puisi 

Puisi-puisi Kurliyadi

Kurliyadi, lahir di kepulauan Giligenting Sumenep Madura, salah satu alumni pondok pesantren Mathali’ul Anwar Pangarangan Sumenep, menulis karya sastra berupa puisi, cerpen, novel, roman, pantun ,esai dan lainlain.dalam dua dua bahasa (Indonesia dan Madura) beberapa karyanya juga pernah dipublikasikan di media massa dan tergabung di sejumlah antologi bersama. Kini tinggal dan bergiat di Cirebon.

 

November

 

november pagi hari angka satu

membuka jendela, memandang jauh

hujan lirih datang perginya

tersisa bau musim,

puisi tak pernah selesai di layar komputer

segelas kopi adalah teman mengembarakan rasa jenuh

merumuskan kata luput dari sia-sia makna

 

apakah kenangan tetap tersimpan di otakmu?

atau dibuang jauh sebagai pelarian kekecewaan?

ahh, sekali lagi aku ingin menjadi surat takdir seorang penyair untuk puisinya,

puisi menjelma perempuan yang selalu mencintai segala kekurangan

melarang cemburu walau puisi lain lebih dulu kawin lari dengan keyakinannya sendiri

 

tak ada yang berubah

perjalanan mesti selesai

menjumlah kejadian,

menguras keringat tanpa pengampunan

ini jalan tempat di mana kita mesti menunda cinta

sebab yang tiada harus ada kembali sebelum segalanya pecah tak abadi

 

november tak ubahnya januari

sesingkat itu waktu menutup angka

memulai lagi dengan begitu tiba tiba

jika cinta adalah november, dan puisi adalah januari

maka begitu jauh perjuangan melewati hari hari yang cemas

melawan kata

kenangan dan luka

 

tanpa puisi cinta begitu sepi

tanpa cinta puisi tetap abadi

 

Keraton cirebon 2017

 

 

Di Gili

 

apa yang tersisa di sini?

yang aku tahu, tanah kering tandus

sapi owanan lupa jalan pulang sampai ke kandang

adakalanya orang-orang lebih menikmati hijarahnya ke kota-kota besar

menetap, tak ingin kembali ke pelukmu

walau menengok sanak saudara

 

wangi harapan ibu, tajin dan gettas berasa hilang di bawa angin laut

entah siapa lagi yang bisa meneruskan kemungkinan ini

sebab gadget dan hura sudah menjadi tradisi kebiasaan

entah dengan apa itu bisa kembali pada muasalnya

 

tanah ini adalah kepulangan, dimana orang-orang diperantauan akan pulang pada peluk tetanah

jangan ukur denyut nadi hartamu di tanah rantau

sebab jika nisan ibumu terkikis rayap dan usia

nyeri sangatlah pedih sampai hati

 

bila kau pulang atau sekedar datang,

lalu wasiat para nabi dan guri tua tidak lagi menjadi shalawat salam dari halaman ke halaman

surau surau kecil mulai sepi dari angin bacaan kitab taklim dan barzanji

 

aku kehilangan rasa keyakinan garam telah hilang asinnya di tanahku sendiri

ah, rumah besar bertembok batu marmar, pagar bersejajar gagah menghadap laut

lalu alamat nikmat manakah yang kau tahu akan hilang bila sudah lama tak kau sucikan,

sedang jauh di sana kau diburu hujan harta dan ditertawakan usia

yang mulai lanjut tergesa-gesa mengejar impian hampa

 

ingatlah pulang, jalan di sini sudah tidak lagi menyediakan penunjuk arah

atau sebuah permintaan  di mana sejuk rindang pepohonan tidak seperti masa kecil berambut kenangan

ramai teriakan anak-anak berlari mencari layangan putus

atau riang ibu menanti kedatangan ayah pulang dari laut

 

kau hanya pulau kecil, tercipta dengan  cara tuhan sendiri, indah

ajarkan beberapa bagian dari kesungguhan mengingat kuburan nenek moyangmu

jika mereka tidak terciptakan

maka bukan hanya namamu yang semestinya tak ada

segalanya tertutup rapi di pergelangan  doa doa

 

Gili genting 2017

 

 

Kalam

 

aku seperti isim mufrod tunggal sendirian

menangkarkan ambigunya naluri

menyiapkan cinta untuk kita tiduri sebelum segalanya dimulai

 

api makna selalu menuliskan beberapa alineanya

mencipta bagian rongga perjalanan kita

menengok ke belakang sudah banyak kenangan membiaki pohon rindu

berbalik menyayatkan lintasan tentang

bagaimana suatu hari aku sebabkan puisi ini aku tulis dalam mengingatmu

 

angin dan arahnya selalu  berdekatan

melewati bagian dari rasa hambar cuaca yang lazim

menumbuhkan nektar manis dalam balutan pelukanmu

ada nol karat membiaskan cahaya di reruntuhan puisi

sebab jika aku seperti kalimat hurup terakhir puisi ini

maka pada curam hatimu aku rela memetik sepi

untuk aku kalungkan dalam kata

sampai usia menulangkan airmata

sampai obat ciuman darimu adalah siksa

aku seperti kalimat hurup sendiri tak bermakna

menuliskan kata kata begitu singkat

namun penuh gairah,

hingga suara rindu terbenam terbawa duka

 

Cirebon 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

eleven − 8 =