CERPEN 

Apa Papa Belum Pulang Kerja?

Nisa Ayumida, mahasiswi Instika Guluk-guluk Sumenep Madura. Sekarang tinggal di PP. Annuqayah Lubangsa Putri-Forum Literasi Santri (Frasa). Beberapa karyanya dimuat di media daring Apajake.id, Takanta.id, Kawaca.com, Mbludus.com. lamat lain: taniyanlanjhangblogspsot.com

 

“Hari itu, hari di mana jalanan menjadi sesak. Saat kertas-kertas bertulisakan “Reformasi Harga Mati” dijunjung tinggi-tinggi ke udara. Seluruh siswa pada khusyuk mendengarkan Pak Mahmud yang selalu menyelipkan cerita bermoral pada setiap pelajaran berlangsung.

“Itulah masa lalu, ada yang baik, ada yang buruk,” imbuhnya disertai helaan nafas. Tiba-tiba bel sekolah berdering tiga kali. Kelas segera berakhir. Hening menepi di pelipis Mei.

Sepanjang perjalanan pulang itu kamu terusik, apakah ibu punya masa lalu? Apakah kakak punya masa lalu?. Pertanyaan-pertanyaan itu terus mencumbui otakmu. Sepanjang jalan kamu teringat saat pak Mahmud menceritakan bahwa di mana-mana jalanan sesak, orang-orang tiba-tiba membeludak. Di mana-mana ada kebakaran, ada kehilangan, ada tangisan. Kenapa bisa sesak? Kenapa bisa hilang? Apakah polisi tidak berjaga? Apa pemerintah tidak bertanggung jawab? Apa karena tidak digaji? Ah tidak mungkin. kamu menepis pertanyaan yang terus bercokol di kepalamu sendiri.

Sementara itu kamu terus berjalan di bawah terik yang meniupkan gerah pada lubang pori-porimu. Pada rambutmu yang dikepang dua dan bergerak-gerak seperti ekor kuda. Pada ujung poni yang merumbai di dahimu. Siang itu kamu memutuskan pulang sendiri setelah memendam kesal yang memuncak di balik dadamu. Apalagi saat melihat teman-temanmu dijemput, dibonceng ayah mereka. Kamu kesal. Kenapa ayah tak pernah pulang? Begitu gerutumu dalam diam.

kamu menimang-nimang kata masa lalu itu sambil menendangi kerikil kecil di jalanan. Apakah mama punya masa lalu? Apakah papa memang tidak ingin pulang? Apakah masa lalu papa buruk? Tapi seburuk apakah ? Ah, kamu menepis lagi serumpun pertanyaan itu sambil sesekali mengalihkan pandang pada gerak roda kereta api yang begitu cepat, yang berderu bertalu-talu. Apakah orang-orang itu menyukai perjalanan?

Malam hari kemudian, setelah menghabiskan sepiring nasi goreng dan susu, kamu tiba-tiba mendekati mamamu yang duduk di atas sofa menonton berita kriminal sambil menyuapkan es krim ke mulutmu.

“Apa Mama punya masa lalu?” mamamu terkesiap lalu mentapmu. Kedua alis yang tegak dan tumbuh diatas kulit putih itu saling bertautan. Ia pandang wajah polos anaknya dalam-dalam. Mata itu, mata-mata yang menyimpan serumpun tanya.

“Hmm?” kamu mengerutkan kening, menunggu jawaban. Memandang ke sipit mata mamamu.

“Apa Kakak juga punya masa lalu?” kamu menoleh girang ke arah kakakmu. Ternyata kamu belum menyerah dari mamamu.

“Enggak” jawab kakakmu singkat sambil terus membaca buku.

“Kenapa Mei tiba-tiba menanyakan masa lalu?”

“Sebab, kata Pak Mahmud, masa lalu itu ada yang baik ada yang buruk, Ma”

“Oh… enggak. Mama tidak punya masa lalu” balasnya.

“Kalau papa punya?” wajah polosmu itu sekali lagi hendak merobohkan benteng pertahanan mamamu. Mengucurkan laju kesedihan yang dipendamnya bertahun-tahun.

“Mei, sudah ah, belajar sana!” si sulung yang mengerti duduk perkara mulai menengahi.

####

Ceritanya begini. Ia lahir pada minggu pertama bulan Mei. Saat deretan toko-toko dijarah lalu dibakar. Saat semua mata sipit dan kulit putih dicari. Saat beberapa orang tua menangis kehilangan anak perempuannya, saat orang-orang tiba-tiba hilang, saat si rambut cepak itu berjalan di gang-gang sempit, semak-semak. Saat para perusuh itu mulai menarik pelatuk pistolnya. Malam Rabu dini hari itu, ia keluar dari rahim mamanya dalam keadaan segar. Mewarisi wajah dan sipit mata papanya. Sementara di luar, keadaan semakin gaduh, Mei semakin rusuh dan gedung-gedung mulai runtuh. Peluru-peluru seolah sengaja diterbangkan ke berbagai penjuru. Selain untuk menakut-nakuti, ada beberapa jiwa dan rumah yang memang menjadi sasaran.

“Ma, aku ingin punya masa lalu” lagi-lagi kamu seolah mengajak mamanya kembali ke dingin malam itu. Saat usiamu yang masih belia, merengek karena popok yang dipakaimu belum diganti.

“Ma, apa aku tidak punya masa lalu?” mamamu, saat menatapmu merasa sama dengan menatap mata suaminya yang disuruhnya pergi malam itu. Tapi mata itu masih bocah. Mata anaknya yang menyimpan seribu tanya. Anak kecil itu merengek minta jawaban pada mamanya yang sibuk baca koran. Ia tahu, mamanya mendengar tapi tak mau menjawab.

“Belum punya, tunggu saja Mei. Eh apa tugas bahasamu selesai? Mana Mama lihat?”

Orang tua itu tidak mau terjebak pada lubang ingatan yang mengerikan lagi. Sekali ia jatuh, maka hal-hal lainnya kembali mengusik ketenangan hati itu. Seragam-seragam tentara, desing peluru di angkasa, toko-toko yang jarah, perempuan-perempuan yang kesakitan, lelaki-lelaki berambut cepak, lalu suaminya, papamu yang sangat ia cintai. Dan ia berhasil, anak perempuan itu segera berlari menuju tumpukan buku di atas meja di samping kulkas. Sejenak kemudian anak itu kembali lagi, melongokkan kepala di ambang pintu.

“Ma, papa kapan pulang?” lalu ia kembali ke dalam.

Ia teringat, kebohongan-kebohonngan yang rapi yang disimpannya selama delapan tahun. Teringat segala upayanya. Teringat anak sulungnya. Teringat perjuangan kala itu. Teringat saat peluru pada setiap waktu dapat merobohkan dinding rumah dan dada.

####

Di bangku sekolah seluruh murid ditanya, saat hari ulang tahun tiba, apa yang ingin diminta dari ibu dan bapak.

“Aku ingin dipeluk papa, ingin dijemput papa, ingin papa segera pulang”

Waktu di rumah. Kamu kasih lihat cerita anak-anak itu pada mama. Susah payah perempuan 40 tahun itu menyembunyikan genang di matanya yang menghangat. Sementara Mei, satu-satunya anak perempuannya, tetap tidak mau kalah dan menyerah. Sebab dalam pikirmu, semakin sering kamu minta jawaban kapan papamu pulang, akan semakin cepat pula orang yang kamu rindukan itu mendekapmu.

“Aku juga kenapa diberi nama Mei, Ma? Tadi ditanya sama bu guru” pungkasmu dengan wajah cemberut. Kesal itu, kesal yang begitu imut.

Perempuan sipit itu bungkam. Ia bingung bagaimana cara menjelaskan, kalau saat kamu lahir, Mei 1998 itu benar-benar rusuh. Dan kakekmu menginginkan kamu dinamai Mei, sebelum peluru menghunus dadanya yang sebenarnya memang rapuh. Mata sipit itu kemudian redup pada pukul tujuh pagi. Sebelum sempat di larikan ke rumah sakit sebab sepanjang jalan ramai dengan yel-yel mahasiswa.

“Jadi papa kapan pulang, Ma?” rengekmu sekali lagi.

“Tentu pulang sayang, tentu” sambil mengacak poni anakmu dengan sayang.

Malam itu kalian tidur dalam keadaan kesal, sesal. Mamamu mulai berpikir, seiring bergulirnya waktu, Mei tak mungkin dibiarkan dengan segala yang diupayakannya. Tapi bagaimana ia akan menjelaskan kalau pada malam itu ia yang menyuruh papamu pergi. Air mata yang mengucur itu sesekali diusapnya, isak yang sesak di dada disimpannya. Kebohongan yang rapi itu berusaha untuk tetap ia simpan, sementara kamu, seolah memiliki kunci lain untuk membukanya dari sembarang arah. Laju kesedihan itu terus mengucur dari sipit matanya.

“Ma, apa papa belum pulang kerja?”

Ia terkejut atas suara parau anak perempuannya. Saat mendekat, suhu tubuhnya begitu panas, badannya gigil. Ia demam. Sebagai ibu, ia tak kuasa menahan segala perih, dipeluknya anak itu erat-erat. Ia bingung, bagaimana hendak menyampaikan, kalau malam itu ia yang telah menyuruh papamu pergi membeli popok, padahal ia tahu, di luar rumah adalah medan berbahaya. Namun mamamu tak mau kau merengek semalaman karena popokmu habis dan kau tak nyaman. Hingga pagi menjelang, papamu tak pulang, popokmu juga tak datang. Kamu menjerit-jerit karena telah meriang.

Mamamu berbohong atas kejadian dini hari itu. Sebab setelah hari itu, jadilah papamu sebagai orang ke sekian yang hilang. Dan tentu tak akan kembali hingga usiamu menjelang delapan tahun, seperti sekarang.

 

Guluk-Guluk Sumenep, 25 Juni 2019

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

six − five =