Blantik Sapi yang Hidup Abadi

Puisi-puisi: Fatah Anshori ___________________________________________________________________

 

blantik sapi yang hidup abadi

kau meraba tumor suatu mata
mencicip aqueus humor,
lebih dari dua belas berkas
warna mengalir, tapi
hanya hitam dan putih
saja, yang semilir

yang singgah serupa wabah rebah
di lembah merusak rumah-rumah,
menyulut tangis, dan jerit
seseorang di ladang tak bertuan
bersila tanpa kepala,

blantik sapi yang hidup abadi
membawanya pergi

pada bukit-bukit sepi, lorong sunyi
penuh api merambat pada dinding-dinding
lembab berlumut, penuh serabut
seperti kabut dan ihwal kalut lainnya

ia katakan nasib yang gaib

membawanya raib pada danau yang
penuh mata, potongan kepala usai
dicongkel isinya di kaki langit ia lihat
semua, mengambang
melayang-layang seperti masa depan.
hanya dengan getek tua ia ingin
pergi ke sana

mencari rupa kepala kekasihnya.

Lamongan, 2020

 

angan terang setelah perang

angan terang setelah perang, hanyalah panggilan pulang pada tanah yang lengang, di jantung kenangan dan napas hewan peliharaan. sawah dan tegalan di selatan, masih dibiarkan. belalang hingga ular belang bersarang dan membuat lubang. panjang, ngiangnya terdengar ke seberang. petak yang ditumbuhi anak-anak kehilangan bapak. tapi telinga meraka disumpali nyanyian katak: kenangan ketika orang-orang pulang.

sebelum itu hanya bisa menaksir ruang, dengan batu batu pasir. dan percakapan memalukan tumbuh seperti lemak di tubuh. ia berdiri mengenakan setelan hitam di sebuah gang. persimpangan antara suara yang kehilangan nada. kucing persia melompat dari jendela. televisi membakar habis kedewasaan setiap kepala. tanda tanya nyaring sekali di sini. Memaknai bentuk. hujan kian memperburuk keadaan. di tegalan mereka titipkan kehidupan.

sebelum mandor hutan, bangun dari kuburan. ketakutan melompat-lompat seperti anak kucing kampung yang ketahuan kencing di sarung. ia tidak menyelesaikan apa-apa, hujan meriam masih belum reda di kepala. rumah paling rapuh, adalah tubuh yang jarang kita basuh. luka-luka menempel seperti karatan pada besi tua, pada akhirnya segalanya akan pergi juga. entah ke mana, tak perlu juga ada tanya. yang menyakitkan di kepala.

Lamongan, 2020

 

menancapkan harpun ke tubuh ikan

menancapkan harpun ke tubuh ikan, bukan untuk membunuh ingatan yang berenang ke permukaan. kematian sudah lama berserakan di belakang punggung batu-batu yang dipahat hujan dan waktu. hujan yang melumat jejak-jejak baru terlalu bisu. waktu membasuhnya dengan cerita-cerita merdu masa lalu.

dan peradaban kian merangkak sebelum berlari, seseorang yang luntang-lantung di ladang kangkug, mengintip periskop yang mencuat di antara bunga-bunga. meneroka di dalam diri mereka ada lupa yang menganga, menyala-nyala serupa kemamang di langit remang. tak akan padam meski kau siram seluruh air lautan.

ditambah tujuh samudra di tiap-tiap antariksa, tak akan padam. kematian yang pernah lahir, dan memahat ulang dinding-dinding goa di selatan desa masih menyala. jadi cerita, olok-olok, para orang tua pada anaknya. agar pulang sebelum petang menjelang. dan ketakutan seperti ditanam dalam sela-sela usia anaknya.

Lamongan, 2020

 

hidangan di masa depan

pohon oak yang tumbuh di belakang rumahmu,
hanya cerita semu di sela-sela kita
yang kerap membatu,
pada cerita hantu di ladang tebu kita kerap
bertemu seperti ketakutan dan jeritan
yang juga melahirkan siksaan,

ia menjelma perempuan dengan rambut panjang,
di ketiaknya ada hutan dan tuhan yang dihilangkan
di sana anak-anak harus disembunyikan

sebagai hidangan di masa depan,

di sebuah nampan, ritual bancaan yang kerap
dirayakan pada hari kelahiran untuk mengusir
setan-setan yang berkeliaran di jalan nasib,
di hari-hari yang ingin diselami diri sendiri.

sebagai yang utuh di tubuh

suara lain hanya sayup
yang terdengar dari gubuk
orang-orang lapuk, ada lingkar tahun
yang menggurat wajah tuhan atau
hanya igauan, ladang yang memutar
ulang tarian-tarian persembahan

kepada perempuan di bulan

di belakang rumahmu, perjamuan
dan bunga-bunga kerap mengeja
siapa di sana, di sela-sela nama
di lingkar tahun yang menanak
tuhan dalam rahim hutan.

Lamongan, 2020

 

 

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, bukunya yang telah terbit Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Russa, 2020). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online, juga Majalah Suluk (DK Jatim), Terpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co (2018). Bergiat di Guneman Sastra dan Songgolangit Creative Space.
Instagram: @fatahanshori
Facebook: Fatah Anshori

 

Related posts

Leave a Comment

five × 3 =