puisi 

Sajak-sajak Fatah Anshori

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), Ia juga menulis beberapa buku antologi yang telah di terbitkan: Ketika Mencintai Tak Bisa Memiliki (2014), Quantum Ramadhan (2015), Quantum Cinta (2016). Kini tinggal di Dsn. Caling Ds. Sidorejo Kec. Sugio Kab. Lamongan.

 

Jam Dinding dan Sepiring Nasi

 

Bagaimanakah itu,
Kau bilang kau hidup untuk masa depan.
Kau telah membuang teman
Hidup menyendiri, serupa pertapa
Bersandar di antara sejak-sajak yang kau baca
Dan kau tulis setiap hari.

Aku melihat kebaikan duduk menungguku
Diseberang sana, matamu tak cukup menjangkaunya
Bahkan merasai saja
Kau tak mungkin sanggup.

Jadi sekarang kau hidup untuk apa
Atau mungkin kau hanya bayang-bayang
Yang melayang melintasi tempat dan bergelantungan
Di jam dinding yang bekerja?

Aku diam sejenak, membiarkan jam dinding
Membisu untuk mengambil celah…

Sekarang aku hidup untuk masa lalu
Yang pernah kutinggali dulu
Ah, atau mungkin sekarang aku tak hidup
Aku hanya sedang menyusun mozaik-mozaik
Untuk masa depanku yang baik.
Iya sekarang aku tidak hidup.

Lalu siapa yang menghabiskan sepiring nasi barusan?

Ruangan menjadi lengang, menyisakan
Suara tik-tak jam dinding yang tak lelah mengantarkan
Dua orang itu kemasa depan.

Lamongan, 5 September 2016

 

Menunggu Kabar dari Langit

 

Aku melihat matamu ketakutan
Melihat mataku barusan
Aku tidak tahu mata siapa yang diberkahi
Kebengisan oleh Sang Ilahi

Atau misai ku yang membuat matamu
Bagai melihat berita duka kematian

Anak laki-laki itu lantas berjalan pergi
Menjauhi rumahku. Ia tidak bisa berkata-kata.
Lehernya terlalu kecil.

Tidak seperti dirimu, kau selalu menyalahkan banyak hal
Menganggap satu hari terlalu pendek untuk membalas
Pesan yang kukirimkan lewat ponsel.
Berkilah kesibukan telah menemanimu, sepanjang
Detik berjalan

Sudah cukup kau menyalahkan segalanya.
Itu hanya akan membuat dosa
Bertaburan dimana-mana
Bagai berkah yang dilemparkan malaikat
Ketika hujan turun

Kita tunggu saja langitlah yang akan mengabarkan
Segala ikhwal yang berdiam diantara kita.
Langit yang biru tau hal-hal itu.

Lamongan, 5 September 2016

 

Mengenalkan Pagi

 

Jendela yang kotor mengabarkan pagi telah tiba
Waktu shubuh telah tandas beberapa saat yang lalu
Tapi kau tidak peduli.

Langit masih berwarna kelabu, seperti kenangan
Asmara kita yang muram
Aku memilih duduk di teras
Melihat Prenjak melompat-lompat di ranting pohon
Dan menghabiskan secangkir puisi
Yang kau tulis untukku kemarin sore
Saat hujan telah benar-benar berhenti turun
Di kotamu

Melihat pagi selalu menyenangkan
serupa mengenang wajahmu, membuang derita
Kabut masih merambat di antena televisi
Embun-embun masih bergelantungan di akar pohon

Umat muslim yang petani, telah bangun petang tadi
Katamu mereka tidak mengenal berhenti
Pagi-pagi adalah waktu yang tepat untuk mangaiz rizki

Didalam rumah pemabok, meja berantakan
Cawan-cawan berbau aneh, lantai rumah becek
Lukisan-lukisan menjadi muram di sana
Berkunjung kesana, serupa menyerahkan nyawa
Pada yang diatas.

Mungkinkah seperti itu?
Terlalu banyak kau mengenalkan pagi
Melalui Puisi yang kau tulis sendiri
Sekarang aku akan bangun pagi
Untuk mencium harum pagi dan wajahmu
Yang serupa mentari.

Lamongan, 6 September 2016

 

 

Related posts

Leave a Comment

five × two =