Berita 

PPN X: Puisi untuk Perdamaian Dunia

BANTEN (litera.co.id) – Di tengah merebaknya konflik, kekerasan, dan perang di sejumlah negara, sudah sepatutnya mendapatkan empati, kepedulian, dan sikap dari kita sebagai penyair. Benturan berdarah di Myanmar, Irak, Libya, Suriah, Mesir, Prancis, Inggris, dan di kawasan lainnya semakin menambah luka sejarah peradaban manusia. Khusus dalam kasus Myanmar, di bumi Asia Tenggara itu, memang ada sejumlah faktor penyebab yang menyulut terjadinya konflik di kawasan tersebut, tapi justru karena itulah kita sebagai penyair perlu menyumbangkan pandangan dan solusi untuk mengakhiri konflik tersebut dan kalau bisa mencegahnya secara abadi agar tidak terjadi kekerasan di masa yang akan datang melalui kata-kata dan bahasa, yang dalam hal ini puisi.

Sesungguhnya puisi dapat menjadi media dan jembatan yang strategis untuk menyuarakan pandangan dan kepedulian kita untuk menyikapi sejumlah konflik dan perang di belahan dunia ini dalam rangka mengumandangkan welas-asih dan melantangkan suara-suara kemanusiaan. Kita perlu menyuarakan keprihatinan dan sikap kita terhadap banyak kekerasan dan perang.

Sebelum meninggal, Annemarie Schimmel menulis puisi (yang mirip dengan puisinya W.B. Yeats yang berjudul Aedh Menggelar Kain dari Surga): “Sang pencinta, menenun satin dan brokat dari air mata, duhai sahabat, agar dapat menghamparkannya suatu hari, di bawah telapak kakimu…dan aku menenun sutera kata-kata yang selalu baru hanya untuk menyembunyikanmu.”

Tepat sekali sebagaimana ilustrasi di atas, puisi dapat melahirkan kebajikan sekaligus dapat dijadikan sebagai senjata keburukan, semisal dapat digunakan untuk mengungkapkan cinta
dan persahabatan sekaligus dapat digunakan untuk menyebar fitnah dan dusta.

Di musim semi 1996, Schimmel, perempuan berperawakan mungil itu menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman, termasuk Presiden Roman Herzog. Saat itu ia berbicara tentang kata. “Kata yang baik laksana pohon yang baik…”, demikian dia mengutip Al-Quran. “Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata,” demikian paparnya. “Kata memiliki kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya.”

Betapa puisi dalam kehidupan manusia adalah ‘ruh’ dan ‘jiwa’ kehidupan manusia itu sendiri, dan karena itu pula betapa pentingnya ‘puisi’ dijaga dari upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai alat destruksi dan menjadi media-media kezaliman dan praktik-praktik tidak kreatif yang akan ‘melukai’ kemanusiaan manusia.

Secara khusus, lewat puisi, PPN X akan kita jadikan enerji dan sikap penyair yang mendorong para pemimpin dan elit-elit politik di Asia Tenggara untuk berada di garda depan dalam mengupayakan terciptanya perdamaian dunia. Inilah dasar ditetapkannya tema PUISI UNTUK PERDAMAIAN DUNIA di perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di Banten, Indonesia, 15-17 Desember 2017. (R)

Related posts

Leave a Comment

7 − one =