ESAI 

Sastra Kampung Halaman

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pelayan sastra

 Kampung halaman, secara sederhana, memiliki pengertian sebagai kampung tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Warna atau karakter kampung halaman akan menjadi kental ketika seseorang lahir dan tumbuh di kampung yang sama. Karakter tersebut akan mencair ketika seseorang mengalami migrasi (perpindahan) yang cepat dengan frekuensi yang tinggi, dalam lingkungan kampung atau kota yang berbeda-beda.

Dalam kasus migrasi yang tinggi seperti itu, seseorang bahkan dapat tercerabut dari akar kampung halamannya, akar sejarahnya, akar kulturnya, sehingga merasa tidak memiliki kampung halaman. Misalnya saja, seseorang yang lahir di Semarang, dari ibu Bugis dan bapak Batak. Pada usia dua tahun, orang tua mereka harus membawanya ke Jayapura, dan pada usia SMP harus pindah lagi ke Jakarta sampai besar. Dia akan bingung ketika ditanya, di manakah kampung halaman Anda?

Makin tingginya migrasi penduduk akan membuat makin banyaknya manusia diaspora (perantau). Dalam kasus di atas, sang ibu adalah diaspora Bugis karena lahir dan besar di Bone, Sulawesi Selatan, dan sang ayah adalah diaspora Batak karena lahir dan besar di pesisir Danau Toba, Sumatera Utara. Keduanya bekerja di Semarang, menikah di Semarang, dan melahirkan anak lelaki yang tak punya kampung halaman.

Tepatnya, “anak diaspora” hasil perkawinan antar-etnis itu adalah anak Indonesia. Kalau dia merantau ke luar negeri maka akan menjadi diaspora Indonesia. Ia baru akan merasa memiliki kampung halaman justru ketika tinggal di luar negeri: kampung halamannya adalah Indonesia. Jika kampung halaman menjelma kerinduan yang tersembunyi, maka kerinduannya adalah pada tanah airnya. Dan, ketika ia menjadi penulis karya kreatif (puisi, cerpen, novel), yang akan muncul pada karya-karyanya adalah bersit-bersit kerinduan pada tanah airnya itu.

***

 

 

Bagi pengarang yang memiliki kampung halaman (indikasi: merasa perlu mudik atau pulang kampung pada hari lebaran atau libur panjang lainnya), kampung halaman menjelma menjadi “kerinduan tersembunyi” dan kenangan masa kecil yang sulit dilupakan. Inilah yang kemudian menginspirasi, menjadi sumber inspirasi, atau tanpa sengaja mewarnai karya-karya mereka. Kampung halaman yang kaya warna alam dan sosial budaya akan menjadi sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya.

Warna kampung halaman menjadi bersitan kerinduan dan kenangan masa kecil bagi banyak pengarang Indonesia. Para pengarang urban yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek), misalnya, umumnya masih membawa warna kampung halaman mereka, dan bukan warna Jakarta.  Begitu juga pengarang yang urban ke kota besar lain. Dalam Laskar Pelangi, misalnya, Andrea Hirata begitu fasih mengisahkan masa kecil dan kampung halamannya. Sajak-sajak Sapardi banyak diwarnai alam dan kenangan masa kecil ketika tinggal di kampung halamannya, Solo. Begitu juga sebagian sajak Abdul Hadi WM (Madura). Bahkan, Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya membawa metafor, tapi juga pola mantra kampong halamannya (Riau), pada sajak-sajaknya.

Pada kenyataannya memang tidak banyak pengarang sastra Indonesia yang secara kultural berakar pada Jakarta, atau Betawi, misalnya. Bahkan, hal ini terlihat pada pengarang yang lahir dan besar di Jakarta. Sehingga, cerpenis berdarah Betawi, Khairil Gibran Ramadhan, yang banyak menulis cerpen berwarna Betawi dalam bingkai sastra Indonesia, menjadi istimewa dan cepat mendapat tempat. Cerpenis berdarah Betawi lain, Zen Hae, lebih banyak masuk ke dalam sastra arus utama (mainstream) satra Indonesia yang elitis dan cenderung universal.

Afrizal Malna, dengan imaji-imaji urban industrialnya, mungkin lebih mewakili imaji wajah urban Jakarta dibanding penyair lain. Tetapi, pengikut terpentingnya, T. Wijaya, justru orang Palembang dan bersastra di Palembang. Pada sedikit puisinya, Rendra juga pernah mengangkat persoalan Jakarta, seperti dalam puisi “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”. Begitu juga F. Rahardi dalam puisi “Pidato Akhir Tahun Seorang Germo”.

Di luar Jakarta, tentu banyak juga sastrawan yang merawat persoalan dan imaji-imaji kampung halaman, seperti A.A. Navis dalam Robohnya Surau Kami (novel), Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk (novel), Umar Kayam dalam Jalan Menikung (novel), D. Zawawi Imron dalam Madura Akulah Lautmu (puisi), Linus Suryadi AG dalam Pengakuan Pariyem (prosa lirik), dan Oka Rusmini dalam sebagian besar cerpen dan novelnya. Dapat kita sebut juga Darmanto Jatman, Fakhrunnas MA Jabbar, Ibrahim Sattah, Arafat Nur, Mario F. Lawi, dan banyak lagi – perlu penelitian seksama untuk ini.

Dengan membaca karya-karya mereka, sambil mencermati realitas yang ada dan berkembang di berbagai daerah di Indonesia yang kaya budaya dengan berbagai persoalan sosial yang makin kompleks, dapat dikatakan bahwa kampung halaman merupakan sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis bagi para penulis karya sastra Indonesia. Karena itu, sesuai dengan prinsip bahwa lebih baik menulis yang tampak di mata dan dekat di hati, lebih baik kita mengangkat kampung halaman kita sendiri, daripada mengangkat persoalan di tempat yang jauh yang belum tentu kita pahami. Dengan mengangkat kampung halaman, setidaknya karya kita akan memiliki keunikan persoalan, serta keunikan latar tempat dan lingkungan sosial-budaya.

                   ***

 

Pada suatu masa pernah ada wacana, bahwa jika ingin sukses seorang pengarang harus hijrah ke Jakarta. Di Jakarta ada Taman Ismail Marzuki (TIM), pusat kesenian yang dianggap menjadi kiblat perkembangan sastra Indonesia. Di Jakarta juga berkantor majalah sastra Horison dan surat-surat kabar yang memiliki rubrik sastra, yang juga menjadi representasi perkembangan sastra Indonesia. Dengan tinggal di Jakarta, seorang penulis lebih mudah mengakses semua itu, tampil di sana, dan dikenal secara nasional. Banyak penulis yang hijrah ke Jakarta. Ada yang sukses, ada pula yang gagal.

Akan tetapi, sejak akhir dekade 1990-an, dekonstruksi (penghancuran citra) terhadap pusat-pusat sastra itu terjadi. Gerakan “anti-pusat” mengembang di banyak daerah. Mindset  tentang pusat dan kiblat sastra pun berubah. Banyak penulis tidak lagi menganggap penting hijrah ke Jakarta. Dan terbukti, banyak penyair, cerpenis, maupun novelis, yang tetap tinggal di daerah dan sukses. Dan, mereka tetap dekat dengan sumber inspirasi: kampung halamannya. Sebut saja, misalnya, D. Zawawi Imron, Gus tf Sakai, Oka Rusmini, D. Kemalawati, Fakhrunnas MA Jabbar, Isbedy Stiawan ZS, dan seabrek nama lainnya.

Pada era sekarang ini, ketika teknologi komunikasi dan informasi sudah berkembang sedemikian rupa, seorang penulis, untuk dapat sukses dan dikenal luas, kiranya tidak perlu lagi hijrah ke Jakarta. Memublikasikan karya di media-media massa Jakarta memang tetap penting, agar karya dapat terakreditasi dan menyebar secara nasional. Tetapi, hal itu dapat disiasati dari kampung halaman, dengan selalu mengandalkan kualitas karya.

Kalau karya kita bagus, produktif, dan dapat menembus media sastra nasional, serta rajin membukukan dan menyebarkannya; kita pun pada akhirnya akan berpeluang untuk diundang tampil di TIM dan acara-acara sastra berskala nasional, bahkan internasional, kemudian tidak mustahil akan tercatat dalam buku sejarah sastra Indonesia.***

 

            Jakarta, 14 April 2016

 

  • Prasaran untuk sarasehan dalam rangka Kemah Sastra 2 di Perkebunan Teh Medini, Kendal, 22 April 2016.

Related posts

Leave a Comment

3 − 1 =