Berita puisi 

Sajak-sajak Suara Kemerdekaan

Karya Ahmadun Yosi Herfanda

NYANYIAN KEMERDEKAAN

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu
Tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad aku terlelap
Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung yang semula
Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya

Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantara
Bangkitlah Soekarno-Hatta
Bangkitlah semua dada yang terluka

“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku
Dari mimpi siang yang celaka

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup
Dari rahimmu, kemerdekaan
Jantungku hampir tumpas
Karena racunnya

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
Hanya kau!

(Matahari yang kita tunggu
Akhirnya bersinar juga
Di langit Indonesia!)

Mei 1985-2008

ANAK-ANAK INDONESIA

Kehilangan ladang di kampung mereka
Anak-anak Indonesia merangkak
Di lorong-lorong gelap kota
Berjejal mereka
Di gerbong-gerbong kereta api senja
Terhimpit dalam bus-bus kota
Menggelepar dalam gubuk-gubuk
Tanpa jendela
di bantaran sungai dan rel kereta

Anak-anak Indonesia
Akan digiring ke manakah mereka?
Bagai berjuta bebek mereka bersuara
Bagai gema nyanyian tanpa syair dan nada

Sebelum matahari terbit, anak-anak Indonesia
Berderet di tepi-tepi jalan raya
Menggapai-gapaikan tangan mereka
Ke gedung-gedung berkaca
Yang selalu tertutup pintu-pintunya
Dari pagi hingga sore
Mereka antri lowongan kerja
Tapi diberi kondom dan pil kabe
Lantas dibuang ke luar Jawa
Atau dikirim negara-negara tetangga

Terusir dari tanah kelahiran, anak-anak Indonesia
Tercecer di pasar-pasar gelap kota, di bawah jembatan
Dan biro-biro ekspor tenaga kerja
Anak-anak Indonesia, akan dibawa ke manakah
Ketika bangku-bangku sekolah bukan lagi dewa
Yang bisa menolong nasib mereka?
: Kepada kalian
Tuhan menitipkan
nasib mereka!

Yogyakarta, 1992

RESONANSI BUAH APEL

buah apel yang kubelah dengan pisau sajak
tengadah di atas meja. Melihat dagingnya yang
putih-kecoklatan, seekor lalat berkata,
“lihatlah, ada puluhan ekor ulat
yang tidur dalam daging apel itu.’’

memandang buah apel itu aku seperti
memandang negeriku. Daging putihnya
adalah kemakmuran tanah airku
yang lezat dan melimpah
sedang ulat-ulatnya adalah para pejabat
yang malas dan korup

kupu-kupu yang tahu tamsilku pun berteriak,
“kau pasti tahu siapa yang paling rakus
di antara mereka. Dialah rajanya!’’

buah apel dan ulat
ibarat negara dan koruptornya
ketika buah apel membusuk
ulat-ulat justru gemuk di dalamnya

Jakarta, 2000

RESONANSI INDONESIA

bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang-ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, melayu, tionghoa, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: sebab kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya jarak pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam genggaman
semangat Indonesia Raya

Jakarta, 1984/1999

SEMBAHYANG RUMPUTAN

Walau kau bungkam suara azan
Walau kau gusur rumah-rumah tuhan
Aku rumputan
Takkan berhenti sembahyang
: inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi rabbil ‘alamin

topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi
: allahumma shalli ‘ala muhammad
ya rabbi shalli ‘alaihi wa sallim

sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan habis-habisan

Walau kau tebang aku
Akan tumbuh sebagai rumput baru
Walau kau bakar daun-daunku
Akan bersemi melebihi dulu

Aku rumputan
Kekasih tuhan
Di kota-kota disingkirkan
Alam memeliharaku
Subur di hutan-hutan
Aku rumputan
Tak pernah lupa sembahyang
: sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku dan matiku hanyalah
bagi Allah, tuhan sekalian alam

Pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha illallah
muhammadar rasulullah

Aku rumputan
kekasih tuhan
seluruh gerakku
adalah sembahyang

Yogyakarta, 1992

NEGERI DAUN GUGUR

Daun-daun berguguran
Bukan oleh sentuhan angin
Tapi petikan tangan-tangan rahasia
Yang menangkup pintu-pintu Cinta

Bunga-bunga bangsa berguguran
Bukan oleh peluru musuh bengsa
Tapi oleh tangan-tangan kapeka
Yang mengirim mereka ke balik penjara

Pohon-pohon bertumbangan
Bukan karena lapuk dan tua
Tapi gergaji pemegang hapeha
Menggasak dan melipatnya
Jadi angka-angka rahasia

Kulit bumi pun terluka-luka
Oleh beko dan zakar angkara
Yang mengeruk apa saja,
Minyak, emas, timah, permata
tembaga, dan batu bara
untuk dikunyah tanpa sisa
oleh mulut-mulut yang tak jelas
warna benderanya

Begitulah negeri daun gugur
Kerakusan jadi agama
Dan agama jadi topeng
Untuk menutup wajah buaya
Daun-daun keadilan pun gugur
Menyampah di tiap sudut kota
Kehadiran Tuhan tinggal kata-kata
Di masjid-masjid lapuk
Dan gereja-gereja tua

Jakarta, 2014

INDONESIA, AKU MASIH
TETAP MENCINTAIMU

Indonesia, aku masih tetap mencintaimu
Sungguh, cintaku suci dan murni padamu
Ingin selalu kukecup keningmu
Seperti kukecup kening istriku
Tapi mengapa air matamu
Masih menetes-netes juga
Dan rintihmu masih pilu kurasa?

Burung-burung bernyanyi menghiburmu
Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu
Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu?
Apakah kau tangisi hutan-hutan
Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha?
Apakah kau tangisi hutang-hutang
Yang masih menumpuk jadi beban negara?
Apakah kau tangisi nasib rakyatmu
Yang makin tergencet kenaikan harga?
Atau kau sekadar merasa kecewa
Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika?

Ah, apapun yang terjadi padamu
Indonesia, aku tetap mencintaimu
Ingin selalu kucium jemari tanganmu
Seperti kucium jemari tangan ibuku
Sungguh, aku tetap mencintaimu
Karena itulah, ketika orang-orang
Ramai-ramai membeli dolar amerika
Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah
Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!

Jakarta, 1997

AHMADUN YOSI HERFANDA lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958. Penyair religius-sufistik ini adalah salah seorang penggagas dan pencanang forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum penyair yang diadakan secara bergilir di Negara-negara Asia Tenggara, dan salah seorang deklarator Hari Puisi Indonesia (HPI) yang dirayakan tiap akhir bulan Maret. Selain puisi, ia juga banyak menulis cerpen dan esei sastra. Sejak 2010, mantan redaktur sastra Harian Republika ini mengajar penulisan kreatif (creative writing) pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong. Ia sering menjadi pembicara dan pembaca puisi dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional di dalam dan luar negeri.
Saat ini Ahmadun juga menjadi ketua tetap Jakarta International Literary Festival (JILFest), anggota pengarah Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), anggota dewan penasihat Malay Studies Centre Pattani University Thailand, ketua Lembaga Literasi Indonesia (Indonesia Literation Institute), pemimpin umum portal berita BataviaOne.com danTangselOne.com, serta pemimpin redaksi portal sastra Litera (www.litera.co.id ) dan majalah sastra digital dalam jaring Sembahyang Rumputan (www.sembahyangrumputan.com). Ia juga pernah menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 2009-2012), ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 2007-2012), ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1996), ketua Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2012), dan anggota tim ahli Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud RI bidang Sastra.
Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Sang Matahari (Nusa Indah, Ende Flores, 1980), Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1991), Sembahyang Rumputan (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Fragmen-fragmen Kekalahan (Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Ciuman Pertama untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004 — meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa, 2008), Dari Negeri Daun Gugur (Pustaka Littera, 2015), dan Ketika Rumputan Bertemu Tuhan (Pustaka Littera, 2016) – buku ini terpilih sebagai buku unggulan (5 besar) dalam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Sedangkan buku kumpulan cerpennya yang telah terbit, antara lain Sebelum Tertawa Dilarang (Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, 2004), dan Badai Laut Biru (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004).
Ahmadun kini tinggal di Villa Pamulang Mas II Blok L-3 No.11, Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten, Indonesia. Hp/wa: 081315382096 dan 087771822278. Pin BB: 28A9C936 dan 53BDD236. Email: ahmadun.yh@gmail.com, dan ahmadun21@yahoo.com . Informasi tentang aktivitas dan karya-karyanya dapat ditemukan melalui www.google.com, dan www.yahoo.com. ***

Foto: www.republika.co.id

Related posts

Leave a Comment

20 + nine =