Berteman Karib di Kepala Jenderal

Cerpen: Ferry Fansuri ___________________________________________________________________

 

Kami memanggilnya Sarmin, tepatnya Jenderal Sarmin. Kami telah lama bersama Sarmin sejak sedari ia kecil, kami mengikuti terus. Tak pernah lepas dari tatapan kami sedikitpun, ke mana ia pergi kami ada. Sarmin berak, kami di sebelahnya. Sarmin tidur, kami mengawasi di pojok kamarnya. Semua aktivitas yang Sarmin lakukan, kami tahu.

Sejak kecil, kami suka akan Sarmin. Ia menyimpan hawa dingin yang membikin kami sejuk, aura seperti inilah kami betah. Tidak seperti kakaknya Tagut, seluruh tubuh berkobar-kobar api membara. Sedikit kami mendekat, kami terbakar. Kami coret Tagut dari daftar buruan, Sarmin berbeda. Ia spesial di mata kami, ideal untuk menjadi wadah kami dan menemani selamanya.

Itu terlihat semenjak ia lahir dari perut ibunya, kami selalu berkeliling rumah sakit untuk mencari target dan kami menemukan Sarmin. Ia meringkuk merah dan hawanya begitu memancarkan serta berpendar ke seluruh penjuru rumah sakit. Kami tertarik hawa yang dipancarkan Sarmin berbeda dengan bayi-bayi atau manusia-manusia yang berkeliaran dalam gedung tua peninggalan kolonial itu.

Kami pun menetap di tubuh Sarmin dan membisikkan semua hal yang kami ketahui dan mengontrolnya sesuka hati. Tumbuh kembang mulai dari remaja sampai dewasa, Sarmin menjadi seseorang yang nakal dan licik. Kamilah yang mengajari ia tanpa disadari, Sarmin pernah membohongi orang tuanya untuk sekedar bolos sekolah dan bermain dingdong bersama temannya. Mencontek demi lulus ujian, kami ajari Sarmin berbagai teknik mulai dari rekapan kertas kecil disembunyikan di bawah kaos kakinya, menyalin jawaban teman sebangku sampai membobol ruang guru untuk mendapatkan kisi-kisi jawaban.

Sarmin senang, kami bangga. Ia melakukan hal yang kami maui. Kami bukan jahat atau culas, ini terbukti saat Sarmin sembahyang atau belajar iqro dan kami tetap menemaninya. Kami tidak membisikkan untuk meninggalkan agamanya tapi kami membiarkannya. Kau pikir kami akan kepanasan mendengar ayat-ayat suci, bukan. Kami beda, kami hanya memilih wadah kami sesuai kriteria kami dan itu adalah Sarmin. Ia layak jadi wadah kami, bukan kakaknya Tagut yang berhawa panas itu. Secara kelakuan Sarmin lebih baik daripada Tagut, Sarmin dimata keluarga adalah anak yang baik sedangkan Tagut-saudaranya itu dicap anak nakal.

Kami selalu menuntun Sarmin ke “jalan benar” untuk meraih kesuksesan, selepas dari bangku sekolah menegah dengan predikat tertinggi, itupun berkat keahlian menconteknya yang tak ketahui siapapun kecuali kami. Kami sarankan ia untuk masuk akademi tentara, kami dorong Sarmin biarpun secara fisik tak layak. Kami berusaha membisikkan segala cara untuk lolos diterima, mulai ke dukun untuk mendapatkan jimat. Menyogok dengan uang orang tuanya atau memanipulasi data dirinya untuk bisa lolos menjadi tentara.

Ambisi kami menjadikan dirinya wadah tertinggi yang kami pernah capai dan kami berhasil. Dengan waktu singkat Sarmin telah menduduki pangkat Kapten pada usia muda kala itu, masih 27 tahun dan terus merangkah. Akal liciknya itulah kami wariskan, Sarmin tak sedikit turun ke kancah medan perang atau melakukan misi yang mampu meningkatkan prestasi. Sarmin hanya membaca celah, waktu itu pecah perang di Aceh. Ia datang dengan kompinya, Sarmin sebagai komandan tahu anak buahnya yang bisa diandalkan. Ibarat bermain catur, Sarmin hanya menempatkan bidak. Sarmin menyuruh bawahannya untuk memasuki daerah musuh sedangkan ia leha-leha di markasnya makan nasi lemak dengan lahap. Jika ada anak buahnya gugur di medan perang, Sarmin tinggal sematkan penghargaan dan kasih santunan ke keluarga. Saat misi berhasil, Sarmin lah menjadi pahlawan dan mendapat medali penghargaan biarpun mengorbankan banyak anak buahnya jadi korban.

Tak ayal ia naik pangkat dan pundi-pundi gaji mengalir kepadanya, semua fasilitas mulai dari mobil dan rumah tersedia untuknya. Itu juga berkat bisikan-bisikan kami dan selalu menemaninya, kami di sini menjaga sebagai aset. Pernah suatu ketika Sarmin keluar dari kompleks tentara ia diami dengan Megapro-nya untuk cukur rambut tapi saat kembali, di arah berlawanan seorang anak muda dengan helm full face mengendarai Ninjanya dengan kecepatan tinggi tak melihat Sarmin melintas. Tak pelak tabrakan maut terjadi, kedua motor itu ringsek hancur tak tersisa sama sekali. Kedua pengendara terpental berlawanan, rider Ninja itu tergeletak mati seketika dengan kepala hancur di aspal sedangkan Sarmin hanya pingsan tak ada luka sedikitpun.

Peristiwa itu tak akan membuat nyawa Sarmin meninggalkan raganya begitu saja, salah satu dari kami jadi tameng. Kami tidak hanya satu tapi ribuan dan bersemayam di tubuh Sarmin. Layak kucing mempunyai 9 nyawa, Sarmin ada cadangan nyawa berlipat-lipat yaitu kami. Semua kehidupan Sarmin, kamilah yang menyetirnya tak terkecuali kehidupan asmara.

Waktu itu Sarmin tergila-gila dengan Kantil, anak perawan dari komandannya tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Kantil tak tertarik kepada Sarmin biarpun secara fisik Sarmin tak mengecewakan sama sekali. Wajah tampan dengan dada bidang, tinggi di atas rata-rata serta alis tebal dan senyum tipis yang mempesona ini membuat setiap wanita yang memandangnya akan kepincut. Bagi Sarmin tinggal tunjuk siapa yang ia mau apalagi pangkat dan masa depannya yang cemerlang itu. Namun Sarmin hanya ingin Kantil seorang tiada lainnya maka kamilah yang membisikkan petuah-petuah menaklukkan cinta.

Semua cara sudah dilakukan tapi Kantil tak bisa menerima cinta Sarmin apalagi Kantil sudah mempunyai tunangan seorang dokter spesialis jantung jadi tambatan hati dan juga pilihan orang tuanya. Harapannya hampir pupus dan merasa putus asa, rasa memiliki itu begitu kuat sampai kedalam tulang sumsum. Sampai suatu saat undangan pernikahan itu datang padanya, Sarmin tergolek lesu tanpa daya. Kami tak suka akan keadaan Sarmin seperti ini, bukan Sarmin yang kami kenal yang optimis dan licik.

Kami tak ingin Sarmin terpuruk akan cinta yang bodoh itu maka kami bisikkan ke telinga bahwa kami bisa membuatnya jatuh cinta biarpun tak cinta sekalipun. Dalam diamnya, Sarmin terusik.

“Bagaimana itu?”

Hal yang mustahil menjadi nyata, bisikan kami memang manjur. Kami palingkan ia dari Tuhannya dan beralih ke klenik pemuja lelembut, ia tak lagi percaya Tuhan. Sarmin tinggalkan sembahyangnya, doa-doa di penghujung malam atau membaca kitab suci. Semua berganti dengan mengunjungi dukun-dukun, paranormal dan makam-makam keramat itu ngalap berkah demi mendapatkan ajian pemikat asrama tertinggi yaitu jaran goyang.

Dengan ajian jaran goyang itu, Sarmin dengan mudah memilitir cintanya Kantil untuk berpaling dari tunangannya.

“Aku bisa membuatmu jatuh cinta meski kau tak cinta.”

Rapalan ajian jaran goyang yang ia ucapkan tiap malam dengan telanjang bulat di depan foto Kantil setelah mendapatkannya selama 40 hari puasa pati geni di makam keramat. Tak pelak getaran-getaran aneh menjalar ke sekujur tubuh Kantil setiap ia berpapasan dengan Sarmin dan tak bisa melupakannya.

Itu tandanya ia terpikat ajian jaran goyang yang selalu ditiupkan Sarmin tiap malam, Kantil melupakan tunangannya yang dokter itu dan berpaling ke pelukan Sarmin. Mandapatkan Sarmin seperti ketiban pulung, selain gadis tercantik dari keluarga militer terpandang. Karier Sarmin meningkat pesat, layaknya jalan tol maka tak lama Sarmin beranjak cepat. Dari pangkat Kapten, Kolonel sampai Jenderal telah ia raih sebelum umur 50 tahun dan itupun tanpa melalui misi perang yang mengorbankan jiwanya. Ia hanya duduk-duduk dikantor dan memberi perintah saja.

Pernikahan dengan Kantil begitu bahagia, ia dikarunia 2 anak laki-laki yang tampan. Dalam melalui mahligai kehidupan, Sarmin mulus tanpa halangan sedikitpun hingga ia memasuki masa pensiun. Tinggal di kompleks perumahan mewah bersama istrinya, anak-anaknya telah berkeluarga dan memiliki pekerjaan yang elit berkecukupan. Asupan makan tak pernah berkurang dari tubuh Sarmin bahkan cenderung berlebihan, ini mengakibatkan petaka.

Suatu pagi cerah, setelah keluar dari kamar mandi selepas buang hajat. Sarmin terpeleset dan jatuh seketika di marmer mewah rumahnya, maka saat itu juga Sarmin divonis stroke dan tak bisa bergerak sama sekali. Istrinya kantil menjerit ketika Sarmin tergolek tak sadarkan diri, dengan tergesa-gesa dibawah ke rumah sakit dan menelepon semua anaknya untuk datang.

Berderai airmata mewarnai pengobatan Sarmin, kami tetap menemani dan tak sudi wadah kami musnah mengikuti saja. Kami beserta pasukan yang kami punya terus meng-push jiwa raga Sarmin yang memang agak sedikit rapuh agar kembali semula. Usaha kami tidak sia-sia, ia mampu bangkit tapi tidak seperti sediakala. Ada ciri yang menyertai dirinya, cacat kaki dan pikiran menggerogotinya. Kami telah berusaha maksimal.
***

Dia telah lemah di usia uzurnya tapi kami tetap bersemayam di dalam dirinya, Jenderal Sarmin yang dulu gagah perkasa sekarang tak berdaya. Kami pun tak mau pergi, kami masih ingin bermain dengannya. Di tubuh sakitnya itu, kami perintahkan untuk melakukan hal-hal aneh. Tiap pagi kami bangunkan dirinya untuk berjalan ke ruang tengah, kami bisikkan agar membuat hajat dan kencing di ruang tamu itu. Memang semenjak ia sakit, akal pikiran telah pendek dan hanya mengikuti hawa napsunya tanpa berpikir apa yang ia lakukan.

Setelah buang hajat di ruang tamu itu, ia tertidur seperti layaknya bayi yang tidak tahu apa-apa. Ketika Kantil instri bangun dan mendapati suaminya tergeletak dengan kotoran yang tercecer disana-sini maka naik pitamlah Kantil.

“Papa ini keterlaluan, membuat jengkel mama tiada hentinya !!”

Kantil terlihat kesal sekali akan perilaku suaminya yang oon banget itu, ia harus membersihkan sendirian kotoran-kotoran yang dihasilkan suaminya. Tiada pembantu, semua telah diberhentikan beserta supir karena tidak ada lagi harta benda yang bisa dijual. Semua ludes untuk pengobatan Sarmin dan yang tersisia rumah dan gaji pensiunan yang terkikis utang-utang semasa jaya dulu. Perihal yang tersisa hanya makan sehari-hari dan bertahan hidup.

Sarmin dalam keseharian hanya tidur terbaring dan matanya menatap langit-langit, ia tergolek tak berdaya dan Jenderal Sarmin jadi pesakitan. Hero to Zero dan tak ada yang bisa diharapkan dari dirinya, kami hanya menunggu waktunya. Permainan kami masih begitu banyak dan ahli memainkannya hingga sakitnya Jenderal begitu parah serta segera dibawa ke rumah sakit. Kantil-istrinya kalang kabut membawanya ke rumah sakit dan menelpon anak-anaknya untuk mengabarkan bahwa papanya sekarat.

Namun tak satupun anak-anaknya yang datang untuk menjenguk tapi ada istri dari anak pertama yang kerja sebagai kontraktor yaitu Kejora. Ia datang atas kemauan sendiri karena tak enak mertua masuk rumah sakit biarpun kondisi dirinya denngan mengandung 6 bulan. Kejora dengan tulus menunggui mertuanya Sarmin di rumah sakit dan menemani karena mertua perempuannya-Kantil enggan menjaga Sarmin. Ia mending pulang untuk menonoton drama korea kesukaannya.
***

Suatu malam, Sarmin terbangun dari tidurnya. Kamilah yang memanggil untuk bermain bersama-sama. Kami bisikkan “Buka bajumu dan larilah telanjang bulat”, tanpa basa-basi, ia pun menuruti perintah kami. Sarmin meloloskan semua baju rumah sakit, terlihat gelambir-gelambir lemak dan keriput disekujur tubuhnya.

Kejora yang terbangun dari tidurnya kaget melihat mertuanya hendak membuka pintu kamar dengan keadaan telanjang bulat.

“Papa mau kemana, kok tidak pakai pakaian?”

Sarmin hanya tersenyum dan tak mengindahkan pertanyaan kejora dan melenggang begitu saja.

Kejora yang melihat itu mencoba menahan Sarmin untuk keluar ruangan tapi Sarmin meronta-ronta layaknya anak kecil. Pergulatan itu pun terjadi tapi Kejora kalah tenaga dan terpelanting ke belakang, kegaduhan dan teriakan minta tolong dari Kejora membuat suster dan dokter jaga berhamburan datang serta ikut-ikutan menahan Sarmin yang telah telanjang bulat.

Terlihat seru, kami pun tertawa senang melihat kejadian tersebut dan riang gembira.

Tapi setelah permainan demi permainan yang dilakoni kami bersama Sarmin, kami merasa sedih. Tubuh rapuh Sarmin telah mencapai batasnya, dokter menvonis menunggu ajal. Sarmin tergolek dengan selang pernapasan di hidungnya, napasnya mengap-mengap. Kantil dan mantunya Kejora saling berpelukan menangis melihat kondisi Sarmin yang sekarat dan sampai detik ini anak-anak tak kunjung datang karena kesibukan mencari duniawi.

Sarmin terlihat tak bisa bernapas dengan benar, naik turun dan akhirnya mengembuskan napas terakhir. Kami pun melayang terbang tinggi meninggalkan jasad Sarmin yang tak bernyawa, kami meninggalkan wadah kami yang selama ini jadi favorit. Ini saat kami pergi meninggalkan untuk selamanya, sesaat kami melayang pergi melihat wajah Sarmin yang sendu. Satu persatu dari kami melepaskan diri dari terbang melayang, ini waktunya bagi kami mencari wadah baru yang fresh dan adem bagi kami.

Ketika kami melayang-layang di rumah sakit itu untuk mencari wadah baru dan terus mencari tapi nihil, tak ada yang cocok bagi kami. Semua berhawa panas, seharian berkutat dan lelah. Kami mencoba kembali ke tubuh Sarmin untuk sekedar bernostalgia dan ingin terakhir mengucapkan selamat tinggal.

Tubuh Sarmin telah dimasukkan dalam keranda dan akan dibawa mobil ambulance ke liang lahat terakhir. Melihat Sarmin yang terbujur kaku itu, kami hanya bergumam lirih.
Kapan lagi kami mendapatkan wadah seperti dirimu.

Dengan langkah gontai satu persatu dari kami akan pergi ke tempat itu tapi tiba-tiba langkah kami terhenti. Kami merasakan hawa dingin yang kami sukai, tidak jauh tapi dekat sekali. Sinyal kecil sekali tapi sangat kecil tapi itu pontesial bagi kami dan itu kami rasakan saat melihat perut buncit dari kandungan Kejora.

Jember, November 2021

 

Ferry Fansuri, penulis kelahiran Surabaya. Menulis cerpen dan esei perjalanan. Pernah menjadi jurnalis. Tulisannya tersiar di banyak media. Menjadi nominee Penghargaan Sastra Litera 2021.

Related posts

Leave a Comment

18 − eleven =