Agenda 

Topeng Arjuna

Kasim MD, adalah nama pena dari Rifan Nazhip. Lahir di Medan pada 18 Mei 1972. Mulai menulis Cerpen dan Puisi sejak 1989. Tulisannya banyak di muat di beberapa media massa. Kini tinggal di Lebong Gajah, Sematang Borang, Palembang. Sehari-hari bekerja sebagai seorang karyawan swasta.

 

Desakan teman-teman agar aku mencalon bupati tahun ini, kutanggapi biasa saja. Mendengar kata pilkada saja aku ngeri, apalagi harus benar-benar berkecimpung di dalamnya—tentu saja bukan sebagai pemilih, tapi orang yang dipilih. Akan banyak uang keluar. Akan banyak perbuatan asusila—begitu anggapanku—-seperti jamak terjadi

“Ayolah! Kau cocok. Masyarakat senang sama kamu, Rojak. Kau tak hanya pengusaha, juga dermawan. Tahu agama lebih dari kami-kami. Bukankah sekali dua kau sering diundang ceramah?”

Aku tertawa. “Aku tak ingin terjebak dalam lingkaran setan. Aku ingin menjadi diri sendiri. Menjalankan kerja sesuai hati nurani.”

“Tapi apa tak kau pikir mereka yang mencalon itu akan merusak kota ini? Kau turut berdosa lho, sudah memiliki kecakapan dan modal, juga kepercayaan masyarakat, tak berani mencalon. Hidup ini harus dirubah ke arah lebih baik. Kalau masalah dukungan partai, aku punya beberapa teman dekat yang cukup kuat.”

Dia menatapku dengan pancaran licik. Kukibaskan saja tangan, lalu berlalu menuju toilet.

Semakin banyak teman-teman yang mendesak, semakin takut aku mencalon bupati. Bermimpi pun tak! Aku menjauh dari pergaulan. Pertemuan-pertemuan bisnis, stagnan. Urusan kantor kuserahkan kepada bawahanku. Kalau perlu apa-apa, misal untuk tanda tangan, merekalah yang datang ke rumah. Kata istriku, aku seolah pensiunan. Kutahu itu sindiran. Tapi aku menanggapinya sebagai candaan. Aku tertawa lebar.

Hingga entah datang dari mana dan maksud apa, tiba-tiba di senja yang mendung, seseorang mengetuk pintu rumah. Kebetulan seluruh keluarga sedang sowan ke rumah mertua selama tiga hari. Malas-malasan kuseret langkah. Siapa lagi yang ingin bertandang di senja yang lebih bersahabat dengan kantuk ini?

Seseorang di depan pintu langsung menyalami tanganku erat-erat. “Calon bupati, Selamat datang di arena pertarungan.”

Aku tak berniat menyuruhnya duduk. Dia juga tak meminta masuk. Dia hanya mengatakan datang sebagai utusan, ingin meyakinkanku untuk mencalon bupati. “Ini saya berikan topeng Arjuna, pemberian seorang pintar dari gunung. Agar kau bisa melihat lawan-lawan politik kita. Betapa busuknya mereka.”

Kutimang-timang topeng pemberiannya. Kemudian kuserahkan kembali dengan wajah tak peduli. “Orang pintar dari gunung? Lutung atau dukun urut?” Sengaja pembicaraanku ngawur. Orang ngawur pasti tak disenangi lawan bicaranya. Tapi dia yang di depanku dengan wajah seperti salesman, berwajah dan berhati badak. Demi uang dan kekuasaan, orang harus bisa menjadi badak.

Melihat dia tak menjawab, aku berkata, “Untuk apa saya mengetahui betapa busuknya lawan politik? Anda salah. Saya apatis urusan itu. Artinya, saya tak tahu menahu dan tak mau tahu dengan politik. Saya tak ingin menjadi politikus, kalau-kalau nanti memelihara banyak tikus. Berabe, kan? Istri dan anak-anak saya bisa sowan ke rumah mertua lebih lama. Mereka takut sama tikus.”

“Politik tak sejahat itu, Pak. Percayalah, anda ditunggu sebagai ratu keadilan.”

“Saya bukan perempuan!” Kurapatkan daun pintu. Ujung sepatunya cepat menyangga.

“Satria piningit!”

“Saya tak paham! Saya bukan satria! Apalagi satria baja hitam. Lagi pula saya tak ingin dipingit-pingit.” Meskipun kesal, aku sedikit bercanda. Tak baik marah-marah di depan tamu. Tamu adalah raja.

“Permisi!” Dia ngeloyor. Wajahnya tetap cerah, biar pun mungkin bosan dengan cara bicaraku yang ngawur. Sementara aku mematung seperti dihipnotis. Aku juga tak mampu menolak, ketika sebelum ngeloyor, dia menggenggamkan erat-erat topeng itu ke tanganku.

Kuseret langkah kembali ke kamar. Kepalaku terasa berat. Kubuang topeng itu ke atas kasur.

Kulupakan saja dia. Tapi semakin kulupakan, bertambah besar hasratku mengenakannya. Ini gila! Kendati aku seratus persen tak ingin terjerumus—itu kataku—ke dunia politik, setidak-tidaknya dengan mengenakan topeng itu, tanpa sadar aku akan terserat arus. Bagaimana kalau nanti aku rela mencalon bupati setelah mengenakan topeng itu?

Aku menjauh dari kamar. Tapi kembali melangkah mendekati kasur. Aku menjangkau remote televisi ingin mengganti acara seremonial memuakkan itu. Kiranya tanganku malahan menggapai topeng itu. Ah, biarlah mencoba sekali, tak apa-apa. Lucu juga mungkin memakai topeng sambil menontot televisi.

Aku langsung terbelalak. Bukankah dia yang di televisi itu seorang terpandang? Wajahnya seperti iklan, bertebaran di koran-koran. Kenapa seorang terpandang berlaku merendahkan diri seperti itu? Berbuat jorok? Sialan!

Aku berlari ke kamar mandi. Isi perutku tumpah semua di wastafel. Tak kusangka orang itu nekad membawa tahi berdus-dus dalam bak truk. Dia tertawa sambil berkata bahwa itu adalah tahi yang disimpannya bertahun-tahun. Dengan bangga pula dia berdiri di podium, berbicara yang melulu tak jauh berhubungan dengan tahi dan yang jorok-jorok. Ratusan orang di depannya menonton antusias. Terkagum-kagum. Beryel-yel sambil meneriakkan kata-kata penghormatan.

Puas membuang bersendok ludah di podium, dia turun. Tahi dalam kardus dibagi-bagikan kepada penonton. Mereka bersalam-salaman. Lampu blitz bertebaran serupa kembang api. Dia benar-benar berubah ibarat ratu dansa.

Teringat aku kepada Kyai Jenang, dulu sekali saat aku mengaji di surau. Katanya, di setiap harta manusia itu selalu ada bagian orang lain. Harta ibarat makanan, yang dinikmati sampai kenyang. Setelah kenyang, perut akan mengolahnya menjadi darah dan vitamin tubuh. Yang tak berguna dibuang sebagai ampas alias tahi. “Nah, bila kalian makan banyak, mau tidak berminggu-minggu tidak buang  air besar?”

“Tidak! Perut bisa gembung dan meledak,” jawab kami, murid-muridnya.

“Seumpamanya saya memberikan engkau sebungkus roti, maukah engkau membaginya kepada Bakir?” Kyai Jenang menunjuk dadaku.

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku tak suka sama Bakir. Selain pelit, dia  jahil. Lagi pula, aku sedang lapar. Perutku berbunyi nyaring. Sebungkus roti belun tentu cukup untuk orang yang sedang lapar.

“Bagaimana, Rojak?” Kyai Jenang tak sabar menunggu jawabanku.

Pelan sekali mulutku membuka, “Tidak, Pak! Bakir, orangnya pelit!” Seisi surau tertawa, termasuk Kyai Jenang yang hampir melompat gigi palsunya.

Dia kemudian memberi petuah lagi, sehingga aku mafhum, dan memberi Bakir sepotong roti, yang hanya berupa angin. Seisi surau kembali tertawa.

Puas mengenang kisah bersama Kyai Jenang, segera kucopot topeng Arjuna itu. Sayang sekali dia telah menyatu dengan wajahku. Kucongkel sisinya dengan ujung obeng sampai pipiku berdarah, topeng itu tetap bertahan. Susah-payah aku menjangkau kasur. Aku kemudian terkapar sampai siang menjangkau dari jendela dan dering telepon seperti ratusan lonceng memekakkan telinga.

Telepon kuangkat. Dari kantor mengabarkan sebentar lagi seseorang mengantarkan berkas untuk kutandatangani. Buru-buru kuraba wajahku. Tak lucu bila orang kantor datang, aku masih memakai topeng. Apa aku ini sedang berlakon wayang orang?

Ajaib! Tak ada topeng di wajahku. Topeng itu entah mengapa sudah ada di meja rias istriku. Aku tersenyum lega.

***

Tiga hari tanpa keluarga, tanpa teman—kecuali sekali-dua orang kantor—aku hanya bersama topeng sialan yang mulai kusayangi itu. Tivi yang menjual wajah-wajah petarung pilkada, membuka lebar mataku. Membuka mata batinku bahwa kota ini harus hijrah. Harus ada yang bisa merubah kebobrokan sebelum semua terberangus, terbakar menemui abu.

Selain rajin membagi-bagi tahi, para calon bupati itu juga sering berganti-ganti rupa. Ketika menghadap ke pemujanya, wajahnya seperti ayam baik hati. Ayam kinantan yang menarik hati. Tapi ketika dia melaju meninggalkan pemujanya, tawanya berubah lolong serigala. Wajahnya berbulu, mulutnya bertaring. Persis serigala.

Sekali malam aku juga melihat acara debat mereka yang tak lain hanya suara gonggongan, auman, ringkikan, atau suara-suara monyet kelaparan. Mereka mengabarkan tentang keburukan-keburukan. Membanggakan tahinya yang telah dibagi-bagi. Membanggakan kotoran harta untuk fakir miskin. Memberi tahi kok dipertontonkan!

Aku mulai tertarik anjuran teman-teman. Hidup memang tak boleh apatis. Bila sudah bosan melihat kebobrokan, tak boleh berpangku tangan. Melihat pemilu yang penuh tipu muslihat, tak mesti harus menjadi golput. Menjadi golput tak musti membuat perubahan, karena masih banyak yang tetap mencoblos dan memenangkan yang terburuk dari yang buruk.

Berdosa rasanya bila membiarkan kondisi ini tak berubah. Aku mempunyai harta, kenapa takut mengeluarkannya demi menjadikan kota ini aman sentosa, adil dan makmur? Aku tak hanya didesak teman-teman mencalon bupati, tapi didukung massa yang menganggapku selama ini bersih. Aku orang bebas yang mustahil memiliki perpanjangan tangan untuk mempergunakan harta negara demi kampanye. Apalagi? Lagipula soal agama, kurasa aku lumayan paham. Dan ini bukan sombong, lho!

Masih mengenakan topeng Arjuna, aku menelepon Saiful.

“Ful, lagi di mana?”

“Lagi di cafe sama teman. Ngopi! Jarang kelihatan, ke mana saja? Bagaimana tawaran kami? Seorang pentolan partai sepertinya tertarik pada jualanku. Aku menjual namamu dimajukan untuk mencalon bupati. Bagaimana? Dia siap mendukung kalau kau maju. Tak perduli kau awalnya dari calon independen. Dengan kendaraan partai, diharapkan semua berjalan mulus. Kapan lagi berbuat baik untuk kota ini?”

“Aku sudah berpikir untuk mengiyakan desakan kalian.”

“Nah, itu bagus! Kapan kita bisa bertemu? Ya, rapat khususlah dengan orang partai. Mumpung masih ada waktu sebelum pendaftaran ditutup.”

“Nantilah!”

Klik! Telepon terputus.

* * *

Hilang sudah wajah cemberut istriku, ketika selepas makan malam yang terlambat, aku mengatakan akan mencalon bupati. Telah berpuluh bulan purnama aku tak merasakan pelukan romantis yang tulus, saat dia tiba-tiba memeluk leher dan mengecup ubun-ubunku, sebagai bukti betapa girangnya dia melihat sosok suaminya yang optimis—tentu tak lepas dari bayang-bayang menjadi istri bupati—telah kembali. Rul dan Kino, yang asyik menonton pertandingan sepak bola di tivi, sekejap menghambur mendekatiku. Aku yakin bayang-bayang menjadi anak bupati, telah menggerayangi otak keduanya.

Akan banyak pakaian mewah istriku. Akan banyak perhiasan berkilauan. Berpelesir ke mana-mana. Mengunjungi salon. Ikut perkumpulan ibu-ibu dan istriku selalu dipilih menjadi ketua. Sebelumnya dia hanya menjadi anak bawang, bahkan kurang dikenal dalam pergaulan ibu-ibu.

Akan terbeli tongkrongan bagus bagi dua anakku. Bisa berpelesir ke mana-mana. Mengunjungi tempat fitness demi mewujudkan impian; perut sixpacks atau kalau bisa tenpacks. Gadis-gadis muda merubung seperti laron. Berusaha menggoda agar dipilih menjadi bahan rempeyek laron.

“Tapi aku harap, buang semua itu dari otak kalian!” kataku dengan tegas meskipun sambil tersenyum.

“Membuang apa?” Mereka bertiga heran. Mungkin apa yang kubayangkan akan sama seperti yang mereka bayangkan, tak benar-benar sama.

“Papa akan menjadi bupati yang loyal. Jangan nanti setelah Papa menjadi bupati, kalian malah ngeyel ingin menjadi sebenar-benar anak bupati. Hidup mewah, banyak uang. Papa niatnya membangun, bukan ingin memperkaya keluarga kita.”

Istri kembali memelukku. Tapi kali ini di bagian pinggang. “Kita semua tetap sederhana kok. Yang penting Papa tetap menjadi kepala rumah tangga yang optimis.”

Aku tersenyum  puas. Aku berjalan menuju kamar dan mengenakan topeng Arjuna. Istri dan kedua anakku menyusul. Mereka tertawa ngakak karena merasa aku mirip wayang orang. Selama beberapa hari ini, mereka tak bertanya-tanya pasal topeng itu, karena aku seorang pengoleksi barang antik. Wajar topeng itu menjadi salah satu koleksiku.

Segera kubuka lemari, mencari celana paling bagus, kemeja paling licin, jas paling mahal, kaos dan sepatu bermerk. Aku pun mengenakan semuanya dengan tergesa. Dengan dada berdegup-degup. Perlahan berjalanlah seorang calon bupati menuju cermin. Aku ingin melihat gayanya yang memesona.

Namun hatiku mendadak kecut. Kulihat sosok dicermin tak lebih dari seorang berbadan bongsor dengan kepala berbentuk ular kepala dua.  Aku terjajar ke dinding.

“Papa! Papa! Sakit jantung Papa kumat lagi!” Itu jeritan istriku.

 

Related posts

Leave a Comment

17 − nine =