CERPEN 

GADIS DALAM LUKISAN

Cerpen: Fini Marjan

___________________________________________________________

 

Sepasang burung cinta di dalam sangkar indahnya sedang memadu kasih di teras taman itu.  Kebun indah penuh bunga,  sesekali tampak kuntum-kuntum mungil bunga yasmin putih jatuh dari pohonnya. Pemandangan itu menyempurnakan keindahan taman yang dilengkapi lampu-lampu berwarna keperakan. Suara-suara cicit burung dan gemercik sungai-sungai yang mengalir di bawahnya terdengar menenteramkan batin.

———————————–

Gambar diambil dari Pixabay

———————————–

Bara berjalan menuju taman itu dengan wajah yang tampak gundah. Begitulah ketika hatinya sedang tak menentu, dia menghabiskan waktu di taman pribadinya itu. Taman yang memang dibuat khusus untuknya, ada jalan setapak yang langsung menuju pintu kamarnya. Taman pribadi berukuran sekitar empat kali lima meter selalu menjadi tempat pereda kegelisahan di dalam rumah megahnya yang bagai istana itu.

“Nona, kamu sedang apa?” Sesampai di taman, Bara terkejut mendapati seorang gadis cantik sedang memanjat sebuah pohon di taman itu. Dia mendekati sang gadis.

Entah apa yang dilakukan seorang gadis di atas pohon di taman pribadinya. Ia berambut legam sebahu mengenakan gaun pink muda lembut. Gaunnya tampak perlahan berkelebat tertiup sepoi angin. Gadis itu sangat terkejut mendengar suara Bara. Ia menoleh ke bawah melihat sumber suara. Pada saat yang bersamaan kakinya yang sedang memanjat terpeleset dan kehilangan keseimbangan kemudian dia terjatuh. Tubuhnya terhuyung ke bawah.

Bara pun semakin terkejut melihat gadis itu tiba-tiba jatuh dari atas pohon. Tanpa pikir panjang, Bara yang memang sedang berdiri tepat di bawah gadis itu, segera menangkap tubuh sang gadis untuk menyelamatkannya. Tubuh mereka saling berpelukan dan terhempas ke tanah dengan posisi sang gadis di bawah dan Bara di atas. Masih dalam suasana yang sama-sama terkejut, beberapa saat sepasang mata mereka bertemu dalam jarak yang amat dekat.

Bara lebih terkejut lagi setelah melihat wajah gadis itu. Ternyata wajah itu ialah wajah yang selama ini dirindukan dan diimpikan. Bara telah jatuh cinta pada gadis itu sejak lima tahun yang lalu ketika masih duduk di bangku kelas dua SLTA. Saat itu dia menghadiri sebuah pameran lukisan, tatapannya terpaku pada sebuah lukisan. Entah kenapa tak hanya sekedar menyukai lukisan itu, tatapan mata gadis dalam lukisan itu begitu menentramkan batinya. Bara pun membeli lukisan itu dan memasangnya di dinding kamarnya. Setiap hari dia memandang lukisan itu, lukisan yang berjudul Kejora.

Lukisan seorang gadis yang sedang tersenyum manis, di atas kepalanya terlukis bintang-bintang yang bercahaya. Sepasang mata indah dalam lukisan itu pun bagaikan cahaya bintang, bintang yang cahayanya menembus ke dalam relung-relung batinnya yang kosong yang tak mampu ditembus oleh apapun. Bara telah jatuh cinta kepada gadis dalam lukisan itu.

Sungguh tak disangka pada saat ini, Bara sedang memeluk seorang gadis yang jatuh dari atas pohon di taman pribadinya. Bara terus mengamati wajah gadis itu. Benar, wajah gadis yang sedang dipeluknya saat itu adalah wajah gadis dalam lukisan yang telah mencuri hatinya selama bertahun-tahun. Bunga yasmin putih jatuh tepat di rambut gadis itu. Tatapan mata mereka masih saling beradu.

“Kamu?” ucap Bara masih dalam suasana terkejut dan terpesona dengan kecantikan wajah yang selama ini dirindukan, namun tiba-tiba telah berada di depannya. Pemuda tampan itu mengucek kedua matanya untuk memastikan kembali wajah yang sedang dilihatnya. Sedangkan gadis itu tampak ketakukan dan segera melepaskan diri dari pelukan Bara.

“Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?” ucap Bara khawatir. Kemudian mereka duduk di sebuah kursi taman untuk saling menenangkan diri. Bara melanjutkan ucapannya, “Kenapa kamu memanjat pohon itu?”

“Aku hanya sedang mencari jalan untuk keluar dari rumah ini. Tolong aku. Bantu aku memanjat hingga ke atas agar bisa keluar dari rumah ini. Aku takut. Aku ingin pulang, namun tak diizinkan pulang.”

“Jangan takut, aku tak akan menyakitimu,” ucap Bara.

“Bukan takut kepadamu, tapi sama mereka. Mereka akan menyerahkanku kepada pria pemilik rumah ini dan memaksaku menikah. Tahukah kau? Pria itu sudah tua,” ucap gadis itu dengan mimik wajah lucu. Bara terpingkal-pingkal dalam hati melihat mimik wajah itu.

“Pria pemilik rumah ini? Pria tua?”

“Iya. Pria tua, hitam dan gendut.”

“Pria tua, hitam dan gendut?”

“Iya, katanya dia suka memangsa gadis-gadis cantik.”

Bara tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Entah dari mana informasi itu diperolehnya, sebab pada kenyataannya pria pemilik rumah ini sama sekali bukanlah pria tua, hitam dan gendut. Rumah megah bagaikan istana ini milik Bara dan ibunya. Jadi bila ada pria pemilik rumah ini, satu-satunya pria yang dimaksud tentulah Bara, pria muda setampan pangeran yang baru lulus sarjana. Bara tak mengerti mengapa gadis impiannya itu berpendapat demikian.

“Aku mohon padamu, tolong aku agar dapat keluar dari rumah ini. Aku takut sekali,” gadis itu bicara sambil menangis tersedu-sedu.

Bara memegang lembut pundak gadis itu dan berkata, “Tenang saja, tak usah takut. Selama ada aku  tak ada yang akan menyakitimu, Kejora.”

Mendengar ucapan itu, sang gadis berhenti menangis dan bertanya, “Bagaimana kamu tahu namaku Kejora?”

Pertanyaan Kejora mengingatkan Bara pada kejadian lima tahun lalu di pameran lukisan saat membeli sebuah lukisan.

“Kenapa lukisan ini diberi judul Kejora?” tanyanya kepada penjaga lukisan kala itu.

“Gadis di dalam lukisan ini bernama Kejora,” jawab penjaga itu.

Sejak saat itu Bara menyadari, dia telah jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Kejora, gadis dalam lukisan itu. Lukisan Kejora pun menjadi inspirasi dalam menulis puisi-puisi cintanya.

“Hai, malah melamun. Dari mana kau tahu namaku Kejora?” tanya Kejora makin penasaran. Bara tampak gugup mendapat pertanyaan itu.

“Kejora, Bibi Ijah yang memberitahuku. Sekarang tak perlu khawatir, aku akan menolongmu. Bu Ijah sekarang pasti sedang mencarimu. Sekarang kembalilah ke kamarmu agar Bu Ijah tak terkena masalah. Aku akan minta Bi Ijah untuk mengantarkanmu kepadaku,” ucapan Bara sangat lembut dan menentramkan hati Kejora. Kejora menatap Bara dan tersenyum, kembali mata mereka saling beradu.

“Oya, namamu siapa?  tanya Kejora.

“Ba … Bahtiar!” ucap Bara

“Bahtiar? Bahtiar, kenapa kamu ingin menolongku? Apakah kamu juga ingin melarikan diri dari rumah ini? Apakah mereka memperlakukanmu dengan buruk?”

“Kejora! Sekarang kembalilah ke kamarmu. Aku akan menemukan cara agar kita bisa berbincang kembali. Kamu tak akan berhasil keluar dari rumah ini dengan cara memanjat pohon seperti tadi. Berjanjilah padaku. Jangan melakukan hal berbahaya itu lagi ya.”

Kejora kembali menatap Bara dan mengangguk. Tatapan mata mereka kembali beradu untuk ke sekian kalinya, kali ini ada sesuatu yang bergejolak di hati Kejora. Gadis itu segera mengikuti ucapan Bara dan berjalan menuju ke kamarnya.

Bara bergegas menemui ibunya di sebuah ruang kerja pribadi miliknya. Dia tahu, pasti ibunya yang telah membawa Kejora ke rumah mereka. Sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan lima tahun yang lalu, Bara lebih sering mengurung diri di kamar sambil terus memandangi wajah gadis dalam lukisan yang berjudul Kejora itu. Sementara Bu Martha, ibunya Bara, sepeninggalan suaminya, wanita itu dengan cakap mengurus perusahaan milik sang suami. Dia sedih sebab anak semata wayangnya, Bara sama sekali tak tertarik dengan bisnis. Kesedihan yang mendalam atas kehilangan sang ayah, telah membuat pribadi Bara menjadi tertutup. Dia lebih gemar menulis puisi dan melukis. Sang ibu pun tahu bahwa sang anak telah jatuh cinta yang amat dalam dengan seorang gadis bernama Kejora di dalam lukisan itu. Selama bertahun-tahun sang ibu berusaha mencari sosok gadis dalam lukisan itu. Sebelum berhasil menemukan Kejora, Sang Ibu berusaha mempertemukan Bara dengan gadis-gadis cantik lainnya, namun tak ada satu gadis pun yang berhasil merebut hati Bara. Sang ibu mengerahkan seluruh anak buahnya mencari dan akhirnya berhasil membawa Kejora ke rumahnya.

“Bu, terima kasih telah membawa Kejora kepadaku,” ucap Bara setelah berdiri tepat di hadapan Ibunya. Dia sangat yakin Ibunya yang telah membawa Kejora ke rumah mereka.

“Rupanya kamu sudah bertemu Kejora sebelum ibu mempertemukan kalian?”

“Iya Bu, hari ini aku merasa hidupku sangat letih, tapi begitu bertemu dengannya, aku merasa hidup kembali.”

“Ibu ingin memberikan hadiah terindah atas kelulusanmu, Nak. Semua ini ibu lakukan untuk kebahagiaan, kesehatan dan kesuksesanmu. Kamu boleh terus menulis puisi, boleh terus melukis sesuai kegemaranmu. Tapi ibu berharap kamu juga tak melupakan tugas utamamu untuk mengelola perusahaan milik almarhum ayahmu. Ibu sudah semakin tua, kamu anak ibu satu-satunya. Ibu harap perusahaan peninggalan ayahmu dapat kamu teruskan dan jaga baik-baik.”

Bara hanya diam mendengar ucapan ibunya. Dia sungguh tak tertarik dengan perusahaan yang dimaksud oleh ibunya. Dia lebih bahagia bila diizinkan melukis dan menulis puisi saja setiap hari. Kesedihan akan kehilangan sang ayah dan jatuh cinta yang mendalam dengan seorang gadis di dalam lukisan itu bagaikan telah memenjarakan seluruh jiwanya.

“Bara, ibu akan menikahkanmu dengan Kejora.” Ucapan sang ibu membuat hati Bara berbinar. “Tapi ada syaratnya,” ucap sang ibu kembali.

“Ibu, aku hanya meninginkan Kejora. Apa syaratnya, katakanlah.”

“Ibu akan menikahkan kalian syaratnya kamu harus bersedia mengurus dan menjadi pemimpin perusahaan ayahmu.”

Pada saat yang sama, Kejora sedang berjalan menuju kamarnya. Dia mengambil sekuntum bunga yasmin putih di rambutnya kemudian menciumnya, bunga itu sangat harum. Kejora mengingat kejadian saat Bara menangkap tubuhnya dan mereka berpelukan saat dia terjatuh ketika memanjat pohon di taman itu. Untuk pertama kalinya hatinya berdesir mendapat tatapan mata seorang pria. Dia mengamati bunga mungil Yasmin putih harum itu dan berguman, “Bahtiar …!”

“Nona, kamu dari mana saja, aku mencarimu. Jangan keluar kamar tanpa permisi,” ucap Bi Ijah mengagetkan Kejora.

“Bahtiar!” Kejora kaget dengan kedatangan dan ucapan Bi Ijah dan hanya ucapan itu yang spontan terucap.

“Apa? Bahtiar?” tanya Bi Ijah.

“Bi Ijah kenal Bahtiar?”

“Bahtiar siapa? Di sini tak ada nama Bahtiar. Sudah ayo waktunya makan. Nyonya besar sudah pesan kepadaku untuk menjamu para gadis dengan baik.”

“Maksudnya para gadis yang akan dinikahkan dengan pria pemilik rumah ini?”

“Iya para gadis itu akan dipilh salah satu untuk dinikahkan dengan pria pemilik rumah ini. Tentunya gadis yang beruntung. Sudah, ayo bergabung ke ruang makan.”

Kejora ingin banyak bertanya namun Bi Ijah segera menarik lengan Kejora dan dalam sekejab telah berhasil membawa gadis itu berada di ruang makan bersama dengan lima orang gadis cantik berusia dua puluhan, seusia Kejora. Ketika Kejora dan Bi Ijah masuk, gadis-gadis cantik itu tampak tak bersahabat dengan Kejora.

“Ada saingan baru datang, nih. Saingan berat sepertinya,” bisik seorang gadis bernama Lili kepada Maya yang duduk di sampingnya.

Lili menatap wajah Kejora dan mengingat kejadian dua hari yang lalu ketika Bu Martha, ibunya Bara berkata, “Lili, jika kamu berhasil membuat anakku Bara jatuh cinta dan tertarik kepadamu, aku akan menikahkan kalian. Lakukan yang terbaik.”

Perempuan mana yang tak tertarik kepada Bara, tampan, baik dan kaya. Lili pun berusaha memanfaatkan waktu dan kesempatan yang telah diatur oleh Bu Martha, yaitu sebuah makan malam berdua yang romantis di rumahnya. Namun ternyata gagal, Bara tak sedikit pun tertarik dengan wanita bernama Lili yang disuguhkan oleh ibunya itu. Malam-malam sebelumnya, wanita-wanita cantik lain yang coba dikenalkan kepada Bara pun tak ada yang sanggup membuka apalagi berhasil memasuki hati Bara. Lima orang wanita muda di ruang makan itu adalah wanita-wanita yang dipilih oleh Bu Martha untuk dinikahkan dengan anaknya namun telah ditolak mentah-mentah oleh Bara.

Lima gadis itu memandang Kejora yang hendak bergabung di ruang makan dengan tatapan sinis. Kejora merasa risih mendapat tatapan itu, ditatapnya kelima wajah cantik yang sebenarnya dia ingin bersahabat dengan mereka. Kejora memilih duduk di sebelah Maya sebab di antara lima gadis itu, Maya lah yang pernah berbicara dengan Kejora di rumah ini. Saat sarapan tadi pagi Maya berkata kepada Kejora dengan sinis, “Jadi kamu korban berikutnya? Hati-hati, mereka akan menikahkanmu dengan pria pemilik istana ini. Pria tua, hidung belang, hitam dan gendut. Dia suka sekali memangsa gadis-gadis cantik dan muda sepertimu.”

Kejora bergidik mendengar ucapan Maya pagi itu, belum sempat banyak bertanya Maya berdiri bergegas meninggalkan Kejora. Padahal banyak sekali yang ingin ditanyakan Kejora atas ucapan Maya itu. Makan siang kali ini Kejora memilih duduk di sebelah Maya.

Maya masih memandang Kejora dengan sinis. Tentu saja karena cemburu dengan kehadiran Kejora sebab dia dan keempat orang lainnya telah ditolak oleh Bara. Maya hanya bisa bersikap bersahabat kepada gadis yang telah sama ditolak oleh Bara. Ucapannya kepada Kejora tadi pagi hanya usil dan ingin menakuti Kejora saja.

Kejora telah duduk di samping Maya dan hendak bertanya lebih lanjut tentang ucapan Maya mengenai pria tua pemilik rumah ini yang dimaksud oleh Maya. Tiba-tiba telepon di ruang makan berdering. Bu Ijah segera mengangkatnya.

“Halo. Iya, baik … baik, Nyonya.” Ucap Bu Ijah kemudian menutup gagang telepon kembali.

“Nona Kejora, dipanggil Nyonya. Ayo ikut denganku.”  Mereka berdua bergegas menuju ruang kerja Bu Martha. Sesampai di ruang kerja Bu Martha, Bi Ijah meninggalkan Kejora bersama Bu Martha dan bergegas meninggalkan ruangan.

“Kejora, saya sedang mencari calon istri untuk …” Bu Martha membuka percakapan.

“Untuk pria pemilik istana ini?” jawab Kejora ketus. Bu Martha kaget dengan reaksi Kejora yang sangat keras.

“Tenang, saya tidak akan memaksa siapa pun. Temui dulu pria yang akan taaruf denganmu. Jika kamu tak bersedia aku akan mengirimmu pulang. Nanti malam aku akan mengatur pertemuan kalian.”

Hari telah beranjak malam,  pertemuan yang diatur Bu Martha akan segera terjadi. Kejora gelisah di dalam kamarnya. Hatinya terus memikirkan Bahtiar. Tapi malam ini dia harus bertemu pria tua pemilik rumah. Bu Martha sudah berjanji tak akan memaksanya, dan menemui pria tua itu adalah satu-satunya cara agar dia dapat keluar dari rumah itu dengan baik-baik. Sebab Bu Martha sudah berpamitan dan meminta kepada kedua orang tua Kejora untuk melakukan proses taaruf.

Bu Martha memberikan gaun yang yang sangat indah untuk Kejora. Kejora mengenakan gaun itu dan dengan riasan tipis membuat penampilannya begitu sempurna. Pesona wajahnya bagaikan cahaya bintang, cahayanya menembus kegelapan malam. Kejora sengaja datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Dalam benaknya dia ingin segera menuntaskan urusannya dengan pria tua pemilik rumah itu, agar dapat segera menemui Bahtiar di taman itu lagi. Dengan anggun Kejora berjalan menuju ruang makan pribadi keluarga yang ditunjukkan oleh Bi Ijah. Di sana dia akan bertemu pria pemilik rumah itu. Hatinya berdebar tak menentu. Tiba-tiba debaran hatinya berubah menjadi debaran yang indah tatkala dia melewati sebuah ruangan khusus untuk beribadah. Sepertinya memang ruang sembahyang, dari dalam ruang itu terdengar suara pria yang sangat merdu sedang melantunkan ayat-ayat suci Alquran.

Sontak Kejora menghentikan langkahnya dan menyimak suara lantunan kitab suci itu. Hati gadis itu sangat tersentuh hingga meneteskan air mata. Perlahan dia mendekati pintu ruang sembahyang itu dan melihat ternyata Bahtiar yang sedang melantunkan ayat-ayat Alquran dengan begitu merdu dan terdengar menentramkan batinnya.

“Bahtiar?” pekiknya perlahan. Namun dia tak ingin kehadirannya mengganggu konsentrasi Bahtiar. Kejora segera meninggalkan tempat itu menuju ruang makan yang dimaksud oleh Bi Ijah. Sesampai di ruang itu, Kejora memandang berkeliling, tak ada siapa-siapa selain dirinya. Ternyata ruang makan itu disiapkan hanya untuk dua orang dengan lampu temaram dan lilin romantis menyala di atas meja. Kejora membayangkan seandainya Bahtiar dan dirinya yang berada di tempat ini dia pasti sangat bahagia.

Di meja makan itu hanya ada dua kursi, kejora duduk di salah satu kursi yang membelakangi pintu. Dia sengaja agar bila pria tua itu masuk ke ruang makan, Kejora tak langsung melihat wajahnya yang memuakkan. Ada rasa khawatir bila pria itu akan melakukan hal-hal yang tak mengenakkan atau tak senonoh pada dirinya, bagaimana cara dia menghindari pria itu? Dia merasa seperti sedang menunggu buaya buas yang hendak menerkamnya. Membayangkan itu semua, air mata Kejora jatuh di pipi tanpa permisi, dia ketakutan hingga menangis tersedu-sedu.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki memasuki ruang makan. Itu pasti pria itu, batin Kejora. Suara langkah kaki itu semakin mendekati Kejora dan berhenti tepat di belakang Kejora, saat itu gadis itu bersiap dengan tindakan kuda-kuda namun isak tangis dengan ketakutan dan kesedihannya masih tersengar. Tangan pria itu dengan lembut memegang pundak Kejora, tak disangka Kejora mengambil tangan itu dengan kasar kemudian menggigitnya sekeras-kerasnya.

“Akhh, aduh. Apa yang kamu lakukan, Kejora? Kenapa kau menggigit tanganku?” ucap Bara sambil menarik tangannya. Bekas gigitan Kejora terasa sangat sakit.

Kejora lebih kaget mendengar suara itu dan membalikkan badannya. “Bahtiar? Kok kamu? Kenapa kamu di sini?”

Beberapa saat keduanya hanya berdiri mematung, saling menatap dan berusaha menenangkan gejolak di dada masing-masing. Saat itu, dalam dada keduanya, cinta mengalir begitu saja bagai aliran sungai yang deras airnya dan tak ada yang mampu membendungnya.

“Aku harus bicara dengan pria pemilik rumah ini untuk menyelesaikan urusanku dengan baik-baik setelah itu aku akan menemuimu di taman. Keluarlah, Bahtiar.”

Bara mendekatkan dirinya menuju telinga Kejora kemudian berbisik, “Tidak, aku ke sini untuk menemui calon istriku.”  Bara menarik tangan kejora dengan lembut dan mengajak gadis itu ke kamarnya yang ternyata di sebelah ruang makan itu.

“Ini kamar siapa?”

“Kamar pria pemilik rumah ini.”

Kejora memandang berkeliling dan foto-foto Bahtiar yang terpajang di dinding kamar serta sebuah lukisan yang ditutup kain putih.

“Jadi, kamu pria pemilik rumah ini? Lalu pria yang bernama Pak Bara, yang tua, hitam dan gendut dan jahat itu siapa?”

“Aku satu-satunya pria pemilik rumah ini. Apa aku terlihat seperti itu?”

“Katanya namamu Bahtiar? Kamu bohong ya?”

“Nama asliku Bara. Bahtiar memang nama lainku, nama ketika aku menulis puisi.”

“Puisi?”

“Iya, kemarilah.”

Bara membawa Kejora di depan sebuah lukisan. Kejora segera membuka lukisan itu, tampak sebuah lukisan bergambar dirinya sedang tersenyum di antara bintang-bintang yang cahayanya menembus. Sebuah kertas tergeletak di meja depan lukisan itu. Ada sebuah puisi di kertas itu. Kejora mengambil kertas dan membaca puisi itu. Suaranya bagaikan menembus ruang dan waktu yang tak pernah dapat tertembus. Mereka berbincang hangat tentang puisi, tentang lukisan dan tentu saja tentang cinta dan kerinduan yang selama ini dirasakan oleh Bara.

Malam itu, bintang-bintang di atas sana bersinar semakin tajam. Bintang-bintang itu cahayanya telah menembus kegelapan malam. Bara dan Kejora sedang memadu kasih di taman. Bunga yasmin putih jatuh di rambut Kejora. Bara memungut bunga dari rambut hitam yang tergerai sehalus sutra itu dengan lembut seraya berbisik dipenuhi cinta yang mendalam, “Aku tak bisa hidup tanpamu, jangan pergi sedetik pun dari wajahku, Kejora.”

Namun tiba-tiba cahaya putih memancar di antara mereka, sekejap tubuh Kejora bagaikan hilang ditelan cahaya itu dan tak tahu entah ke mana. Kejora tak terlihat lagi.

“Kejora! Kejora! Kamu di mana?” Bara berteriak-teriak histeris memanggil nama Kejora sambil berlari mencari sang kekasih di seluruh penjuru.

“Jangan menyakitiku dengan kepergianmu! Kejora!” Bara terus mencari sang kekasih. Tak lama kemudian senyumnya kembali mengembang tatkala wajah Kejora kembali melintas.

***

“Kejora!” Bara terbangun dari mimpinya dengan keringat dingin masih sambil berteriak memanggil nama Kejora. Jam dinding menunjukkan pukul 03.15 WIB. Mimpi kali ini bukanlah mimpinya yang pertama kali dia bertemu Kejora. Namun dalam mimpi itu Bara merasakan sesuatu yang berbeda dan terasa nyata. Mimpi itu menumbuhkan keyakinan yang mengakar kuat dalam benak bahwa pertemuan dan kebersamaannya dengan Kejora akan segera menjadi nyata.

Bara turun dari tempat tidur, mengambil air wudhu kemudian sembahyang dan berdoa. Tak lama kemudian, sambil menunggu Azan Subuh dia duduk di meja sambil menatap lukisan Kejora dan kembali menulis sebuah puisi;

 

BINTANG YANG CAHAYANYA MENEMBUS

Kejora, matamu ialah sepasang bintang

yang cahayanya menembus ke dalam kalbu

dengan cara apa aku menemukanmu?

 

Haruskah kuselami seluruh lautan

untuk menemukan dirimu di dasar sana

Haruskah kuikuti burung terbang ke angkasa

agar kudengar suaramu, semerdu nyanyian burung bulbul

 

Aku bahkan tak sanggup hanya untuk sekadar berkedip

kala menemukan senyum wajahmu di antara

lukisan bintang-bintang yang bercahaya

O Kejora, di manakah engkau?

 

Datanglah kemari agar dapat lagi kupandang

bunga yasmin putih yang jatuh di rambutmu

Datanglah menyinari taman gelap kerinduan

duhai bintang yang cahayanya menembus.

 

***

2021

 

PENULIS:

Fini Marjan lahir di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1986. Fini menulis puisi, cerpen dan novel. Buku kumpulan puisi tunggal ketiganya berjudul Mengurai Tangkai-tangkai yang Menjulai, Penerbit Pustaka Jaya 2020. Buku kumpulan puisi terbaru berjudul Tasbih Ketika Terbenam Bintang-bintang, Penerbit Garudhawaca 2021.

 

Related posts

Leave a Comment

18 − five =