PUISI 

Pulang ke Golo Gega

Puisi-puisi Petrus Nandi ___________________________________________________________________

 

KEHILANGAN HUTAN

pagi menciptakan kesedihan dari longgok debu
saat daun-daun urung memeluk
cahaya. kau datang meruntih kenangan
pada ranting berdarah, batang berdarah, akar
berdarah, dalam sekeping pulang yang memar.

tanah telah kehilangan wajah, Leon.
masa lalu adalah rimbun hutan yang
kaurawat di bidang dada, tetapi orang-orang
telah membabat, jauh sebelum kamus kita
menemukan kata terlambat.

“di mana rimba yang menumbuhkan rindu?”
kau bertanya pada tanah pusaka sedang di kejauhan,
deru mesin mengirimkan obituari
pohon-pohon yang kehilangan masa depan.

“dunia tak cukup menampung kesedihan kita, Leon,”
lamat akar akasia dari balik tanah menyahutmu,
“pergilah dari dongeng murung kami.
pergi bersama separuh pohon yang masih bernapas
di dadamu. biarkan bertumbuh seperti kata-kata.
dan kami, kenanglah sebagai puisi yang mati
di atas peta kelabu–negeri yang abu.”

Pra-Novisiat Claret, Maret 2022

 

Pulang ke Golo Gega

menyisir landai sepanjang Watu Pajung,
langit, kau tahu, tak sedang mengandung iba
meski doa menguar dari cawan getir dadamu
tak gentar mendaki tangga kabut.

“adakah cinta masih tercipta dari
aroma kopi dan bebunga kemiri?”
kaunyalakan sepenggal tanya pada petang
yang memeluk kabut.

sementara awan memanahkan jutaan maut dan berbisik,
“peradaban tak lebih dari pengulangan kesedihan,
maka Golo Gega mesti kembali pada lengkung takdirnya.”

tapi kau percaya unggun masih bernyala
di pelataran beringin, anak-anak menabuh gendang
meniup seruling di sekeliling, dan malam masih
melahirkan separuh getar dongeng untukmu.

kini sepenuhnya tiba,
tapi di manakah Golo Gega
menyembunyikan wajahnya?

sesudah hujan menyuburkan maut,
dusun menjelma sejarah yang kehilangan
suara. pohon-pohon rebah berdarah.
atap rumah mencium tanah.

mimpi yang kau arsir kian menebalkan rindu
sedang Golo Gega tinggal ingatan kopi dan kemiri,
tinggal ingatan bukit yang meronta-ronta
di atas kepala manusia,
tinggal payau bertimbun air mata.

Pra-Novisiat Claret, Maret 2022

 

Pedang

masih menebal bercak di dua sisi.
tajamnya telah mengambil bagian
paling kecil dari sorak sebuah
perayaan, tapi talah mereguk merah
sebelum mulut tetua dan pendeta
mengunyah empuk tumbal.

dentang tebasan mengiringi kata-kata
mengalir bagai air ke titian altar
“ouo, anak kerbau malang, harus kau
rasakan ini perih agar ujud doa
menembus gendang telinga dewa,
agar terputus tali keraguan ayah ibu
yang imannya tak setinggi bukit,
yang hatinya tak serendah lembah.”

membekas warna yang semula merah
menjelma hitam oleh kecup angin
setelah dilarungkan–
sebelum disarungkan,
hitam seperti tetes buah murberi,
hitam yang semula muncrat dari
berlapis-lapis kecemasan membungkus
otot dan sendi dan lambung dihunjam
serentang tangan kanan dan seribu keyakinan.

atap semesta menghitam oleh
asap dupa dan kurban bakaran.
orang-orang masih menjampi dan
melaburkan merah sirih pinang pada
lempeng altar sebelum daging diedarkan.
pisau-pisau angkuh diturutkan–
lancang mencincang selira.

langit membangkitkan kegaduhan di
antara orang-orang, sedang pedang
menggigil diringkuk warangka penyesalan,
masih mencari serentang
tangan kanan dengan seribu keyakinan
untuk sekadar bertanya,
“dapatkah permata di jantung dewa
dicari semata dengan cinta
tanpa darah, tanpa mati?”

Pra-Novisiat Claret, Februari 2022

 

 

Petrus Nandi, lahir di Pantar-Manggarai Timur pada 30 Juli 1997. Alumnus STFK Ledalero, Maumere ini merupakan calon imam Katolik dalam Kongregasi Claretian. Karya-karyanya tersiar di beberapa media seperti Tempo, Basis, Suara Merdeka, Medan Pos, Mata Puisi, buku-buku antologi, baik puisi maupun cerpen.

Related posts

Leave a Comment

ten − 9 =