Resensi Novel Weton Bukan Salah Hari

Identitas Buku
Judul: Weton Bukan Salah Hari
Pengarang: Dianing Widya Yudistira
Resensiator : Afleni
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Jumlah Halaman: 222 Lembar

Sebuah novel yang ceritanya dimulai dari kehidupan sebuah keluarga di Batang, Jawa Tengah. Ada dua kelompok yang menganut paham berbeda tentang Weton. Weton dalam pengertian sebagai perhitungan hari untuk menentukan apapun yang dilakukan di dunia iniatau dalam kehidupansehari-hari. Bahkan di dalam satu keluarga ini terjadi perbedaan seperti Mak yang selalu menjalankan dan meyakini Weton, sedangkan Bapak, Mbak Sri, Mas Beno dan Mukti tidak meyakini weton tersebut. Dari sinilah mulai masalah demi masalah.

Mak selalu mengatakan pada Mbak Sri kalau pernikahannya dengan Mas Jarwo tidak membawa keberuntungan. Pilihan Mak dulu itu adalah Samiun yang perhitungan Wetonnya dengan Mbak Sri itu membawa kebaikan. Samiun yang juga sangat mencintai Mbak Sri tapi sayangnya Mbak Sri Mencintai Mas Jarwo dan Menikah dengan Mas jarwo.

Mas Jarwo dan Mbak Sri sejak menikah selalu mendapat masalah, seperti daganganMas Jarwo yang dibawa kabur oleh orang kepercayaannya, Mas Jarwo yang mengalami kecelakaan, dan anaknya yag bernama Bagus sering sakit-sakitan. Sakit yang di derita Bagus diperkirakan oleh Mak karena Weton Mas Jarwo dan Mbak Sri tidak cocok. Perkiraan Mak tersebut salah besar Karena Bagus mengalami kelainan di saluran kencingnya dan harus dioperasi atau dikhitan.

Kesedihan dirasakan oleh mas Jarwo dan Mbak Sri karena diusia Bagus yang tiga tahun harus di khitan. Umur Bagus dikhitan tidak lazim karena biasanya anak laki-laki di khitan sewaktu mereka masuk SMP. Namun malang tak dapat ditolak, demi menyelamatkan nyawa Bagus khitan itu harus dilaksanakan.

Habis masalah bagus yang di khitan tanpa persetujuan Mak. Sekarang timbul lagi masalah baru. Malam itu Mas Beno yang mabuk sehingga membangunkan Mukti dan Bapak. Bapak sangat kasihan melihat Mas Beno seperti itu. Bapak mengusulkan kepada Mukti untuk melamarkan Lastri untuk menjadi istri Mas Beno. Dulu juga seperti Mas Beno yang sudah lama pacaran dengan Lastri dilarang oleh Mak untuk menikah karena Weton Lastri dan Mas Beno jatuh pada gotong mayit atau tidak cocok. Pada saat itu Mak megancam Mas Beno apabila tetap menikah dengan Lastri maka putus hubungan darah dengan Mak.

Dengan demikian, kesedihan yang dirasakan oleh Mas Beno juga membuat Bapak menjadi sedih dengan keadaan Mas Beno sekarang. Bapak mengajak Mukti untuk ketempat Lastri. Mukti heran untuk apa Bapak kesana, apakah untuk melamar Lastri, bagaimana dengan Mak?. Bapak tetap akan melaksanakan niatnya dan Mukti harus melakukan perintah Bapak tersebut.

Keesokan harinya Mas Beno, Bapak, Mukti, Mbak Sri dan Mas Jarwo datang kerumah Lastri untuk melakukan acara lamaran. Setelah sampai dirumah Lastri ternyata penerimaan keluarga Lastri sangat baik. Penerimaan yang baikmungkin karena mereka tidak tahu bahwa selama iniMak melarang Mas Beno menikah dengan Mbak Lastri. Pembicaraan yang mudah dan langsung mendapat persetujuan kalau Mas Beno dan Lastri akan menikah 2 minggu lagi.

Pernikahan Mas Beno dan Lastri hanya diramaikan dirumah Lastri. Semua itu dikarenakan oleh keluarga Mak dan keluarga Bapak takut datang kerumah karena mereka dibenci Mak disebabkan mereka dulu menjadi saksi sewaktu pernikahan Mbak Sri dan Mas Jarwo. Semua bantuan dari sanak famili diantarkan kerumah Lastri. Tidak ada satupun sanak famili yang datang kerumah Mukti.

Seiring waktu berjalan pembuktian dari weton atau perhitungan hari dimulai. Anak Mas Beno yang baru dilahirkan mengalami banyak penyakit. Kesedihan sangat dirasakan oleh Mas Beno, Mbak Lastri dan semua keluarga. Pada akhirnya sedikit keikhlasan dari hati dan Mbak Lastri bersikeras membawa anaknya yang bernama Bintang untuk pulang kerumah. Selama bintang dirumah tersiar kabar bahwa anak dari Samiun meninggal. Ini juga diyakini karena pernikahan Samiun dan Rum yang jatuh pada gotong mayit atau

tidak cocok perhitungan wertonnya. Ketakutan meliputi hati Mak yang sudah mulai bisa menerima keputusan Mas Beno untuk menikahi Mbak Lastri. Akhirnya Bintang juga meninggal karena tidak sanggup menahan sakit disekujur tubuhnya.
Pernikahan Samiun dan Rum yang tidak cocok tersebut telah mengakibatkan kedua orang tua mereka meninggal beruntut dan tidak wajar. Kematian-kematian yang dianggap karena Samiun dan Rum yang bersikeras untuk menikah. Keputusan mereka yang membawa malapetaka.

Banyak cerita lain yang membawa malapetaka karena pernikahan yang tidak sesuai dengan weton atau perhitungan hari. Semua itu membuatMukti yang pertamanya tidak percaya menjadi sedikit bimbang. Namun mukti selalu berpikir secara logika dengan kejadian-kejadian selama ini.

Mukti anak bungsu dari tiga bersaudara. Sekarang sudah menempuh pendidikan di SMA. Sewaktu pernikahan Mas Beno. Bapak terlihat berbicara dengan Lek Nandar. Sepulangnya dari pernikahan tersebut Bapak berbicara kepada Mukti, bahwa tadi Lek Nandar ingin mempertemukan Mukti dengan anak Lek Nandar yang bernama Wibowo. Mukti kenal dengan Wibowo. Wibowo adalah kakak kelasnya di SMA. Wibowo tidak mungkin menyukainya karena Wibowo adalah anak yang pintar dan aktif berorganisasi. Semua anak perempuan mengidam-idamkan Wibowo. Tapi kenyataan sekarang Lek Nandar ingin Mukti menjadi menantunya.

Keinginan Lek Nandar tidak langsung direspon Bapak karena Bapak menginginkan Mukti untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mukti dulu pernah bercita-cita untuk menjadi dokter. Selang waktu berganti Mukti sekarang sudah menjadi mahasiswa kedokteran. Disuatu haridia pulang kerumahnya. Dia menemukan Lek Sayuti dipinggir jalan dalam keaadan tak bernyawa. Waktu itu lewat juga Wibowo. Dari sanalah mulai hubungan dekat mereka. Mukti yang antara percaya dan tidak percaya dengan weton sekarang dipersulit. Hubungan Mukti yang sudah serius dengan Wibowo ternyata tidak cocok menurut perhitungan weton. Kebimbangan-kebimbangan dalam hati Mukti, tapi apa yang harusdilakukan tidak tahu. Antara yakin dan tidak, mengingat malapetaka dari pernikahan yang terjadi karena tidak memperhatikan perhitungan hari atau weton.

Kelemahan dari novel Weton Bukan Salah Hari ini adalah akhir cerita tidak ditentukan apakah berakhir bahagia atau berakhir derita. Ada beberapa bahasa yang mungkin kurang dipahami oleh pembaca. Namun dibalik kekurangannya terdapat banyak keunggulan.

Keunggulan dari novel Weton Bukan Salah Hari adalah ceriat yang sangat menarik. Pembaca jadi merasakan hidup di daerah jawa khususnya Batang, Jawa Tengah. mengetahui tentang keyakinan orang Jawa terhadap hari-hari untuk melaksanakan kegiatan dalamkehidupan sehari-hari. Novel yang berangkat dari kisah penulis yang lahir di Batang, Jawa Tengah. penulis memasukkan pengalaman empirisnya sehingga cerita dalam novel menjadi lebih menarik.

Novel yang pernah menjadi Nomine Khatulistiwa Literary Award 2007 terjual laris dipasaran. Cerita yang dihadirkan tidak membuat pembaca cepat bosan. Pembaca merasa tertarik untuk menyelesaikan sampai akhir karena sulit untuk menebak akhir cerita. Susunan kalimat yang membuat pembaca penasaran apa yang akan terjadi.

Weton Bukan Salah Hari menghadirkan suatu cerita lain dari sebuah kota di Jawa Tengah yaitu Batang. Pembaca jadi mengetahui latar belakang keyakinan dari kehidupan masyarakat Batang. Kehidupan yang damai tapi masih menyimpan keyakinan pada suatu yanglahir pada masa dulu.

Keunggulan-keunggulan yang dihadirkan dalam novel juga pada bahasa yang dgunakan. Bahasa yang terdapat dalam novel menurut saya sebagai pembaca novel bahasa itu komunikatif. Alasannya karena saya merasakan dekat dengan daerah yang pernah saya tinggali beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itulah saya bisa memahami bahasa-bahasa yang ada dalam novel. Tapi bagi orang lain bisa jadi merupakan suatu bahasa yang baru. Pembaca akan mendapat suatu makna lain dari bahasa-bahasa yang dihadirkan.

Novelis Dianing Widya Yudistira adalah seorang novelis yang melahirkan novel-novel berlatar belakang kehidupan sosialnya atau pengalaman empirisnya dan adat jawa. Proses kreatif dari Dianing seperti dia mengambil pengalaman empirisnya yang dibumbui dengan imajinasi atau daya pikirnya. Dia menjadi muda menulis novel karena merasakan dekat dengan kehidupan masa lampau yang penuh perjuangan.

Penulis adalah seorang mahasiswa berkelahiran di Lareh Nan Panjang-Sumatera Barat, 1 Mei 1989. Sekarang sedang menenpuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Padangpanjang Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Berdomisili di Padangpanjang. Kegiatan sehari-hari selain kuliah Aktif di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang sebagai Kabid Humas.

Related posts

Leave a Comment

twelve − four =