PERISTIWA 

Aant S. Kawisar Terbitkan Buku Cerpen Sandiwara Kemerdekaan

Sastrawan Aant S. Kawisar menerbitkan buku kumpulan cerpennya, Sandiwara Kemerdekaan. Buku setebal 200 halaman itu berisi 18 cerpen yang ia tulis rentang tahun 80-an hingga 2000-an, diterbitkan AKAR Indonesia. Buku penulis kelahiran Sintang, Kalimantan Barat, 27 Agustus 1961, itu disunting sastrawan Raudal Tanjung Banua.




Aant S. Kawisar bukanlah nama baru dalam dunia kesusasteraan tanah air. Ia termasuk kalangan pengarang era 1980-an yang terus berkiprah hingga kini. Ia menulis cerpen, novel, puisi, cerita anak dan melukis serta pernah menjadi redaktur majalah sastra Horison (1994-1997).

Di samping itu, ia sempat produktif menulis cerita pendek untuk remaja. Aant ikut mendirikan Kelompok Penulis Pontianak (KOMPAK). Lalu bersama Adek Alwi, mengasuh penerbitan buletin KAKILANGIT yang diterbitkan Himpunan Pecinta Cerpen dan Puisi (HPCP) Jakarta. Pada 1986 ia duduk sebagai anggota redaksi sekaligus menangani bidang artistik majalah Estafet.

Di samping dunia sastra, Aant juga menggeluti dunia seni lukis, masuk nominasi Philip Morris Art Award (1997-1998). Lelaki yang
menetap di Yogyakarta sejak 10 tahun terakhir itu sempat menerbitkan Pararupa Art Journal, duduk sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi.

Menurut Raudal, cerpen-cerpen Aan banyak berlatar urban dan memuat lokalitas Kalimantan yang kuat. Tokoh-tokohnya umumnya orang kecil yang dalam berinteraksi memunculkan rasa geli, gelak tertahan, semacam lelucon penuh ironi. Seorang Datuk misalnya, hidup di tengah anak-cucunya di ibukota. Si Datuk selalu melilu (mengigau) membayangkan kebunnya di pedalaman Kalimantan seolah masih dalam pengawasannya.

“Padahal tanah dan kebunnya sudah habis ditambang anak-cucu, sisanya jadi kebun kelapa sawit. Hal ini memunculkan rasa iba yang peram, tidak dibuat-buat,” sebut Raudal.

Begitu pula simbol-simbol peran yang diperebutkan serombongan remaja yang akan menjadi pelakon sandiwara dalam perayaan Agustusan tingkat RT. Peran konglomerat, menteri, dokter, mahasiswa, semua mereka borong. Peran petani, buruh, tukang becak, supir angkot, tidak dilirik. Ini jelas merepresentasikan situasi lebih luas di panggung kebangsaan. Kritik sosial yang tajam melalui pengelolaan simbol-simbol tak terduga ini, sekaligus menjadi benang merah simultan atas 18 cerita, membuat buku ini tampil utuh sebagai satu-kesatuan.

Lebih dari persoalan individual, berbagai persoalan kolektif dihadirkan Aant dalam warna-warna gelap kusam, sebagian karikatural, meski bukan tanpa terang dan harapan. Dalam adukan rupa macam itulah mencuat kehidupan getir puak kecil di pedesaan, keterhimpitan psikologis kaum urban atau orang yang kembali pulang ke kampung halaman dengan memikul kekalahan. Sungguh pun begitu, Aant tidak menyajikan konflik secara hitam putih, melainkan secara cerdik mengulur alur cerita seperti alur sungai yang tak gampang diduga. Pola-pola dongeng, hikayat, kenangan, memori kolektif dan parodi digunakannya dengan baik. Bahkan hal-hal yang tampak sederhana seperti penamaan pangkat atau tanda jabatan, bisa menjadi pintu masuk yang meyakinkan ke berbagai dimensi persoalan.

Selain Sandiwara Kemerdekaan, buku Aant yang lain adalah novel Pesona Langit Hitam (1985), Kerikil-Kerikil (1986), dan buku anak-anak Pinggan dan Putri Bayan (1998). Puisi dan cerpennya terhimpun dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Kitab Radja Ratoe Alit, antologi 50 penyair Indonesia (2011) dan Kalimantan Dalam Prosa Indonesia, Editor Korrie Layun Rampan (2011). Sekarang ia sedang menulis ulang novelnya, Lanting. [R]




Related posts

Leave a Comment

twelve − 11 =