CERPEN 

Mbak Jem

Nanda Insadani, yang bukan siapa-siapa ini lahir di Medan dan berzodiak Cancer. Gemar berpikir dan membaca. Karyanya dimuat di beberapa buku antalogi bersama dan media daring. Kumpulan cerpennya, Ketakutan Seorang Penulis Miskin (Penerbit Jejak, 2019).

 

Di ujung jalan, hiduplah seorang janda berumur dua puluh dua tahun beserta anak perempuannya yang sudah duduk di bangku PAUD. Bagi yang tidak tahu apa itu PAUD, maka izinkanlah saya untuk menerangkannya kepada Anda, bahwa PAUD merupakan akronim dari Pendidikan Anak Usia Dini. Setelah Anda tahu kepanjangan dari PAUD, Anda pun harus tahu pula bahwa usia putri dari janda itu adalah empat tahun.

Kemudian Anda pun bertanya-tanya, bagaimana bisa perempuan dua puluh dua tahun sudah mempunyai anak sebesar itu? Percayalah, anaknya tidak besar. Mimi—nama anak itu—memiliki tinggi 101 sentimeter dan berat 14 kilogram. Ah, barangkali maksud Anda adalah, bagaimana bisa perempuan dua puluh tahun telah berhasil menjanda dan memiliki putri berusia empat tahun? Baiklah, jadi begini.

Janda itu dikenal dengan panggilan Mbak Jem. Tolong bagi siapa saja untuk tidak menambahkan huruf-huruf tertentu setelah menyebut kata “Jem”. Mbak Jem merupakan putri bungsu dari mendiang Mbah Tiran yang mati dua tahun silam karena diseruduk babi hutan. Kisah kematian Mbah Tiran telah menjadi sejarah kelam bagi kampung kami. Banyak yang enggan mengingatnya kembali apalagi mengunjungi makamnya.

Bicara soal Mbak Jem, sang janda tersebut terkenal akan pesonanya yang tetap memancar dan memikat, bahkan banyak yang sulit mempercayai bahwa Mbak Jem sudah pernah melahirkan seorang anak. Apalagi Mimi, kalau diperhatikan lebih saksama, tidaklah mirip dengan ibunya. Itulah yang membuat mereka sulit percaya, terutama bagi penduduk baru.

Bagi penduduk lama, terutama ibu-ibu yang gemar mengunyah sirih, susuk adalah kunci Mbak Jem agar tetap terlihat cantik dengan bentuk tubuh yang menarik. Memang, anggapan itu belum terbukti, tapi apalagi yang dapat dipikirkan oleh orang tua kolot seperti mereka?

Kisah Mbak Jem sampai menjadi seorang janda kembang di kampung kami sebenarnya tergolong tragis. Beberapa tahun silam, sembilan bulan sebelum kelahiran Mimi, Mbak Jem memilih untuk dihamili oleh pacarnya sendiri. Pacarnya merupakan temannya sewaktu di SMA dulu. Lelaki itu bukan penduduk kampung sini, sehingga tak ada yang kenal siapa dia.

Kabar kehamilan Mbak Jem pun terdengar ke segala penjuru kampung, setelah beberapa detik diketahui oleh mendiang Mbah Tiran. Bagi yang keheranan soal peredaran kabar di kampung kami yang melebihi kecepatan koneksi 4G, tolong, berhentilah heran. Mulut-mulut warga di sini adalah peranti elektronik terbaik yang pernah ada.

Di rumah, Mbak Jem dimarahi habis-habisan oleh bapaknya yang duda itu. Bagi Mbah Tiran, kehamilan Mbak Jem yang di luar nikah telah menodai nama baik keluarga mereka. Maka, mau tidak mau, Mbah Tiran memaksa Mbak Jem untuk membawa pacarnya ke rumah dan esok harinya mereka harus dinikahkan.

Pernikahan Mbak Jem dengan kekasihnya bisa dibilang sangat sederhana dan cepat. Hanya ada seorang penghulu dan beberapa sanak famili, serta tak ada acara masak-masak. Tak ada tetangga yang hadir, apalagi warga kampung yang berlainan RT. Orang-orang di kampung menyebut pernikahan itu sebagai pernikahan kotor. Mereka tak mau menghadiri pernikahan kotor jika tidak ingin anak mereka kelak ketularan hal yang sama.

Siapa yang menduga, hubungan Mbak Jem dan suaminya tidak berjalan mulus. Rumah tangga mereka kerap diisi dengan adegan baku hantam dan perdebatan yang tak perlu. Saat Mimi berusia 2 tahun, pertengkaran mereka mencapai puncaknya. Dengan disaksikan orang banyak, di halaman rumah mereka yang juga rumah Mbah Tiran, Mbak Jem dan suaminya berkelahi sampai berdarah-darah. Saya masih ingat, waktu itu Mbah Tiran memaki menantu brengseknya itu dengan perkataan “dasar babi hutan!”. Beberapa jam kemudian, perceraian mereka segera diurus.

Setelah resmi menjadi janda, lima jam kemudian Mbak Jem resmi pula menjadi yatim piatu setelah seekor babi hutan yang keluar dari hutan belakang rumah mereka menyeruduk Mbah Tiran hingga tewas. Banyak yang menduga bahwa babi hutan tersebut merupakan wujud lain dari mantan menantunya yang dendam terhadap ucapan kasar Mbah Tiran.

Mimi yang masih bayi dan lucu-lucunya itu menangis menyaksikan kepergian kakeknya. Tapi tidak dengan ibunya, Mbak Jem, yang justru tampak kegirangan.

“Yuhu, akhirnya aku bisa menggunakan tabungan bapakku untuk membeli ponsel keluaran teranyar dengan kamera yang sangat menjanjikan!”

Saya masih ingat, begitulah yang dikatakan Mbak Jem saat para pelayat sedang khusyuk membaca Surah Yasin.

Sebagai seorang janda, Mbak Jem sangat suka berswafoto. Lihat saja, akun Facebook-nya dipenuhi dengan foto wajahnya yang sedang senyum, sedang nyengir, sedang berusaha menonjolkan buah dadanya yang kecil, ada pula yang sedang pura-pura tertidur. Ah, ada-ada saja kelakuan janda satu itu.

Mimi, meskipun menjadi anak seorang janda, ia tetap rendah hati dan rajin menabung. Walau ibunya kerap asyik sendiri, tak mempedulikan nasib anaknya, Mimi selalu berusaha ceria dan bahagia. Tak ada alasan bagi Mimi untuk merasa istimewa karena ia anak seorang janda. Atau, merasa buruk karena memiliki ibu yang acuh tak acuh.

Yang membuat hati saya sebagai manusia menjadi iba adalah saat tak seorang pun anak tetangga atau teman di kelas PAUD-nya Mimi yang mau berteman dan bermain bersamanya. Di situ saya juga merasa bingung. Apa itu karena kemauan sang anak sendiri? Apakah karena perintah dari orang tua mereka? Tidak ada yang tahu.

Maka hari-hari Mimi pun penuh dengan kesendirian. Ia bermain sendiri, belajar sendiri, berbicara sendiri, tidur sendiri, makan sendiri, buang air sendiri, semuanya sendiri. Lantas, ke mana ibunya?

Mbak Jem adalah janda yang sok sibuk. Di saat pagi, ia sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk berswafoto dan menunjukkan ke publik di media sosial bagaimana penampilannya sesaat setelah bangun tidur. Sedangkan Mimi, ia bangun sendiri dan mandi sendiri. Ketika jam delapan, Mbak Jem berubah. Ia menjadi kesetanan.

“Mimi! Cepat mandi sana!”

“Mimi! Lekas sarapan!”

“Mimi! Pakai seragammu!”

“Mimi! Mana tasmu!?”

“Mimi! Ayo berangkat! Lama banget sih!”

Untunglah Mimi sabar menghadapi semua itu. Ia tidak pernah marah, meski sesekali menangis.

Setelah mengantar Mimi, Mbak Jem kembali menyibukkan diri. Ia menghabiskan banyak waktu di kamar mandi; luluran, sabunan, keramas, cukuran, latihan vokal, dan sebagainya. Bagaimana saya bisa tahu aktivitas Mbak Jem di kamar mandi? Iya, saya mengintip. Sebenarnya tidak hanya di kamar mandi, saya mengintip segala aktivitas Mbak Jem di dalam rumah.

Sehabis mandi, Mbak Jem pergi ke kamar dan membiarkan dirinya pusing sendiri lantaran bingung memilih baju. Biasanya setelah satu jam Mbak Jem baru menemukan baju yang cocok. Eh, saya lupa. Sebelum memilih baju, Mbak Jem harus menghabiskan banyak lotion dan pelembab untuk kulitnya agar tetap lembut dan mulus. Nah, setelah memakai baju, barulah ia sibuk di depan cermin.

Mbak Jem termasuk janda yang sangat penuh perhatian terhadap wajahnya. Ia tak bisa mentolerir satu jerawat atau tanda-tanda kusam pada wajahnya. Dua jam ia habiskan untuk merawat wajah dan mencoba berbagai mimik untuk bahan swafotonya nanti.

Akibat perawatan diri dan kegemarannya berswafoto, banyak lelaki di kampung kami yang hendak mencicipi Mbak Jem. Hanya mencicipi, tapi tidak untuk menikahi. Padahal, Mbak Jem butuh sosok yang mau menerima dirinya apa adanya. Tanpa memandang status, apalagi fisik.

Mbak Jem selalu telat menjemput Mimi karena aktivitasnya tersebut. Saat ia tiba di sekolah, anaknya sudah tidak ada.

“Anakmu sudah dijemput, Mbak Jem.” Begitu kata ibu-ibu atau guru yang ada di sana.

Mendengar jawaban demikian, Mbak Jem selalu bernapas lega. Hatinya sudah tenang saat kembali ke rumah sudah melihat anaknya bermain masak-masakan seorang diri di pelataran. Tentu saja ia dapat dengan damai melanjutkan aktivitas sok sibuknya itu: berswafoto, menjelajahi media sosial, dan berjoget-joget tak jelas sembari menyinkronkan bibir dengan lagu yang ia dengar.

Mbak Jem tak pernah mengerti bahwa yang dimaksud “anakmu sudah dijemput” adalah Mimi sudah dijemput oleh Tuhan dan damai di pelukan-Nya, setahun yang lalu. Mbak Jem tak cukup peduli untuk dapat menyadari bahwa Mimi yang ia lihat setiap hari, adalah Mimi yang hidup berbahagia di alam lain. (*)

 

Related posts

Leave a Comment

eleven − seven =