Berita 

Raung Puisi di Pendopo Gubernuran Hingga Kebun Teh Kepahiyang

BENGKULU (Litera.co.id) – Waktu menunjukkan pukul 19:20 WIB saat tiga bis Pemerintah Daerah (Pemda) Bengkulu meluncur dari sebuah hotel, membelah malam. Sekitar sekitar 10 menit kemudian, bus itu berhenti di halaman sebuah gedung peninggalan zaman kolonial Belanda yang masih kokoh, yang dikenal dengan sebutan Gedung Daerah Bengkulu yang menjadi Pendopo Gubernur Bengkulu.

Tiga bis itu membawa peserta Festival Sastra Bengkulu (FSB) 2018. Malam itu, sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia itu dijamu oleh Plt Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, yang sekaligus membuka Festival Sastra Bengkulu yang diadakan Imaji Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu. Acara ini didukung oleh Bank Bengkulu dan Djarum Foundation serta sejumlah komunitas sastra dan budaya.

Pembukaan ditandai dengan pemukulan dol – alat musik perkusi khas Bengkulu – oleh Gubernur, Ketua Panitia Festival Willy Ana, dan penyair Sutardji Calzoum Bachri. Acara dilanjutkan dengan penyerahan buku puisi “Jejak Cinta di Bumi Raflesia” oleh perwakilan kurator, Mustafa Ismail, kepada PLT Gubernur. Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan jamuan makan malam diiringi oleh musik dengan lagu-lagu khas provinsi itu.

Dalam sambutannya, Plt Gubernur Bengkulu mengatakan, Provinsi Bengkulu adalah satu daerah yang menyimpan banyak sejarah. Bengkulu menjadi lebih bersejarah saat Presiden pertama RI, Soekarno diasingkan ke bumi Raflesia hingga akhirnya mempersunting gadis Bengkulu yakni Fatmawati, yang kemudian menjadi pula ibu negara partama Indonesia.

“Ibu negara pertama ini dikenal sebagai penjahit bendera pusaka,” kata Gubernur dihadapan para peserta FSB 2018 dan para undangan yang memenuhi ruangan Gedung Daerah.

Pada kesempatan tersebut pula, Gubernur Rohidin mengapresiasi kerja keras panitia festival karena memiliki semangat egaliter dan motivasi tinggi hingga kegiatan bertaraf nasional tersebut sukses membawa para penyair dari seluruh Indonesia dan negara tetangga. “Tanpa itu, bagaimana mungkin FSB ini bisa terlaksana dengan waktu persiapan yang tak panjang dan anggaran yang terbatas pula,” katanya.

Ketua Panitia Willy Ana dalam laporan panitia mengatakan bahwa kegiatan ini dibuat “hanya” dengan semangat. Pertama, semangat bersastra dan terus menghidupkan sastra di bumi pertiwi dengan cara kami yang kami bisa. Kedua, semangat untuk menggelar sebuah festival sastra bertaraf nasional di Bengkulu. Ketiga, semangat untuk merekam jejak Presiden RI pertama, Sukarno, bersama Ibu Fatmawati, di Bengkulu. “Maka itu festival ini kami berisi tema “Sukarno, Cinta dan Sastra”,” ujar penyair asal Bengkulu yang berdomisili di Jakarta itu.

Panitia Festival Sastra Bengkulu berhasil mendatangkan para penyair Indonesia dan luar negeri, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, LK Ara, Fakhrunnas MA Jabbar, Zulfaisal Putra, Rohani Din (Singapura), Isbedy Stiawan ZS, Anwar Putra Bayu, Mezra E. Pellondou, J Kamal Farza, Tulus Wijanarko, Zaim Rofiqi, Jumari HS, Bambang Widiatmoko, Pilo Poly, Siwi Widjayanti, Muhammad Subhan, Husnu Abadi, Mukti Sutarman, dan lain-lain.

Malam pembukaan Festival Sastra Bengkulu diwarnai dengan pembacaan puisi sejumlah penyair, salah satunya Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Colzum Bahri. Ia membacakan sejumlah puisi dengan sangat memukau, salah satu di antaranya adalah puisi yang kerap dibacakan di banyak kesempatan berjudul “Wahai Pemuda Mana Telurmu”.

Ia berpuisi mirip membaca mantra: Apa gunanya merdeka/Kalau tak bertelur/Apa guna bebas/

Kalau tak menetas?// Wahai bangsaku/Wahai pemuda/ Mana telurmu?…”

Festival Sastra Bengkulu diwarnai dengan sejumlah kegiatan. Lepas malam pembukaan, esoknya yakni Sabtu dilanjutkan dengan peluncuran buku puisi bertajuk “Jejak Cinta di Bumi Raflesia”. Buku yang dikuratori oleh Ahmadun Yosi Herfanda, Mustafa Ismail dan Iwan Kurniawan itu menghimpun sekitar 130 penyair Indonesia dan negeri tetangga.

Baca puisi juga mewarnai peluncuran buku. Kegiatan dilanjutkan dengan sarasehan sastra diisi dengan diskusi hangat dengan narasumber Sutardji Colzum Bahri, Ahmadun Yosi Herfanda, dan FX Rudy Gunawan, Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan.

Ahmadun menyampaikan, Soekarno adalah salah satu aktor sejarah. Peran Sukarno bisa dilacak dari dan saat akhir masa kekuasaannya. Maka itu, Ahmadun mengatakan bahwa tema besar yang diangkat Panitia Festival itu, yakni tentang Sukarno, sangat menarik. Tema itu mampu merekam jejak penting Bung Karno di Bengkulu.“Tema itu pula yang menjadi kriteria utama tim kurator dalam memilih puisi-puisi untuk buku antologi,” kata dia.

Sementara, Sastrawan yang juga sekaligus perwakilan Kantor Staf Kepresidenan, FX Rudy Gunawan mengatakan, Soekarno dan literasi adalah satu kesatuan. Sebab untuk menyampaikan kegelisahannya, Soekarno menuangkan segala bentuk pergolakan hatinya itu dengan menulis. “Sejak muda Soekarno bergelut dengan buku. Itu dilakukan untuk memahami realitas kehidupan bangsanya. Soekarno juga menulis apa saja mulai surat cinta, naskah drama, dan kajian ideologi,” ujar Rudy.

Usai diskusi, Sabtu siang, peserta diajak berwisata ke sejumlah tempat penting di Bengkulu, yakni Pantai Panjang, Benteng Malboroght, rumah Sukarno, rumah Fatmawati dan berbelanja di sentra oleh-oleh dan kerajinan khas Bengkulu. Pulang dari sana, Sabtu malam, kembali puisi bergema di Gedung Serbaguna Pemerintah Pronvinsi Bengkulu dalam acara Malam Sastra.

Rangkaian kegiatan Festival Sastra Bengkulu tak hanya berlangsung di kota Bengkulu. Pagi Minggu, 15 Juli 2018, peserta diajak berwisata ke Kepahiyang, sebuah dataran tinggi di Bengkulu, yang menjadi puncaknya Bengkulu. Di sebuah lapangan di hamparan kebun teh, para sastrawan dijamu oleh Bupati Kepayiang Hidayatullah Sjahid. Bupati juga menutup Festival Sastra Bengkulu dan membacakan sebuah puisi dari buku “Jejak Cinta di Bumi Raflesia”.

Puisi yang dibacakan Bupati berjudul “Mesin Jahit Engkol” karya Wayan Jengki Sunarta. Puisi yang ditujukan untuk Fatmawati Sukarno itu berbunyi:

mesin jahit tua itu/terharu menatapmu, ibu/meski letih wajahmu/kau tampak bahagia//betapa cinta makin rimbun/dalam sepi pengasingan/ketika jemari lelaki itu/membelai rambutmu…//

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kepahiyang dan Dinas Parawisata, Pemuda dan Olahraga Kepahiyang yang menjadi “seksi sibuk” untuk kegiatan tersebut menyiapkan dua penggung. Ada pentas kecil pembacaan puisi dan musik dan sebuah pentas besar untuk pertunjukan musik dol yang melibatkan siswa SD, SMP dan SMA/SMK yang digarap oleh Edy Subagya, Kabid Kebudayaan Disdikbud Kepahiyang yang juga pemusik.

Para penyair dari berbagai daerah pun silih berganti membaca puisi di sana. (R)

Related posts

Leave a Comment

nine − seven =