Murad Si Udin

Cerpen Yusrizal Firzal

“Mak, Udin pingin terkenal” Suara itu timbul tenggelam dalam desiran minyak panas. Amak yang sedari tadi membolak-balik pisang kembang tiga yang berenang dalam minyak panas, menoleh. Memandang heran ke wajah melas di hadapannya. Wajah polos penuh koreng itu naik turun mengikuti irama nafas yang tak beraturan. Aroma bau angik menyeruak seiring kehadirannya. Ditingkahi nyanyian riang pisang dalam penggorengan.

Merasa tidak mendapat acuh dari amak yang kembali menyerok isi kuali, Udin memperkeras suaranya.”Mak, dengar ndak sih. Udin pingin terkenal!” kali ini dengan bibir lebih maju, dekat ke telinga amak. Tubuhnya mencondong dengan sedikit jingkatan.

Amak masih saja tak mengindahkan Udin. Jidatnya mengerinyit disapu hawa panas yang mengepul dari kuali. Setelah mengangkat dan memindahkan pisang goreng ke nampan, amak mematikan kompor. Tangannya menggelar secarik koran bekas di lapak. Meletakkan beberapa potong gorengan—lengkap dengan kerak, membungkusnya, kemudian memasukkannya ke kantong plastik. Seorang pemuda dengan helm yang lekat, membeli gorengan.

Amak kembali menghadapkan wajah ke Udin, sesaat setelah memberikan uang kembalian. Dikucek-kuceknya mata dengan celemek yang setia menemaninya. Di luar, matahari baru saja kembali keperaduannya. Meninggalkan jejak merah keemasan di kaki langit. Memayungi pengendara yang hilir mudik di jalan H. Agussalim. Jalan sawahan, demikian nama lainnya. Disesaki pengunjuk rasa ketika berdemonstrasi di depan gedung bulat telur,-tempat wakil rakyat kota Padang bersidang.

“Ada apa?” Amak meletakkan pantat di kursi panjang. Sebuah meja terbujur kaku di depan mereka. Terdengar jeritan kursi menahan tubuh amak.

“Udin ingin terkenal. Seperti Justin Beiber, atau Briptu Norman, mak. Bisa masuk TV dan punya banyak uang”.

”Udin, Udin. Ada-ada saja pikiranmu. Pulang sana, mandi dan siap-siap pergi mengaji ke Masjid. Jangan lupa suruh Uni ang cepat ke sini!”

Udin ngeloyor pergi, setelah mencomot sepotong goreng. Amak hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Udin, anak bontotnya itu. Ia teringat kembali cerita Buk Ros, wali kelas Udin.

Kala itu, Buk Ros mengadakan percobaan tentang bahaya minuman beralkohol terhadap kesehatan. Dipersiapkanlah dua ekor cacing, segelas air putih, dan segelas air yang mengandung alkohol. Cacing pertama dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air putih. Cacing itu tetap hidup. Kemudian cacing kedua dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air yang mengandung alkohol. Beberapa jenak kemudian cacing itu menggelepar, mati.

Ketika Buk Ros meminta murid-muridnya berkesimpulan, seluruhnya bersepakat dalam simpulan yang sama. Meminum minuman beralkohol dapat merusak kesehatan, bahkan bisa menyebabkan kematian. Namun tidak dengan Udin. Udin memiliki kesimpulan sendiri. Jika kita minum minuman beralkohol, maka akan terbebas dari cacingan.

Amak tersenyum geli mengingat itu. Udin memang berbeda dengan keempat kakaknya. Lugu, manja, banyak akal, kadang jahil terhadap kakak-kakaknya. Lamunan Amak mati seketika, begitu seorang perempuan muda yang menggamit bocah kecil masuk membeli gorengan.

***

Udin mulai lagi, begitu Amak dan Eli pulang dari lepau. Malam telah sempurna melingkupi bumi. Dinginpun turun menggerayangi permukaan bumi. Sesekali terdengar raungan motor yang melintas.
“Mak, ooi Amak. Habiskah semua gorengannya, Amak sayang?”
“Alhamdulillah. Tadi tinggal dua potong. Amak berikan ke Habib yang masih bermain di beranda rumah bersama ayah dan bundanya. Tumben, gaya bicaramu seperti penyair, Din,” raut wajah amak menyiratkan keheranan.
“Iya tuh mak, seperti Benny Arnas saja.” Eli ikut menimpali.
“Benny Arnas? Siapa dia Eli, amak belum pernah mendengar namanya”
“Ha… ha… ha… Uni, uni. Mana tau amak dengan nama itu. Amak sayang, Benny Arnas itu, kemenakan mak etek”.
“Mak etek yang mana?”
“Itu, mak etek, kakak dari emaknya, ha… ha… ha…”

“Huss, ngaco kau Udin. Amak masih juga kau kelakari. Mak, Benny Arnas tu seorang cerpenis terkenal. Itu lho mak, yang bikin cerita pendek. Eli suka dengan cerita-ceritanya, mak. Kadang, diselipkannya kalimat-kalimat seperti yang diucapkan Udin tadi. Eli punya buku kumpulan cerpennya, mak.”

“Ooo, jadi kalau Udin sering bicara kayak tadi, Udin bisa terkenal ya, Uni? Amboii cantik nian Uni Eli kalau pakai baju merah ini!” Udin menyentuh pelan pundak Eli. Yang disentuh, tanpa terasa hidungnya mengambang.

“Tuh, kan? Mulai lagi anak amak nih. Kenapa sih beberapa hari ini, kamu ngotot ingin terkenal? Kamu kira gampang jadi orang terkenal?”

“Kan enak mak, bisa masuk tv, dielu-elukan, punya banyak uang, punya…”
“Sudah-sudah. Dah malam, ayo tidur. Besok kamu piketkan di sekolah?”
“Ahh, amak.” Dengan air muka kecewa, Udin mencium tangan Amak, sesaat kemudian masuk ke kamar.

Amak yang memandangi punggung Udin yang kemudian hilang di ceruk kamar, menghela nafas panjang. Memandang wajah Udin, menampar ingatannya. Wajah itu mirip sekali dengan wajah mendiang suaminya yang meninggal hampir setahun yang lalu. Gula mengerogoti nyawa suaminya pelan-pelan. Meninggalkannya dengan lima orang anak, di lepas magrib ketika syawal menginjak hari kedua. Tiga orang anaknya telah berkeluarga dan menghadiahinya dua orang cucu. Sesekali ada jua mereka itu menjenguknya.

Malam melarut. Pegal-pegal setelah membereskan perangkat jualan, mulai terasa. Malam itu, amak berangkat keperaduannya membawa tanya. Mengapa Udin begitu ngotot menjadi orang terkenal? Meninggalkan perangaikah? Ditepisnya pikiran itu, dengan sepotong doa.

***

“Jadi artis saja kau, Din,” usul Jen, teman sebangku Udin di kelas. Sore itu mereka terkapar di bawah kerindangan mahoni, dekat lapangan bola. Terengah-engah. Udin baru saja menyatakan keinginannya.

“Artis apaan, lihat tu tampangnya. Pas-pasan,” jegal Roni.
“Ha… ha… betul kau Ron. Lihat tampangnya, kayak tekong kena parok,” tambah Medi.
“Penyok dong!” sela yang lain yang diikuti tawa membahana.

Udin nyengir mendengar kelakar teman-temannya. Membiarkan dirinya menjadi bahan pembicaraan di tengah penat yang menghajar.

“Atau kau pinjam saja HP abangmu, berlagaklah kau seperti bintang film India. Nanti biar aku yang membantu mengunggahnya ke youtube,” usul Ujang. Kakaknya pemilik warnet yang sering dikunjungi Udin.
“Wuihh… seperti Briptu Norman dong,” celutuk yang lain.

“Seperti ini,” sela Medi yang langsung berdiri menirukan aksi Briptu Norman goyang Chaiyya-Chaiyya, yang kembali disambut riuh tawa. Udinpun ikutan tertawa.

“Gini saja, Din,” kata Maman yang duduk di sebelah Udin sembari menepuk pundaknya. Mencoba serius.

“Kau pergi ke Banda Bakali, cari batu yang agak aneh bentuknya, kemudian…”

“Tunggu.. tunggu. Maksudmu seperti Ponari, dukun cilik itu? Ndak.. ndak.. Ada ada saja kau Man. Masak kau suruh aku jadi dukun?”

Selaan Udin itupun kembali menyeruakkan tawa di antara mereka. Kelakar mereka usai begitu hujan datang menghajar sore. Alih-alih pulang, mereka malah kembali ke lapangan. Mengulang permainan si kulit bundar, di bawah tusukan-tusukan hujan yang mendera. Sejenak keinginan Udin lumer dalam genangan air yang membentuk kubang.

Namun tidak malam harinya. Keinginan itu kembali menggebu, memutar kincir-kincir otaknya. Beragam cara terlintas dalam pikirannya. Namun terpatahkan sendiri. Hingga pada suatu titik. Ia mendapatkan ide. Cemerlang, setidaknya menurutnya. Malam itu, telah putus ketetapan hatinya.

***

Sore itu, matahari melunak. Jalanan pasrah disetubuhi makhluk berangka besi berkaki karet, melenguh dalam tiap geraknya. Tak ada unjuk rasa, pun dengan kecelakaan. Tidak juga raungan sirine yang mengawal pejabat, yang harus diberi jalan. Namun kenderaan melambat, sebagian bahkan berhenti di suatu titik. Semua pasang mata tertuju ke sebuah tower.

Ada yang aneh di tower itu. Tidak. Tower itu tidak patah. Seseorang tengah berada di atasnya. Bukan. Bukan teknisi yang melakukan perbaikan. Tapi, seorang bocah. Dengan mengaitkan satu tangannya ke tower, bocah itu menantap jauh ke bawah. Mencari sesuatu di tengah kerumunan yang mulai memadati area tower.

“Hei, turun. Cari mati kau!!!” teriak lelaki paruh baya dengan kedua tangan mencorong di depan mulut.

“Ayo nak, turun!” sahut yang lain.

Makin lama makin banyak saja suara yang menyahut. Gaduh. Seorang bapak malah mengacung-acungkan uang lima puluh ribuan. Merayu, menyuruh turun. Namun yang disahuti tak merespon. Terus mengamati kerumunan. Mencari sesuatu.

Amak yang sedari tadi membedaki pisang dan ubi -calon pengantin garing dalam kuali panas, segera keluar dari lepau begitu mendengar kegaduhan. Di ujung jalan dilihatnya kerumunan. Dalam sangkanya telah terjadi kecelakaan. Namun begitu ia hendak kembali masuk, seseorang tergesa menuju ke arahnya.

“Mak, Udin mak.”

“Kenapa Udin, ditabrak?”

“Tidak mak, Udin memanjat tower.”

“Hah! Tolong jaga lepau, amak akan ke sana. Sekalian tolong matikan kompornya,” seru amak tergopoh-gopoh sembari memperbaiki saruang jao yang melingkari pinggangnya.

***

Malam itu rumah amak terasa lebih sempit, disesaki tetangga. Bukan. Mereka datang bukan untuk melayat kematian Udin. Tapi ingin mendengar pengalaman Udin saat memanjat tower. Di depan mereka, berita kenekatan seorang bocah memanjat tower baru saja menghiasi layar televisi. Dalam berita itu, si bocah berkata dengan suara lantang:” Mak, Udin masuk TV. Udin jadi orang terkenal, mak!”

Di dapur, dalam sebuah panci, sepasang calon pengantin– pisang dan ubi, telah kehabisan bedak. Luntur.

***

Padang, 16 Mei 2011

Penulis adalah penikmat sastra. Lahir dan tinggal di Padang. Belajar menulis cerpen dengan membaca dan mengoleksi buku kumpulan cerpen. Beberapa cerpennya pernah dimuat di media.

Related posts

Leave a Comment

fifteen − fifteen =