CERPEN 

Daftar Pencarian Orang

Cerpen: Muhamad Muckhlisin ______________________________________________________________________

 

Pukul 21.30 malam. Hanya ada beberapa orang yang masih ngumpul di jalanan kota Cilegon. Seorang polisi melangkah menyusuri jalan, gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia adalah orang berwibawa dan terpandang. Udara di musim hujan terasa sangat dingin. Angin berembus kencang mengantarkan rintik hujan yang mulai turun dari langit.

Polisi itu terus melangkah pelan. Ia menengok ke kiri dan kanan, sambil memastikan semua toko sudah tutup. Sesekali ia berhenti dan membalikkan tubuh seraya menyisir jalanan kota dari ujung ke ujung dengan pandangannya. Orang itu memang pantas jadi polisi. Matanya selalu awas dan waspada, penuh perhatian dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

Masih ada sebagian penduduk di wilayah itu yang pulang malam. Karena itu, ada saja toko atau warung yang masih buka dan lampunya menyala. Tetapi kebanyakan sudah tutup sejak sore tadi.

Melihat seorang lelaki yang memarkir mobil mewah dengan pakaian mencolok, polisi itu memelankan langkahnya. Di depan bangunan restoran dengan cahaya remang, lelaki asing itu berdiri dengan tegap. Sang polisi berjalan mendekati lelaki itu, dan tanpa banyak basa-basi kontan bertanya, “Ada apa, Pak?”

Ia menyalami polisi, kemudian jawabnya tegas, “Saya sedang menunggu teman lama. Limabelas tahun lalu saya berjanji akan ketemu lagi di restoran ini…”

“Limabelas tahun lalu?”

“Iya Pak, mungkin kedengarannya agak janggal. Jadi, limabelas tahun lalu kami makan bareng di restoran ini. Tapi biar saya jelaskan supaya Bapak tidak curiga, sekitar limabelas tahun lalu nama restoran ini Salero Bundo…”

“Tapi restoran Salero Bundo sudah tutup sejak empat tahun terakhir,” ujar polisi.

Polisi itu memperhatikan seraut wajah lelaki yang berbentuk oval, sorotan mata tajam menyala disertai tahi lalat di pelipis kirinya. Ia mengenakan kemeja lengan panjang, dasi batik yang dihiasi permata di bagian atasnya. Ia juga memakai cincin dari batu kalimaya yang harganya mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.

“Begini Pak, waktu itu kami makan malam di sini bersama teman saya. Namanya Iwan,” kemudian lanjut lelaki itu, “dia teman karib saya. Orangnya baik sekali, polos banget. Waktu itu kami bermain bersama di sekitar jalanan Cilegon ini, umur saya 22 tahun, paling selisih satu tahun di bawah saya. Suatu ketika, saya berangkat menuju Jakarta meninggalkan Iwan. Saya berjanji tidak akan pulang sebelum menjadi orang sukses. Sementara Iwan tetap setia pada tanah kelahirannya dan tetap tinggal di Cilegon. Lalu, kami pun berjanji di malam itu, bahwa dalam waktu limabelas tahun ke depan, kami akan ketemu lagi di tempat ini. Kami kira, waktu limabelas tahun cukup bagi kami untuk menemukan jatidiri masing-masing.”

“Menarik juga,” celetuk sang polisi. “Menurut saya, jarak limabelas tahun cukup lama. Apakah Anda tidak menerima kabar sama sekali selama kerja di Jakarta?”

“Ya, kami pernah beberapa kali saling menelpon, meskipun dulu HP masih sangat jarang. Tapi selama beberapa tahun terakhir kami tak saling berhubungan. Padahal, Jakarta adalah kota besar yang sangat luas, dan saya sering berpindah-pindah kerja dari satu tempat ke tempat lain,” ia berdehem sejenak kemudian sambungnya, “tapi saya yakin Iwan akan datang malam ini, kalau dia tidak ada halangan sama sekali. Saya percaya pada apa yang kami janjikan. Dan dia orang jujur. Saya bahkan bela-belain menempuh ratusan kilometer dari Jakarta ke Cilegon hanya untuk menemui teman baik saya itu…”

Lelaki itu mengeluarkan jam tangan mewah yang dihiasi oleh manik-manik emas dan berlian di sekelilingnya.

“Jadi, sekitar jam sepuluh malam, tanggal 31 Maret, pada limabelas tahun lalu saya dan Iwan berpisah persis di depan restoran ini, lalu kami sepakat bahwa limabelas tahun ke depan kami akan bertemu di restoran ini juga.”

“Apakah Anda merasa menjadi orang sukses setelah limabelas tahun tinggal di Jakarta?” tanya sang polisi.

“Tentu dong, Pak,” katanya dengan senyum menawan, “Tapi setidaknya Iwan teman saya itu bisa mendapatkan setengahnya dari kesuksesan yang saya capai.”

“Setengahnya?”

“Ya, soalnya dia itu agak lamban, suka banyak pertimbangan. Bagi saya, di tanah kelahirannya orang akan sulit berubah, tetapi posisi saya di Ibukota, wah semua orang bertarung hebat untuk meraih apa yang dicita-citakan.”

Polisi itu menepuk-nepuk pundak lelaki asing itu, kemudian ia melangkah pergi untuk melanjutkan patroli malam. “Baik kalau begitu, mudah-mudahan teman baikmu itu datang tepat jam sepuluh nanti. Tapi kalau belum datang juga, apa Bapak mau pergi?”

“Paling tidak akan saya tunggu sampai jam setengah sebelas. Tapi kalau Iwan tidak ada halangan, saya yakin dia akan datang.”

“Baik, hati-hati Pak, selamat malam.”

“Selamat malam.”

Tak berapa lama, hujan deras turun dari langit. Angin berhembus begitu kencang. Beberapa warga yang masih berada di jalan terlihat terburu-buru mencari tempat teduh. Sementara di pintu bangunan bekas restoran, lelaki asing itu tetap berdiri tegak. Meskipun, pertemuan itu tidak menjanjikan apa-apa sebenarnya. Tapi tetap saja si lelaki menunggu dengan setia.

Sekitar sepuluh menit kemudian, seorang laki-laki jangkung dalam balutan jas hujan panjang datang dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiri lelaki yang masih berdiri di depan bangunan restoran.

“Herman, ini benar kamu?” tanya lelaki jangkung penuh keraguan.

“Iwan? Ya, ampun… kamu kok makin tinggi aja, Sobat?”

“Maklumlah, saya rajin main basket sejak umur 21.”

Mereka saling berpelukan. Lelaki jangkung itu kemudian berkata, “Akhirnya kita ketemu juga di tempat yang sama malam ini. Saya memang yakin bakal ketemu kalau kita masih panjang umur. Tapi sayang sekali, restoran ini sudah tutup sejak empat tahun lalu. Jadi, ya, sekitar limabelas tahun lalu… waktu yang sangat panjang, Sobat. Kalau saja restoran ini masih buka, tentu kita bisa makan malam di tempat yang sama. Lalu, bagaimana dengan Jakarta?”

“Tentu saya sudah mendapatkan apa yang saya cita-citakan. Tapi saya lihat, kamu sudah banyak berubah… rupanya makin jangkung aja nih…”

“Ya, badan saya makin tinggi sekitar umur 21 sampai 23, karena saya menyibukkan diri dengan olahraga. Lalu, bagaimana dengan kesibukanmu di Jakarta? Sudah sukses kan?”

“Ya begitulah, berkat perjuangan tanpa kenal lelah. Nah, sekarang apa pekerjaanmu di Cilegon ini?”

“Di sini saya menjadi pegawai negeri, dan bekerja sambil melayani umat, itu saja. O iya, ngomong-ngomong ayo kita cari tempat makan. Kebetulan saya ada langganan di sebelah sana. Ayo kita duduk-duduk di sana sambil mengenang masa lalu.”

Kedua lelaki itu berjalan beriringan, tangan keduanya saling berpautan. Si lelaki asal Jakarta sibuk menceritakan perjalanan hidupnya. Sementara lelaki jangkung, sambil membetulkan kerah jas hujan yang diangkat menutupi leher, sibuk mendengarkan dengan penuh perhatian.

Di sebuah sudut jalan ada toko yang memancarkan sinar lampu yang sangat terang. Begitu kedua lelaki itu mendekati halaman toko, keduanya saling menatap wajah satu sama lain.

Si lelaki asal Jakarta segera berhenti, lalu menarik lengannya keras-keras. “Ah sialan! Kamu bukan Iwan, kan? Mana mungkin waktu limabelas tahun membuat bentuk hidung orang bisa berubah?”

”Ya, bisa saja. Bahkan waktu limabelas tahun bisa mengubah orang baik menjadi jahat,” sindir lelaki jangkung.

“Apa maksudmu?” tanya lelaki asal Jakarta kaget.

“Sekitar duapuluh menit terakhir sebenarnya kamu sudah ditahan, Herman. Polda Metro Jaya sudah curiga kamu akan datang ke Cilegon ini. Mereka memperingati kami untuk mengantisipasi kedatanganmu ke sini,” ia menghela nafas, dan lanjutnya, “Sekarang, apa kamu mau ikut saya ke kantor polisi tanpa perlawanan? Ya, sebaiknya begitu. Sebelumnya, saya akan beri catatan kecil yang disampaikan melalui saya dari seorang polisi bernama Iwan Himawan. Ini catatannya.”

Lelaki asal Jakarta itu membuka lipatan potongan kertas kecil yang diberikan lelaki jangkung kepadanya. Tangannya mulai gemetar saat ia membaca kata demi kata yang tertera di atas kertas:

“Herman kawanku. Saya sudah datang sejak pukul setengah sepuluh di tempat yang sama sejak limabelas tahun lalu. Saya melihat wajah laki-laki yang menjadi DPO selama beberapa tahun terakhir, dan sampai sekarang masih dalam pencarian kepolisian Metro Jaya. Saya tidak tega menangkapmu. Jadi saya minta petugas lain untuk segera datang menangkapmu.” ***

 

Muhamad Muckhlisin, cerpenis dan kritikus sastra, menjadi tenaga pengajar di Pondok Pesantren AlBayan, Rangkasbitung, Banten Selatan. Pemenang lomba cerpen tentang Cagar Budaya Banten 2016, juga peraih juara pertama lomba cerpen tingkat nasional tahun 2017

Related posts

Leave a Comment

eighteen + seven =