puisi 

Puisi-Puisi Alex R. Nainggolan

Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Satlak Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kelurahan Gondangdia Kec. Menteng Kota Adm. Jakarta Pusat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di sejumlah media. Bukunya yang telah terbit adalah Rumah Malam di Mata ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, 2016), dan banyak antologi.

 

Longitude, Lattitude

 

mestinya selalu kuhampiri dirimu, setiap senja. tapi alamat dirimu, selalu gagal untuk diberikan tanda. maka aku tentukan kordinat derajat, mencarimu. supaya kenangan tidak menjelma jadi banjir bandang yang besar. supaya masih ada catatan dari percakapan kita, meskipun hujan turun sepanjang hari dan cahaya kota semakin kecil.

mendadak alamat dirimu yang jauh terganti dalam sejumlah angka, yang mesti ditafsirkan oleh mesin pencarian dari data jaringan. ah, apakah betul engkau di sana? bersusah payah menulis puisi dan menyibak masa kanak yang tak pernah tanak di dalam otak. lalu aku akan berselancar lagi, menempukan setiap serpih, berupaya untuk menyingkirkan segala pedih.

 

bagaimana jika aku yang akan tandang? lalu kita bertahan di suatu tempat sekadar menyimpan semua luka, menikmati bising kota dan cuaca yang sekejap berubah jadi cemeti. berupa duri di tenggorokanmu.

 

2016

 

Sebuah Minggu Buat Penyair

 

ia pun rebah di waktu yang senggang. mencuci ingatan, juga baju-baju yang terlanjur direndam. dan tak ada puisi yang hinggal di kepala. hanya sebuah televisi dengan film kartun warna cerah. sebenarnya ia ingin santai, atau barangkali pergi ke pusat kota. mengunjungi toko buku loak, menemui kata-kata usang. setelah itu merakitnya dalam puisi. tapi perutnya sakit, di remang tidurnya suara anak-anak berlarian. berkerumun lalu menjauhinya.

 

2016

 

 

 

Di Taman Menteng

 

rumah kaca memantulkan sisa cahaya

yang pengap

kota menjulurkan lidahnya

dan seorang perempuan dengan lipstik cerah berjalan

melawan gerimis atau juga sisa tangis

 

langit redup. sepasang kekasih sibuk menekan tuts di telepon genggam

aku mematung mencari tempat teduh

dari aroma kuliner yang memanjang

 

rumah kaca masih saja meantulkan cahaya

mungkin sisa usia

dari remah kota

yang tak sempat ditulis dalam sebuah berita

 

2016

 

Angin Bulan Desember

 

angin bulan desember jatuh mendingin. menyimpan uap dingin, dengan tergesa melipat kalender. kota tumbuh dan menjadi onak. mengunci masa kanak-kanakmu. tak ada yang berubah, seperti juga puisi yang menangisi sepi sendiri. sebentar lagi, suara terompet menyeret semua masalalu. sejarah meneteskan lagi darah. entah untuk siapa.

 

2016

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

15 − seven =