Ia merasa dirinya seperti Haris, tokoh utama dalam buku Pikiran Orang Indonesia, suatu novel psikohistori yang membuat tokoh utamanya merasa tak kuasa dikendalikan oleh alam bawah sadarnya sendiri.

Lambat laun, Farhat terusik oleh penasaran dan rasa ingin tahu yang lebih jauh. Selama berminggu-minggu, fantasi tentang kucing itu terus menghantui dirinya. Jiwa sentimennya yang separuh menghilang seakan-akan muncul kembali. Di sisi lain, perasaan menyesal yang ia rasakan cukup mendalam. Ketika ia melihat kucing di jalanan, ia merasa dihantui oleh pikiran-pikiran aneh, bahwa hewan-hewan dari spesies yang sama, nampak berpenampilan serupa dengan Niki yang seakan berkeliaran dalam jiwanya.

Pada suatu malam, ketika ia duduk terdiam, masih dalam kondisi jiwa yang buruk, matanya tiba-tiba terpaku pada sesosok objek berwarna kunig kehijauan. Sosok itu tengah berbaring di salah satu patung badak bercula satu, yang telah dibeli Farhat dari seniman kelahiran Banten Selatan dengan harga mahal. Patung badak itu menjadi bagian utama dari seluruh perabotan di rumah kontrakannya yang baru, setelah beberapa minggu ia berhasil menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan dari puing-puing reruntuhan rumahnya.

Ia berusaha menatap dengan teliti ke atas patung itu selama beberapa menit, dan sesuatu yang membuatnya terkejut adalah, ia sama sekali tidak menyadari keberadaan kucing itu sebelumnya.

Ia pun memutuskan untuk bergerak mendekatinya, dan menyentuhnya. Obyek itu mirip sekali dengan Niki, dan setiap detail tubuhnya sangat serupa dengan Niki. Seluruh bulu di tubuh Niki sepenuhnya berwarna kuning kehijauan. Tak ada sehelai pun berwarna hitam atau putih. Bulu-bulu kuning kehijauan yang menutupi seluruh bagian dada dan perutnya.

Ketika Farhat menyentuh punggungnya, tiba-tiba kucing itu bangkit dan mengeong keras. Ia menggosokkan tubuhnya pada patung badak itu, kemudian membiarkan dirinya disentuh Farhat. Keesokannya, ia mendatangi tetangga kiri dan kanan, namun tak seorang pun yang merasa memiliki kucing tersebut. Bahkan di antara mereka menyatakan, sama sekali belum pernah melihat kucing itu sebelumnya.

Farhat membelai-belai kucing itu, dan sepertinya ia menunjukkan sikap ingin tinggal bersamanya. Ia pun mengizinkannya untuk tinggal, dan sikap Farhat membuatnya merasa nyaman, seakan-akan itu adalah rumahnya. Termasuk istrinya yang dari Baduy, yang kemudian jatuh hati kepadanya.

Ketika ia memangku kucing itu, tiba-tiba ia baru menyadari bahwa kucing itu hanya dapat melihat dengan mata kirinya, sedangkan sebelah kananya tetap terpejam, dan tak mau membuka kelopak matanya.

Seketika muncullah rasa benci dan jengkel dalam dirinya. Ini merupakan sifat buruk yang selama ini ingin dia hindari. Ia sama sekali tak mengerti bagaimana atau mengapa perasaan itu bisa muncul secara tiba-tiba. Rasa itu kemudian berkembang menjadi jijik, hingga ia berusaha untuk terus menghindari binatang itu. Tapi ia berusaha untuk tidak menyakitinya, meski pada akhirnya, perlahan-lahan, ia merasa muak bila melihat kucing bermata satu itu.

Ia terus-menerus menghindari keberadaannya, lalu menganggap bahwa upaya untuk mendekati binatang itu sama saja dengan mendekati seseorang yang menderita wabah virus Corona atau penyakit Covid 19.

***

Seperti halnya Niki, dengan keras hati kucing itu terus mengikuti ke mana saja Farhat pergi. Ketika Farhat duduk, ia akan selalu merangkak ke bawah kursi, atau naik ke pangkuannya dan bermanja-manja dengan malas. Ketika ia beranjak berdiri, ia akan berjalan perlahan di antara kedua kakinya hingga hampir membuatnya terjatuh. Ia menancapkan cakar-cakarnya dengan lembut pada pakaian yang ia kenakan, kemudian bergerak ke atas hingga posisinya seperti bergantung pada dadanya. Pada saat-saat demikian, meskipun hatinya begitu kuat ingin mencampakkannya, namun ia masih berusaha menahan diri. Hal itu dikarenakan kenangan akan perbuatan kejinya di masalalu, namun alasan yang utama adalah rasa takut yang begitu besar pada kucing itu.

Ketakutannya itu bukan lantaran penampilan fisiknya yang menyeramkan, tetapi juga karena jiwa jahat yang bersemayam dalam dirinya. Istrinya telah beberapa kali mengingatkan bahwa kucing itu memiliki warna bulu yang agak berbeda dengan Niki. Meskipun ia tak bisa menjelaskan mengapa mata kanannya selalu terpejam dan tak mau membuka kelopaknya.

Setiap hari Farhat dihantui oleh perasaan yang kalut dan gundah. Ia merasa terpuruk. Kucing itu, dan juga Niki yang telah dibinasakan olehnya, sama-sama menghantui dirinya. Bayangan mereka selalu muncul dalam benaknya, seakan memiliki kekuatan yang memengaruhi jiwanya bagaikan kekuatan malaikat maut. Kini, siang dan malam, Farhat tak lagi merasa tenang. Kucing yang sebelumnya tak pernah membiarkannya sendirian, dan kucing yang sesudahnya, selalu menghantuinya dengan mimpi-mimpi menyeramkan.

Di bawah tekanan siksaan yang tak kunjung berhenti, Farhat seakan memilih untuk menyerah kalah. Namun, pikiran-pikiran jahat muncul dan menjadi sahabat karibnya. Ketidakstabilan hati dan jiwanya semakin parah menjadi kebencian pada segala hal dan semua orang. Ia semakin tak terkendali, dan sifat amarah telah membutakan mata hatinya. Sang istri selalu menjadi korban pelampiasan rasa dengki dan amarah, meski ia selalu bersabar dan mengalah seperti biasanya.

Suatu hari, sang istri menemaninya mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Ia mengikutinya pergi ke gudang bawah tanah dari rumah kontrakannya, suatu tempat tinggal yang terpaksa mereka huni karena tekanan ekonomi yang harus ia hadapi. Kucing itu mengikuti mereka menuruni tangga yang curam, dan ia hampir saja membuat Farhat terjungkal jatuh, hingga mendorongnya ke puncak amarah.

Seketika itu, ia mengangkat golok dan dengan gelap mata diayunkannya golok itu hendak membacok makhluk itu. Namun tiba-tiba, tangan istrinya segera menahan perbuatannya. Merasa terhalang oleh campur-tangan si istri, amarahnya semakin menjadi-jadi. Ia menarik tangan dari genggaman istrinya, lalu menghunjamkan golok besar itu pada kepalanya. Seketika istrinya jatuh terkulai tanpa rintihan, kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir.

***

Gagasan untuk menggali lubang di lantai gudang bawah tanah seketika muncul dalam benak Farhat. Ia mengambil cangkul dan membuat lubang seukuran 1×2 meter, kemudian mengubur jasad istrinya lalu menimbunnya dengan tanah galian dan merapikannya dengan pasir dan plester semen. Ia merasa yakin dengan perhitungan teliti dan cermat. Ia juga merasa yakin bahwa di situlah tempat yang cocok untuk menyembunyikan jasad tersebut.

Setelah pekerjaan itu selesai, ia merasa puas dengan hasilnya dan semuanya tampak baik-baik saja. Kotoran dan sampah yang berserakan di lantai gudang diambilnya satu per satu dengan saksama. Ia melihat ke sekeliling dengan rasa bangga dan puas, sambil menepuk-nepuk telapak tangannya, “Alhamdulillah, akhirnya selesai juga pekerjaan saya!”

Kini, tugas berikutnya adalah mencari ke mana perginya kucing brengsek itu. Ia sudah bertekad untuk membinasakannya. Bila ia melihatnya saat itu juga, maka tamatlah riwayatnya. Tapi hewan cerdik itu seakan mengerti bahwa nyawanya akan dihabisi. Sehingga, ia memilih menghindari siapapun dalam keadaan suasana hati yang tak keruan.

Sulit baginya untuk membayangkan, betapa bahagia dan lega perasaannya dengan perginya makhluk menjijikkan itu. Bahkan hingga malam hari, ia masih tidak menampakkan batang hidungnya. Saat itulah, untuk pertama kali sejak kehadiran kucing itu, ia dapat tidur dengan nyenyak. Ya, ia bisa tidur meskipun beban dari rasa bersalah lantaran telah melakukan pembunuhan masih menggelayut dalam jiwanya.

Hari kedua dan ketiga berlalu begitu saja. Farhat masih bisa bernafas seperti orang merdeka. Monster yang terus menghantuinya kini telah pergi entah ke mana. Inilah puncak kebahagiaannya, ia tak merasa perlu untuk melihatnya lagi. Ia merasa bahwa kebahagiaan masa depannya sudah terjamin dan aman.

***

Menginjak hari keempat setelah peristiwa pembunuhan itu, beberapa petugas polisi datang ke rumahnya. Mereka dibiarkan melakukan penyelidikan secara saksama ke seluruh penjuru rumah. Farhat menghadapi mereka dengan tenang. Ia merasa aman. Baginya, tempat menyembunyikan jasad itu tak mungkin ditemukan. Para petugas itu memintanya untuk turut menemani mereka melakukan penyelidikan di sekeliling rumah. Tak ada celah atau satu sudut pun yang luput dari pengamatan mereka.

Kemudian, setelah tiga atau empat kali berkeliling, mereka memutuskan untuk turun ke gudang bawah tanah. Ia merasa tegang dan tubuhnya gemetar. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia berjalan menyusuri setiap sisi gudang itu, dan sedapat mungkin bergerak dengan kalem dan santai.

Para petugas polisi telah selesai meneliti ruangan itu dan mereka pun hendak beranjak pergi. Rasa bahagianya bergelora dalam dada, dan sulit baginya untuk menahan luapannya. Ia berucap kepada mereka, dengan nada yang penuh dengan kemenangan, dan untuk menegaskan bahwa ia sama sekali tak bersalah.

“Saya merasa senang dengan kehadiran Bapak-bapak sekalian,” Farhat berseru, ketika sekelompok polisi itu menaiki anak tangga. “Saya harap suatu saat nanti Bapak-bapak bisa menemukan istri saya yang hilang entah ke mana.”

Seketika itu, muncullah suara-suara aneh seperti menyahut kata-kata Farhat, yang bersumber dari tempat istrinya dikubur. Ia seperti suara tangisan yang mulanya tertahan, namun kemudian pecah seperti suara perempuan yang menangis sesenggukan. Kemudian, berlanjut menjadi suara teriakan panjang, nyaring dan terus-menerus. Suara-suara itu terdengar tidak seperti biasanya. Ia seperti suara lolongan, memekik dengan lantang. Ya, seperti perpaduan suara jeritan yang keluar dari mulut mereka yang telah dikutuk, memekik kesakitan, disertai suara-suara iblis yang memekik penuh kemenangan.

Pikiran-pikiran tak keruan terlintas dalam benak Farhat. Ia berjalan gontai dan sempoyongan, hingga bersandar pada dinding yang membatasi anak-anak tangga. Ia tiba-tiba mengeluarkan suara dari mulutnya, seperti orang mengigau, “Di situlah tempatnya… di situlah tempatnya…!” Seraya mengangkat tangannya hingga menunjuk ke arah kuburan.

Selama beberapa saat, para petugas kepolisian masih berdiri di anak tangga. Mereka hanya terdiam tak bergerak. Mereka merasa heran dan sedikit ketakutan.

Kemudian, selusin lengan yang kuat mulai membongkar kuburan itu. Semua terasa sangat nyata. Jasad itu, dalam kondisi yang sudah membusuk dan bersimbah darah. Ia nampak dalam posisi menengadah, seolah membiarkan dirinya disaksikan orang-orang yang mulai berdatangan di ruangan itu.

Farhat bergidik ketakutan, ketika dalam penglihatannya, jasad itu berkepala kucing yang pernah dibunuhnya, dengan mata kanannya seperti dipenuhi kobaran api. ***

Related posts

Leave a Comment

eighteen + 14 =